JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sebulan tertunda dari jadwal, Sri Asih akhirnya tayang. Derasnya pujian untuk film ini yang banyak beredar di media sosial memunculkan rasa penasaran. Villain yang sengaja dikaburkan di awal berusaha memberikan kejutan untuk penonton.
—
BERTEPATAN di momen meletusnya Gunung Merapi, seorang anak perempuan lahir yang diberi nama Alana. Pada hari itu juga, Alana harus menerima kenyataan pahit akan kematian kedua orang tuanya. Nasibnya berubah sejak diadopsi seorang pengusaha bernama Sarita (Jenny Chang).
Seiring waktu, Alana beranjak dewasa dan menjadi petarung profesional. Terlepas dari itu, Alana belum bisa terbebas dari amarah yang kerap menghantuinya. Alana kerap kehilangan kendali saat amarah lebih menguasainya.
Itulah yang terjadi ketika dia melawan Mateo (Randy Pangalila), putra semata wayang konglomerat bernama Prayogo Adinegara (Surya Saputra) yang dikenal arogan. Dalam misinya menyelesaikan konflik itu, Alana bertemu Kala (Dimas Anggara) dan Eyang Mariani (Christine Hakim).
Dari mereka, Alana akhirnya tahu makhluk yang kerap membujuknya untuk melampiaskan amarah adalah Dewi Api (Dian Sastrowardoyo). Sekaligus menyadari bahwa dirinya bukan manusia biasa. Melainkan titisan Dewi Asih yang diberi tanggung jawab memberantas kejahatan yang menjadikan masyarakat sebagai tumbal.
Sri Asih merupakan film superhero perempuan pertama di Indonesia yang diadaptasi dari komik RA. Kosasih. Dan, film superhero kedua yang dirilis Jagat Sinema Bumilangit setelah dibuka patriot pertamanya Gundala (2019). Fakta itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Pevita.
Dia menuturkan, dipercaya memerankan tokoh Alana memiliki makna tersendiri untuk hidupnya.
”Bangga sekali ya dan sangat life changing. Pengalaman membekas seumur hidup. Lalu, juga membuka perspektif baru,” ucap Pevita.
Meski tak punya basic skill bela diri, Pevita berhasil memerankan karakter dengan baik. Jerih payahnya menjiwai karakter tersebut terlihat dari adegan fighting yang dilakukannya.
”Semoga tema superhero perempuan ini bisa diterima dan para perempuan bisa terwakilkan oleh Sri Asih,” harap Pevita.
Sementara itu, sutradara Upi berharap kehadiran Sri Asih mampu menarik minat masyarakat terhadap cerita superhero lokal. Mengingat Indonesia menyimpan banyak kisah tentang pahlawan super.
”Sejak puluhan tahun lalu, sebenarnya Indonesia kaya akan cerita dan karakter komik. Ya, semoga publik jadi mencari tahu lebih banyak tentang komik klasik Indonesia,” tutur Upi.
Film berdurasi 2 jam 15 menit itu memang memberikan catatan baru di industri film tanah air. Banyak review positif yang menghujani. Namun, penonton disarankan untuk tidak terlalu berekspektasi terlalu tinggi. Sejumlah lubang mewarnai cerita film tersebut.
Usaha ”mengelabui” penonton supaya terkejut dengan plot twist yang dihadirkan seperti memaksa pembuat cerita untuk menciptakan adegan-adegan tak perlu. Belum lagi sejumlah perpindahan adegan yang terasa tidak nyambung. Apalagi, plot twist tersebut juga sudah bisa ditebak sejak paro pertama film.
Selain itu, tak semua pemain menghidupkan karakternya dengan baik. Sejumlah dialog yang semestinya mampu memunculkan emosi berlalu begitu saja karena disampaikan dengan kaku. Terlebih, dialog dalam film ini menggunakan pilihan bahasa yang sangat baku.
Di sisi lain, CGI yang digunakan menjadi salah satu daya tarik film ini. Beberapa bagian memang kurang halus, tapi bisa dibilang sudah melebihi standar film Indonesia. Adegan fight yang mendominasi film ditampilkan dengan apik di bawah koreografi arahan Uwais Team begitu khas. Pertarungan berjalan intens. Hanya, beberapa terasa kurang pas. Bagaimana seorang superhero harus mengeluarkan usaha yang begitu keras hanya untuk mengalahkan musuh-musuh dengan level kemampuan fighting standar.
Acungan jempol layak diberikan untuk Pevita. Terlihat sekali dia memang berusaha keras menghidupkan karakternya sebagai Sri Asih. Meski justru lebih mengingatnya karena adegan fighting-nya ketimbang konflik yang dia hadapi antara menuruti amarah atau menjadi manusia baik. Di atas itu semua, Sri Asih adalah alternatif tontonan baru di tengah gencarnya perilisan film horor.
TRIVIA
– Proyek film Sri Asih digarap sejak tiga tahun lalu. Namun, proses syuting sempat terhenti pada akhir 2020 karena Pevita terinfeksi Covid-19.
– Totalitas dalam berakting, Pevita mempersiapkan diri sekaligus berlatih koreografi selama 1,5 tahun.
– Menguras banyak energi, Christine Hakim mengonsumsi susu, telur, dan madu tiga kali lipat dari biasanya yang hanya satu kali dalam sehari.
– Proses pembuatan film Sri Asih murni merupakan karya anak bangsa. Termasuk efek visual yang dihadirkan.
– Menggunakan 60 tempat untuk lokasi syuting. Dan, 50 persen adegan dalam film dilakukan di dalam studio.
– Randy Pangalila sempat mengalami cedera otot paha menjelang syuting hingga menjalani terapi penyembuhan selama tujuh bulan.
– Adegan pertarungan antara Pevita dan Randy di atas ring diambil selama tiga hari.
SUTRADARA: Upi
PENULIS SKENARIO: Upi dan Joko Anwar
PRODUSER: Wicky V. