JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Serangan udara yang membunuh panglima pasukan elite Iran Qasem Soleimani telah memperparah konflik antara AS dan Iran. Soleimani merupakan tokoh publik pertama yang terbunuh sejak tensi dua negara meningkat pada 2018. Iran pun sedang menyiapkan balasan yang setara dengan aksi AS.
"Dengan membunuh sosok terkenal di militer Iran, AS baru saja menyatukan seluruh bangsa Iran dan sekutunya di Iraq," kata pakar politik Iran Mohammad Marandi kepada Al Jazeera.
Tahun lalu beberapa kapal tanker di perairan Teluk lumpuh karena ledakan. AS menuduh Iran sebagai pelaku. Kemudian, Iran menembak pesawat tanpa awak AS yang diklaim memasuki wilayah kedaulatan Negeri Para Mullah itu. Tentu masing-masing pihak menolak tudingan lawan.
September lalu Presiden AS Donald Trump sempat berencana menyerang markas Iran sebagai balasan dari jatuhnya pesawat tanpa awak. Namun, Trump membatalkan operasi pada saat-saat terakhir. Alasannya, dia lebih senang berbisnis daripada berperang.
Hal tersebut jelas tak terjadi kemarin. Trump yang sedang berlibur di Palm Beach, Florida, sudah memberi izin operasi pembunuhan sang panglima Iran. Kongres AS pun tak diberi tahu atas keputusan tersebut.
"Keputusan sembrono dari Trump mendekatkan kita kepada satu lagi perang di Timur Tengah. Perang seperti ini menghabiskan triliunan dolar dan menewaskan banyak jiwa," kata Senator Demokrat Bernie Sanders kepada Associated Press.
Pertimbangan Gedung Putih didasari pengaruh Soleimani di wilayah Timur Tengah. Selama ini Soleimani sudah menebar bantuan dan kerja sama ke berbagai organisasi militan di wilayah Teluk dan sekitarnya. Dia disebut pencipta kelompok militan di Iraq. Juga, sahabat karib Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon.
Pengaruhnya membuat kelompok-kelompok militan itu punya sikap anti-AS. Juga semakin melemahkan pengaruh AS di Timur Tengah. Jika pelobi jago seperti Soleimani tiada, ikatan Iran dengan proksi di negara lain juga melemah.
"Strategi ini dilakukan untuk mengembalikan kekuatan intimidasi AS di Timur Tengah. Baik Iran, Rusia, atau Tiongkok tak akan percaya AS seberani itu," ujar Yoel Guzansky, pakar lembaga think tank National Strategic Studies di Tel Aviv.
Namun, banyak pula pakar yang tidak setuju dengan strategi tersebut. Mantan agen CIA Bob Baer mengatakan, langkah tersebut merupakan kesalahan terbesar rezim Trump. Sebab, tak ada yang tahu pemikiran Iran saat ini.
Analis asal Iran Abas Aslani mengatakan, Soleimani sangat terkenal dan disukai masyarakat. Dia sering mendapatkan simpati karena sering menangis sambil memeluk pasukan yang akan berangkat bertempur. Apalagi, perannya dalam menekuk ISIS di Iraq banyak diakui publik Timur Tengah.
"Dia adalah sosok penting di balik kekalahan ISIS," ujar Foad Izadi, pengajar di Tehran University.
Henry Rome, pakar dari Eurasia Group, menambahkan bahwa Iraq bakal menjadi tumbal dalam konflik tersebut. Sebab, di sanalah tempat konflik terakhir terjadi. Dia memperkirakan kelompok pro-Iran bakal mulai menyerang markas AS dan membunuh beberapa tentara. Lalu, AS akan membalas.
Sekutu Negeri Para Mullah
1. Militan Iraq: Kelompok militan Syiah yang tergabung dalam Hashed Al Shaabi mempunyai total 140 ribu petarung. Kelompok tersebut juga sekutu erat Jenderal Qassem Soleimani yang baru terbunuh.
2. Hisbullah Lebanon: Kelompok tersebut didirikan Garda Revolusi Iran pada 1980. Tak ada yang tahu persis jumlah personelnya. Namun, pakar mengatakan bahwa kelompok tersebut lebih kuat dari tentara Lebanon dengan kekuatan roket dan rudal.
3. Houthi Yaman: Kelompok tersebut sampai sekarang menguasai ibu kota Yaman Sanaa sejak 2014. Perkiraan jumlah personelnya mencapai 180 ribu–200 ribu pejuang.
4. Militan Gaza: Iran menyokong operasional pejuang Hamas dan Islamic Jihad di Gaza. Meski dana bantuan sudah berhenti, Iran dikabarkan masih menyalurkan bantuan militer.
Sumber: Associated Press dan Deutsche Welle
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi