Gangguan Irama Jantung Geser ke Usia Muda

Kesehatan | Selasa, 31 Januari 2023 - 15:29 WIB

Gangguan Irama Jantung Geser ke Usia Muda
ILUSTRASI (INTERNET)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Gangguan irama jantung disebut dengan istilah aritmia. Ketika jantung terus berdebar dengan detak yang tak normal, akan memicu keluhan yang tak nyaman hingga pingsan. Lalu berapa sih detak jantung yang normal? Seperti apa gejala gangguan aritmia?

Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Subspesialis Intervensi Elektrofisiologis (konsultan aritmia) di Heartology Cardiovascular Center dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP(K), mengatakan gangguan fungsi irama jantung diakibatkan oleh aktivitas listrik jantung yang abnormal. Inilah yang disebut aritmia.


“Yaitu suatu kondisi ketika detak jantung tidak teratur, lebih cepat, atau lebih lambat dari yang seharusnya,” katanya kepada wartawan, Senin (30/1).

Berapa detak jantung yang normal?

Menurutnya, pada kondisi istirahat, detak jantung normal berkisar antara 60-100 x/menit. Jika detak jantung super cepat, kata dia, kondisi itu bisa fatal.

“Jika super cepat bisa meninggal mendadak,” jelas dr. Sunu.

Detak yang tak teratur kecil risikonya berujung kematian, tetapi 5 kali berisiko memicu stroke. Sebaliknya, jika terlalu lambat, maka seseorang akan pusing hingga pingsan.

“Kalau detak hanya 40-50 keliengan. Lebih lambat lagi hisa pingsan. Bisa lebih lambat ya kolaps,” ungkapnya.

Usia Muda Mulai Rasakan Gejala

Keluhan yang sering dirasakan pasien dengan gangguan aritmia sangat beragam, misalnya rasa berdebar-debar, dada tidak nyaman, sesak napas, cepat capai, ataupun kliyengan atau sempoyongan. Pada kondisi yang lebih berat, gejala bisa berupa stroke, pingsan, bahkan kematian mendadak.

“Ada banyak kasus aritmia yang kami tangani, baik pasien usia muda maupun lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan. Pasien usia muda sering datang dengan keluhan rasa berdebar-debar atau rasa tidak nyaman di dada, yang muncul secara tiba-tiba. Oleh karena kemunculannya yang tiba-tiba, deteksinya sering tidak mudah,” ujarnya.

Deteksi dan Pengobatan

Selain perekaman jantung menggunakan elektrokardiografi (EKG), kadang diperlukan perekaman kontinyu selama beberapa hari supaya mampu mendeteksi gangguan aritmia yang diderita oleh seorang pasien dengan alat Holter Monitor. Salah satu contoh kasus, gangguan aritmia terjadi pada seorang laki-laki muda usia 30 tahun.

Keluhan berdebar dirasakan sudah sejak setahun yang lalu, namun saat melakukan rekaman EKG sering ditemukan normal. Perekaman irama jantung secara kontinyu selama 24 jam berhasil mendeteksi adanya aritmia yang berupa denyut ekstra sebanyak hampir 25 persen dari keseluruhan denyut jantungnya.

Obat-obat sudah dikonsumsi, bahkan tindakan kateter ablasi sudah diupayakan di kota lain. Namun keluhan belum membaik. Kegiatan dan pekerjaan sehari-hari sangat terganggu dengan penyakitnya ini.

“Setelah melalui pemeriksaan yang menyeluruh, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan kateter ablasi 3 dimensi untuk hasil yang lebih presisi dan maksimal” jelas dr. Sunu.

Kateter ablasi adalah tindakan intervensi non-bedah dengan menggunakan kateter yang digunakan untuk memandu dokter memetakan, melokalisir dan menghancurkan jaringan penyebab impuls listrik tidak normal pada jantung. Pada pasien tersebut, setelah dilakukan ablasi konvensional, gangguan irama jantungnya belum membaik.

“Namun, dengan teknologi 3D, Alhamdulillah gangguan aritmianya berhasil disembuhkan, sehingga kualitas hidup pasien tersebut jauh lebih nyaman dan beliau tidak perlu minum obat lagi,” kata dr. Sunu.

Pada kasus aritmia yang lebih kompleks, misalnya atrial fibrilasi (AF) yang berisiko meningkatkan stroke sampai 5x lipat, atau ventrikular takikardia (VT) yang bisa mengancam nyawa pasien, dokter menggabungkan teknologi 3D di Heartology Cardiovascular Center dengan teknologi HD Grid 3D Mapping System untuk meningkatkan keberhasilan tindakan dan mengurangi kekambuhan gangguan aritmianya. HD Grid menggunakan kateter multipolar dan multidirectional yang memungkinkan penggabungan pemetaan magnetic dan impedans secara bersamaan, sehingga tindakan kateter ablasi 3D memiliki tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Data klinis menunjukkan bahwa penggunaan teknologi ini mampu menurunkan tingkat kekambuhan AF menjadi hanya sekitar 10 persen setahun pascatindakan (beberapa kali lipat lebih baik dibanding teknologi konvensional).

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook