HUBUNGAN MEMANAS

92 Persen Perusahaan AS Tak Mau Hengkang dari Cina

Internasional | Jumat, 11 September 2020 - 18:14 WIB

92 Persen Perusahaan AS Tak Mau Hengkang dari Cina
Ilustrasi bendera negara Amerika Serikat dan bendera Cina. (AL JAZEERA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Dilema dialami perusahaan asal Amerika Serikat yang berada di Cina. Iklim usaha di sana mengalami dampak atas ketegangan kedua negara. Perusahaan AS di Cina merasa semakin pesimis dengan ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing. Tetapi mereka berusaha tetap bertahan dan tak mau hengkang.

Dilansir dari CNN, Jumat (11/9), sekitar 92 persen responden dalam survei yang dirilis Rabu lalu oleh Kamar Dagang Amerika di Shanghai mengatakan, mereka berkomitmen untuk tetap berada di negara itu bahkan ketika hubungan AS-Cina terus retak.


Menurut temuan tersebut, lebih dari seperempat perusahaan AS yang disurvei mengatakan bahwa mereka memperkirakan ketegangan perdagangan AS-Cina akan berlangsung tanpa batas waktu dibandingkan dengan sekitar 17 persen tahun lalu.

Sementara itu, sekitar seperlima responden mengatakan mereka memperkirakan ketegangan akan berlangsung selama 3 hingga 5 tahun dibandingkan dengan 13 persen pada 2019. Hanya sekitar 14 persen perusahaan yang mengatakan bahwa masalah tersebut akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.

"Apa yang mungkin mendasari rasa pesimis ini adalah kekhawatiran tentang hubungan memanas AS-Cina yang lebih jauh," kata AmCham Shanghai dalam sebuah laporan.

Kelompok itu mengatakan pihaknya melakukan survei antara Juni dan Juli ini, hanya beberapa bulan setelah negara-negara tersebut mengumumkan perjanjian perdagangan awal. Survei tahunan dilakukan di antara 1.400 perusahaan yang menjadi anggota Kamar Dagang Amerika di Shanghai, sebuah organisasi nirlaba yang mengadvokasi perdagangan bebas dan bertujuan untuk mempromosikan hubungan komersial AS-Cina.

Selama beberapa bulan terakhir, hubungan AS-Cina telah tenggelam ke titik terendah dalam sejarah ketika negara-negara tersebut memperdebatkan serangkaian masalah yang berkembang. Dari asal-usul pandemi virus corona hingga masalah hak asasi manusia di Hongkong dan Xinjiang hingga kendali atas teknologi.

Pada Juli, Presiden AS Donald Trump mengakhiri hubungan perdagangan khusus Amerika Serikat dengan Hongkong, yang di masa lalu telah membebaskan kota itu dari tarif tertentu, di antara hak istimewa lainnya. Bulan itu, kedua negara juga memerintahkan penutupan konsulat mereka di Houston dan Chengdu.

Sementara pada Agustus, Washington memberi sanksi kepada pejabat pemerintah yang dituduhnya merusak otonomi Hongkong, termasuk pemimpin Carrie Lam. Sementara itu, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mengancam akan melarang dua aplikasi populer milik Cina, TikTok dan WeChat, untuk beroperasi di Amerika Serikat.

Sekitar 32 persen responden mengatakan bahwa hubungan AS-Cina yang memburuk memengaruhi kemampuan mereka untuk mempertahankan staf. Beberapa bisnis juga mengatakan mereka akan menurunkan investasi di Cina karena ketidakpastian tentang masalah perdagangan.

Tetapi untuk meninggalkan negara itu, sebagian besar perusahaan masih menilai mustahil dilakukan. Meskipun Trump memerintahkan mereka untuk melakukannya tahun lalu.

Perusahaan AS menilai Cina masih memberikan banyak keuntungan bagi bisnis yang masih bertahan di sana. Beberapa perusahaan fokus untuk memanfaatkan kelas menengah yang sedang tumbuh di negara itu, sementara yang lain masih bergantung pada negara untuk manufaktur. Dalam survei AmCham tahun ini, proporsi perusahaan yang mengatakan Cina telah menghasilkan sumber keuntungan global yang signifikan melonjak 9,4 persen menjadi 32 persen.

Hampir 79 persen perusahaan yang menanggapi survei mengatakan mereka tidak berencana memindahkan investasi mereka ke tempat lain. Sedikit yang menyebut Asia Tenggara sebagai pilihan utama mereka. Hanya kurang dari 5 persen responden yang berencana untuk kembali beroperasi di Amerika Serikat.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook