DUA HARI, DUA PERAKIT TUAL SAGU DISAMBAR BUAYA DI KEPULAUAN MERANTI

Warga Hilang Kesabaran, Perut Buaya Langsung Dibelah

Kepulauan Meranti | Selasa, 27 Desember 2022 - 11:15 WIB

Warga Hilang Kesabaran, Perut Buaya Langsung Dibelah
Warga Desa Penyagun Kepulauan Meranti menangkap buaya yang diduga memangsa warga hingga meninggal dunia, Senin (25/12/2022). (WIRA SAPUTRA/RIAU POS)

Konflik buaya dan manusia di Kepulauan Meranti masih berlangsung hingga kini. Setiap tahun ada saja warga yang jadi korban keganasan satwa liat tersebut. Kondisi ini memicu kemarahan warga, hingga memburu dan membunuh buaya mereka tangkap.

Laporan WIRA SAPUTRA, Selatpanjang


BUAYA semakin mengganas di Kepulauan Meranti. Dalam sepekan terakhir, dua warga menjadi korban keganasan predator berdarah dingin ini. Warga pun sepertinya hilang kesabaran. Ketika menemukan buaya, tak peduli yang telah memakan korban jiwa, warga pun langsung menangkap dan membunuhnya.

Seperti baru-baru ini, dua buaya ditangkap. Perutnya di belah untuk memastikan keberadaan potongan tubuh para korban yang merupakan perakit tual (batang) sagu. Seperti yang diceritakan Kepala Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Anwar Din kepada Riau Pos, Senin (26/12).

Anwar menceritakan, Sabtu (24/12), Slamet Ma’arif (37) warga Desa Kriting, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen yang bekerja di kilang sagu di desanya telah menjadi korban keganasan buaya di Sungai Suir.

Buaya yang diduga memangsa Slamet berhasil ditangkap oleh warga pada Ahad (25/12). Warga pun beramai-ramai membelah perut buaya tersebut. Dikatakan Anwar Din, bahwa pawang sudah meyakinkan bahwa buaya tersebut bukanlah yang memangsa Slamet, namun warga tetap tidak mempedulikannya.

“Buaya itu ditangkap menggunakan keahlian pawang dan dibawa ke darat. Melihat perut buaya yang besar, warga pun mengira jika jasad korban berada di dalam perut buaya tersebut. Padahal sang pawang sudah mengingatkan bahwa buaya yang ditangkap bukan merupakan hewan yang memangsa Slamet, namun warga tetap tidak yakin. Setelah dibelah ternyata tidak ada potongan tubuh Slamet di dalam. Kami sangat sedih,” kata Anwar.

Tindakan warga itu pun mendapatkan kecaman dan keprihatinan dari Komunitas Pencinta Satwa Riau. Anwar pun memastikan jika tidak ada niat dari warganya untuk membunuh buaya. “Bukan kita membunuh, namun warga hanya ingin memastikan bahwa ada korban di dalamnya, kami melihat perut buaya itu membesar, makanya dibelah, itu saja,” tuturnya.

Setelah dua hari dilakukan pencarian, Senin (26/12) sekitar pukul 09.00 WIB, jasad Slamet akhirnya ditemukan. Posisinya jauh dari tempat kejadian. “Korban ditemukan sejauh tiga kilometer dari tempat kejadian. Kondisinya sudah tidak bernyawa dan jasadnya utuh. tapi terdapat luka-luka,” ujarnya.

Terkait kejadian ini, Kepala Desa Lukun itu merasa dilema. Menurutnya sudah menjadi rutinitas warganya beraktivitas di Sungai Suir, terutama pekerja perakit tual sagu sebelum dibawa ke kilang. “Sudah beberapa kali warga kami menjadi korban keganasan buaya, sekarang kejadian lagi,’’ ujarnya.

‘’Kami tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua pekerja sagu mengeluh. Padahal selama ini kami tidak pernah merusak habitatnya. Kita hidup berdampingan dengan hewan buas itu, di mana warga bekerja di sungai yang banyak buayanya,” ungkapnya.

Selang satu hari setelah kejadian di Sungai Suir, buaya kembali memangsa korbannya. Lagi-lagi korban sama adalah buruh kilang sagu di Ruas Sungai Penyagun, Kecamatan Rangsang. Korban bernama Zainal bin Tahar (50), warga Desa Penyagun. Ia sambar buaya ketika sedang mengikatkan tual sagu di sungai, Ahad (25/12) sekitar pukul 16.00 WIB.

Muhammad Nur, saudara kandung Zainal bercerita, mereka diserang buaya ketika sedang bekerja. “Kejadian saat itu, adik saya sedang bekerja untuk mengikatkan tual sagu ke pohon dan pada saat itu langsung diserang buaya,” kata abang kandung korban Zainal.

Sementara Kepala Desa Penyagun Syaiful yang dikonfirmasi wartawan mengatakan jika warganya yang menjadi korban tersebut ditemukan pada Ahad (25/12) malam sekitar pukul 22.00 WIB. Dibeberkannya, korban ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, di mana kondisi kaki kanan putus akibat gigitan buaya tersebut.

“Saya yang pertama kali menemukannya. Jaraknya sekitar 200 meter dari tempat kejadian. Saat ditemukan, di sekitar jasad korban ada seekor buaya. Kami pun mengusir buaya tersebut dengan cara menggoyangkan air di sungai. Setelah buaya lari, kami pun buru-buru menarik jasad korban ke atas kapal,” tuturnya.

