SIDANG LANJUTAN

Kesaksian Auditor BPK: SKL BLBI Layak Diterima Sjamsul Nursalim

Hukum | Kamis, 26 Juli 2018 - 19:00 WIB

Kesaksian Auditor BPK: SKL BLBI Layak Diterima Sjamsul Nursalim
Ilustrasi. (JPNN)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sjamsul Nursalim disebut layak untuk diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hal itu dikatakan Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Arief Agus berdasarkan audit dari laporan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Baca Juga :KPK: Sjamsul Nursalim Bisa Diproses Kembali dalam Kasus BLBI

"Berdasarkan laporan audit BPPN, SKL tersebut dikeluarkan untuk BDNI berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002," katanya saat bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018).

Pihaknya, sambungnya, mengaudit BPPN pada 2006 untuk menilai adanya kepatuhan atau kebijakan yang telah ditetapkan, serta untuk mengaudit kehematan bank dan efektivitas terhadap tugas BPPN.

"Ini overview saja tidak khusus laporan itu (petani tambak), hasil penyelesaian pemegang saham PKPS," ujarnya.

Usai diaudit, diakuinya, pihaknya langsung menyerahkan kepada pihak Kementerian Keuangan.

"ke Kemenkeu, waktu itu ke Sekjen Kemenkeu," jelasnya.

Adapun Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai mantan Ketua BPPN dalam perkara itu didakwa kasus SKL BLBI. Kasus berawal pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Akan tetapi, pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.

Diketahui, SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres nomor 8 tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden.

Syafruddin diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp4,5 triliun. Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. (rdw)

Sumber: JPG

Editor: Boy Riza Utama









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook