JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Penyidik KPK Novel Baswedan tampaknya masih belum aman dari jeratan hukum. Pasalnya, gugatan praperadilan yang dilayangkan keluarga korban kasus Novel berpeluang membatalkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, kebijakan penerbitan SKP2 yang dilakukan Jaksa Agung sebenarnya telah mempertimbangkan banyak hal. Termasuk keresahan masyarakat akan ancaman kriminalisasi.
Namun praperadilan terhadap SKP2 tetap bisa diajukan sepanjang ada pihak yang merasa dirugikan. Dan jika gugatan praperadilan diterima, maka bisa saja SKP2 dibatalkan. ’’Oleh karena itu kita harus kawal bersama pelaksanaan sidangnya,’’ ujar Miko.
Tak hanya perkara Novel, pengesampingan kasus Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS) juga masih terus mengundang pro-kontra. Bahkan ada beberapa pihak yang berupaya melaporkan Jaksa Agung ke Mabes Polri karena penebitan SKP2 dan deponering telah melampaui kewenangannya.
Terkait hal ini, jaksa sekaligus akademisi di Universitas Indonesia, Narendra Jatna mengatakan jaksa agung hanya menjalankan fungsinya sebagai pengendali perkara. Nah, dalam fungsi itu Jaksa Agung memang diberi kewenangan prerogatif, salah satunya mengesampingkan suatu perkara dengan dasar kepentingan umum.
’’Kepentingan umum di sini itu ialah kekhawatiran masyarakat bahwa kriminalisasi dapat melemahkan gerakan anti korupsi di Indonesia,’’ ujar dalam diskusi di Jakarta, Ahad (20/3/2016).
Menurut dia alasan tak cukup bukti dalam penerbitan SKP2 Novel juga tidak salah. Memang pengumpulan bukti ada di tahap penyidikan. Tapi jaksa sebagai penuntut umum juga harus mengantongi bukti materiil yang kuat untuk memenuhi unsur dakwaan yang akan diajukan di persidangan.