JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Beberapa tahun terakhir, jumlah eksekusi mati di Arab Saudi melonjak. Pada 2014–2022, rata-rata ada 129 eksekusi mati per tahun. Jumlah itu naik 82 persen jika dibandingkan periode 2010–2014. Bahkan, pada 2022 saja, ada 147 eksekusi mati. Dari jumlah tersebut, 90 orang yang dieksekusi mati adalah pelaku kejahatan yang dianggap non kekerasan.
Peningkatan eksekusi mati itu terjadi pada tahun ketika Raja Abdullah meninggal dan digantikan Raja Salman. Ketika sang ayah naik takhta itu, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) ditunjuk sebagai menteri pertahanan sekaligus Sekjen pengadilan kerajaan. MBS juga mempertahankan posisinya sebagai menteri negara. Rangkap jabatan itu membuat MBS kian berkuasa. Bahkan, MBS berhasil menggeser posisi pamannya, lalu menjadi putra mahkota pada 2017.
Dalam enam tahun terakhir, juga ada sedikit peningkatan dalam jumlah eksekusi anak-anak, perempuan, warga negara asing (WNA), eksekusi massal, dan eksekusi untuk pelanggaran yang tidak mematikan. Moratorium hukuman mati untuk kejahatan narkoba baru-baru ini juga dicabut.
"Penerapan hukuman mati di Arab Saudi penuh dengan diskriminasi dan ketidakadilan," bunyi laporan organisasi nonprofit Reprieve dan Organisasi Saudi Eropa untuk HAM, seperti dikutip The Guardian.
Mereka menilai pemerintah Saudi tidak terbuka kepada masyarakat internasional tentang penggunaan hukuman mati. MBS pernah berjanji, eksekusi mati hanya akan diberlakukan pada kasus pembunuhan. Namun, ternyata kerap diterapkan pada pelanggaran yang tidak mematikan. Bahkan digunakan untuk membungkam pembangkang dan pengunjuk rasa.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah ketika pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati 81 orang sekaligus, pada 12 Maret tahun lalu. Para aktivis menilai hal itu menjadi pesan langsung dari petinggi di Saudi kepada para pembangkang. Salah satunya suku di provinsi timur negara tersebut.
MBS memang menjanjikan modernisasi Arab Saudi. Dia merealisasikannya secara bertahap. MBS juga memperkenalkan reformasi yang luas di seluruh tempat kerja dan masyarakat, memberi perempuan lebih banyak akses ke pekerjaan yang menguntungkan, dan mengubah norma-norma sosial yang sebelumnya diterapkan secara ketat.
Namun, para aktivis menilai ada harga yang harus dibayar mahal untuk semua itu. Yakni, tindakan keras kepada lawan politik dan nol toleransi terhadap perbedaan pendapat. Padahal, di era monarki absolut kerajaan sebelumnya, masih ada ruang untuk perbedaan pendapat.
Sumber: Jawapos.co
Editor: Rinaldi