Sebelumnya, buaya yang dianggap memangsa Zainal juga telah ditangkap berkat kepiawaian Pawang. Namun, setelah perut buaya itu dibelah, potongan tubuh korban juga tidak ditemukan. “Buaya yang ditangkap akhirnya dibelah oleh warga. Keinginan warga yang membelah bukan sengaja membunuh. Tapi untuk memastikan potongan tubuh korban yang hilang. Ternyata setelah dibelah juga tidak ditemukan,” jelasnya.

Tegas Syaiful, bahwa dirinya memastikan jika tidak ada warganya yang merusak habitat buaya tersebut. Terkait kejadian tersebut, ia pun ikut  merasakan dilema dan duka yang mendalam. “Sungai Penyagun ini panjangnya hampir 20 kilometer, sangat banyak buayanya. Saya memastikan tidak ada habitatnya terganggu, mungkin korban memang sudah ajalnya. Korban pun tahu buaya itu mengintai. Orang itu juga sudah waspada, namun mau bagaimana lagi sudah nasibnya,” ungkapnya.

Mewakili masyarakat, dirinya sebagai kepala desa mengharapkan agar pihak terkait seperti BBKSDA Riau untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat karena buaya tersebut tentunya bertambah terus, namun tidak boleh dibunuh. “Apakah dipindahkan ke penangkaran, atau ada solusi lain,” ujarnya.

Sebelum kejadian ini, pekan kedua September 2022 lalu, dua perakit tual sagu juga jadi korban buaya yakni Supargih (63 tahun) dan Sukiman (44 tahun). Kejadian yang menimpa Supargih berlangsung pada 27 September 2022 pagi. Tujuh hari sebelumnya, kejadian serupa juga dialami Sakiman, pria usia 44 tahun 20 September 2022.

Kejadian yang menimpa kedua korban, ketika melansir botongan batang sagu yang dijadikan bahan dasar kilang produksi tepung sagu setempat.

Sementara itu, Kepala Balai Besar Konsevasi Sumbar Daya Alam  (BBKSDA) Riau Genman Suhefti Hasibuan SHut MM mengaku prihatin atas kedua korban yang meninggal dunia dampak dari keganasan buaya di Kepulauan Meranti. Walaupun demikian, persoalan yang wajib ia kedepankan lebih kepada rusaknya habitat reptil yang dilindungi tersebut.

Dampaknya memicu sifat buaya yang buas menjadi lebih buas hingga menimbulkan korban jiwa. Warga tak terima hingga keberadaan buaya diburu, dan mati dibunuh. Padahal keberadaan buaya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1990.

“Artinya siapa pun orangnya yang berada di wilayah hukum Indonesia wajib melindungi keberadaan buaya. Untuk itu, kami mau tidak ada pihak yang melakukan perbuatan anarkis kepada hewan ini karena besar ancamannya hingga berujung pidana,” ungkapnya.

Genman tak menampik seluruh pihak khawatir hidup berdekatan dengan habitat binatang buas seperti buaya, dan buaya juga demikian. “Namun yang kita pahami habitat buaya itu sangat luas. Malah bisa dikatakan sepanjang sungai di sana adalah habitatnya,” ujarnya.

Lebih lanjut Genman mengatakan, masyarakat tahu jika sepanjang sungai adalah rumah bagi kehidupan buaya. Jadi, hendaknya masyarakatlah yang wajib berhati-hati untuk beraktivitas di sana. “Karena dari dulu buaya itu sudah di sana. Bahkan jauh sebelum ada permukiman warga. Dengan begitu masyarakat yang harus beradaptasi untuk berdampingan dengan hewan buas tersebut,” bebenya.

Apa langkah BBKSDA dalam menyikapi persoalan tersebut? Genman mengatakan mereka hanya mampu melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman terhadap warga. Tujuannya mengajak seluruh pihak untuk dapat menjaga lingkungan dan habitat satwa liar di sana.

“Jadi gak mungkin kita tangkap semua buaya di sana. Karena satwa liar itu memang harus berada di alam. Kalau lingkungannya bagus, habitatnya bagus maka saya kira dan yakin buaya-buaya itu tidak akan mengganggu,” terangnya.

Artinya menurut Genman situasi ini bisa diantisipasi untuk menghindari timbulnya korban jiwa. Malah kata dia peran pemerintah benar-benar diharapkan untuk mengurai masalah tersebut. “Maka dari itu di sinilah keberadaan pemerintah benar-benar diperlukan. Seperti mengatur jalannya usaha di sana sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Seperti keberadaan usaha sagu yang berpotensi menimbulkan rusaknya ekosistem sungai,” ujarnya.

Karena itu, dalam melindungi atau menjaga pelestarian satwa liar ini tidak hanya menjadi tugas BKSAD, melainkan menjadi tugas seluruh pihak, termasuk pemilik usaha kilang sagu di sana. “Minimal bersama-sama kita jaga lingkungan sekitar agar satwa yang ada lingkungan sana mampu untuk berkembang biak. Sehingga kita mampu hidup berdampingan dengan seluruh makhluk hidup di sana,” ungkapnya.(das)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook