RIAUPOS.CO - Penguatan kemitraan antara petani dan perusahaan sawit bisa berdampak positif pada upaya kuat Indonesia untuk menurunkan emisi karbon demi mencegah perubahan iklim. Penguatan kemitraan akan mendorong produktivitas sehingga ekstensifikasi lahan bisa dihindari dan konversi hutan kaya karbon menjadi perkebunan baru tidak terjadi.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdalifah Mahmud, mengungkapkan produktivitas lahan petani sawit di Indonesia masih rendah, hanya 2 ton crude palm oil (CPO) per hektare, per tahun. Sementara produktivitas perkebunan skala besar bisa mencapai 8 ton CPO per hektare, per tahun.
"Bedanya 3—5 kali lipat. Makanya kami minta perusahaan melakukan kemitraan untuk menolong petani meningkatkan produktivitasnya," kata Musdalifah saat diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir, Jumat (11/11/2022).
Musdalifah menjelaskan, kemitraan yang bisa dilakukan antara petani dan perusahaan sawit di antaranya dalam program penanaman ulang (replanting). Petani nantinya bisa memanfaatkan benih sawit berkualitas seperti yang digunakan oleh perusahaan perkebunan.
“Perusahaan juga wajib menolong peningkatan kapasitas petani termasuk dalam pemasaran hasil panennya,” kata Musdalifah.
Pemerintah, lanjut dia, juga menyediakan berbagai fasilitas untuk memperkuat perkebunan skala rakyat di antaranya dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan program Smart Farming yang mencakup digitalisasi rantai pasokan.
Direktur Invetarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK Belinda Arunawati mengungkapkan, di luar kawasan hutan negara masih terdapat sekitar 7,4 juta hektare lahan yang berstatus areal penggunaan lain yang memiliki tutupan hutan.
"Untuk mencegah konversi hutan, kerja sama yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun sub-nasional penting untuk dilakukan," katanya. Secara keseluruhan, Indonesia memiliki sekitar 95,3 juta hektare tutupan hutan di seluruh wilayah Indonesia.
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan salah satu upaya yang dilakukan Indonesia untuk menurunkan emisi karbon adalah melaksanakan agenda Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Tujuannya adalah mencegah pelepasan sekaligus meningkatkan penyerapan gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunan lahan lainnya.
Target dari agenda FOLU Net Sink adalah tingkat penyerapan GRK sudah seimbang atau bahkan lebih besar dibandingkan emisinya pada tahun 2030. “Target dari FOLU Net Sink 2030 adalah tingkat emisi GRK minus 140 juta ton setara karbondioksida (CO2e),” kata Ruandha.
Director PT Smart Tbk. dan Senior Advisor Sustainability Sinar Mas Agribusiness and Food Agus Purnomo mengatakan, pihaknya percaya akan pentingnya pelestarian lingkungan dan pentingnya kontribusi swasta bagi kesejahteraan masyarakat setempat untuk memastikan keberlanjutan dari bisnis perusahaan. Agus juga mengatakan pihaknya menghargai komitmen pemerintah Indonesia dan turut bangga dengan kemajuan yang telah dicapai dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Dia menjelaskan, berkat bekerja sama dengan masyarakat setempat, sekitar 43.000 hektare area hutan telah berhasil dipertahankan. Sinar Mas Agribusiness and Food juga memastikan mitra pemasok untuk melaksanakan kebijakan konservasi yang bertujuan menjaga tutupan hutan yang ada di areal pengelolaannya. Dari upaya tersebut terdapat 117.000 hektare tutupan hutan yang dilindungi.
“Kami percaya bahwa kelapa sawit bisa memainkan peranan penting dalam pencapaian target Indonesia untuk FOLU Net Sink 2030 Indonesia di luar kawasan hutan. Kami juga yakin bahwa bila kita bekerja sama melibatkan seluruh pemangku, kita dapat membuat perubahan yang nyata dan berdaya guna,” katanya. (ifr)