ADDIS ABABA (RIAUPOS.CO) - Bagi Antonis Mavropoulos, jarak antara hidup dan mati itu hanya 2 menit. Jika saja dia sampai di Bandara Internasional Bole, Addis Ababa, Ethiopia, dua menit lebih cepat, Ahad (10/3), Mavropoulos kini mungkin hanya tinggal nama. Dia akan masuk dalam daftar korban tewas kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET302 tersebut.
’’Kala itu saya berang karena tak seorang pun membantu saya untuk sampai di gerbang (keberangkatan) tepat waktu,’’ tulis pria asal Yunani itu di akun Facebook-nya seperti dilansir BBC. Dia juga mengunggah tiket pesawat yang belum sempat digunakannya.
Mavropoulos tak pernah menyangka bahwa kesialannya itu justru menjadi keberuntungan yang luar biasa beberapa menit kemudian. Presiden lembaga nonprofit International Solid Waste Association itu berencana pergi ke Nairobi, Kenya, guna menghadiri acara tahunan Program Lingkungan PBB. Sebanyak 19 staf PBB yang bakal menghadiri pertemuan itu ikut menjadi korban tewas. Termasuk staf Badan Pangan Dunia, Komisi Pengungsi PBB, serta Organisasi Pangan dan Agrikultur.
Keberuntungan serupa dirasakan Ahmed Khalid. Penduduk Dubai itu seharusnya pindah ke pesawat ET302 tersebut untuk pergi ke Kenya. Sayang, pesawat pertama yang membawanya ke Addis Ababa terlambat sehingga dia tertinggal pesawat.
Saat ini otoritas Ethiopia berkoordinasi dengan tim yang berisi para pakar dari Boeing dan Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat nahas tersebut. Kemarin (11/3) kotak hitam berisi cockpit voice recorder (CVR) dan digital flight data recorder (DFDR) berhasil ditemukan.
Rekaman CVR dan DFDR itu akan mengungkap detik-detik terakhir penerbangan maut tersebut. Itu akan menjadi pembuka jalan guna menentukan penyebab pasti kecelakaan. The New York Times mengungkapkan, pesawat mengalami masalah teknis sesaat setelah lepas landas. Pilot sudah minta izin untuk kembali ke bandara. Izin juga telah diberikan. Namun, sesaat setelah itu pesawat justru terjatuh.
’’Pada tahap ini, kami tidak bisa menyimpulkan apa pun,’’ ujar CEO Ethiopian Airlines Tewolde Gebremariam.
Sementara itu, pesawat Boeing 737 Max-8 yang jatuh tersebut baru diterima Ethiopian Airlines pada November 2018. Pesawat itu telah terbang selama 1.200 jam dan baru kembali dari Johannesburg, Afsel, Minggu pagi, beberapa jam sebelum kecelakaan fatal tersebut.
Website Flightradar24 mengungkapkan bahwa kecepatan vertikal pesawat tak stabil. Pesawat naik hingga seribu kaki. Pesawat sempat menukik hingga 450 kaki sebelum akhirnya naik lagi hingga 900 kaki. Setelah itu, data pelacakan satelit pesawat tersebut hilang.(sha/c5/dos/lim)