’’Tidak ada ketentuan yang mengatur dalam KUHAP yang melarang penyidik diminta keterangan sebagai saksi karena faktanya banyak perkara lain di mana penyidik sebagai saksi misalnya saja dalam perkara narkotika,’’ tegas Reza.
Jaksa kemudian menjelaskan arti keonaran yang juga disanggah oleh tim penasihat hukum Ratna. Jaksa menuturkan berdasarkan keterangan ahli bahasa Wahyu Wibowo bahwa keonaran merupakan keributan.
Jaksa juga mengutip keterangan Ahli Sosiologi Hukum Trubus Rahardiansah. Yang menyatakan apabila terjadi pro kontra kontesknya ada berita bohong, yang terjadi di dunia maya juga bisa terjadi di dunia nyata.
’’Maksud dari keributan itu tidak hanya anarkis melainkan juga membuat gaduh atau membuat orang yang menjadi bertanya-tanya,’’ kata Reza.
Diketahui, beberapa waktu lalu Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan untuk terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet. Dalam surat tuntutan JPU menuntut aktivis kemanusiaan itu dengan pidana 6 tahun kurungan.
’’Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ratna Sarumpaet dengan pidana penjara selama 6 tahun dikurangi selama terdakwa menjalani tahanan dan tetap ditahan,’’ ujar Jaksa Daroe Tri Sadono dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).
Jaksa menilai Ratna terbukti sah dan menyakinkan memenuhi unsur pidana Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Dengan menyebarkan kebohongan telah dianiaya di Bandung, padahal melakukan operasi plastik.
Adapun pertimbangan memberatkan yakni terdakwa berintelektual sudah berusia lanjut, bahkan seorang tokoh namun tidak berbuat baik dengan membuat keresahan dengan kebohongan. Terdakwa juga dianggap memberikan keterangan berbelit-belit di persidangan. ’’Meringankan, terdakwa telah meminta maaf,’’ lanjut Daroe.(sabikajitaufan)