JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemberian pembebasan bersyarat (PB) untuk terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba’asyir menuai pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut dinilai layak mendapat apresiasi seiring aspek kemanusian yang menjadi pertimbangan.
Tapi, sisi lain PB untuk Ustaz Ba’asyir dianggap merusak tatanan hukum.
Penasihat hukum pasangan calon (paslon) Jokowi-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra selaku utusan Jokowi yang berkomunikasi dengan Ustaz Ba’asyir di Lapas Gunung Sindur, Bogor pada Jumat (18/1), berpendapat, bahwa dari segi hukum presiden dapat membuat kebijakan yang menyimpang dari peraturan menteri (permen) dan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan PB.
Penyimpangan yang dimaksud Yusril terkait kebijakan pemberian PB yang mengesampingkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3/2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat serta PP Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat.
Dalam dua aturan itu, banyak syarat yang harus dipenuhi narapidana (napi) agar mendapatkan surat keputusan (SK) PB dari otoritas bidang pemasyarakatan. Seperti diatur dalam pasal 84 Permenkumham 3/2018, PB bagi napi kasus terorisme harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara yang dilakukan.
Selain itu, napi telah menjalani paling sedikit 2/3 masa pidana, telah menjalani asimilasi paling sedikit 1/2 dari sisa masa pidana, telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahannya. Serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara tertulis. ”Peraturan menteri itu bisa dikesampingkan presiden,” kata Yusril, Sabtu (19/1).
Menurut Yusril, peraturan menteri dan peraturan pemerintah merupakan sebuah kebijakan. Dalam prinsip administrasi negara, kata Yusril, presiden merupakan pemegang tertinggi kebijakan. ”Presiden bisa bertindak menyimpang dari aturan itu (menteri) sepanjang dia (presiden, red) bisa mempertahankan alasan-alasan yang benar,” urainya.
Pendapat Yusril diamini oleh pengacara Ustaz Ba’asyir, Mahendradatta. Dalam kesempatan yang sama, Mahendra menyebut, pemberian PB yang mengesampingkan aturan menteri dan aturan pemerintah memang harus melibatkan presiden. ”Kalau bukan presiden mana bisa?,” ujar Mahendra di kantornya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Mahendra menyebut, tidak ada kesepakatan apapun antara Ustaz Ba’asyir dan Jokowi terkait pembebasan ini. Menurut dia, pihaknya murni menggunakan pendekatan peraturan pemasyarakatan. Dia pun menegaskan Ustaz Ba’asyir sejatinya berhak mendapatkan PB terhitung 13 Desember lalu. ”Tolong kasus ini tidak perlu ditarik ke kanan atau ke kiri,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar mengapresiasi kebijakan memberikan pembebasan tanpa syarat atas nama kemanusiaan itu. Menurut Haris, Ustaz Ba’asyir yang saat ini berusia 81 tahun memang tidak sepantasnya mendekam di penjara. ”Tapi, soal kemanusiaan itu harus ditemukan juga upaya litigasi yang strategis, jangan serampangan,” terangnya.
Di sisi lain, pengamat hukum Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar berseberangan dengan pendapat Yusril yang menyebut presiden hanya mengesampingkan aturan menteri dalam kasus Ustaz Ba’asyir. Menurut Fickar, pembebasan bersyarat tidak hanya diatur dalam permen dan PP. Tapi juga diatur dalam Undang-Undang KUHP. Khususnya pasal 15 ayat (1).
Dalam aturan itu menyebutkan, pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. ”Itu bunyi undang-undang yang kalau dilanggar berarti presiden akan melanggar UU,” paparnya.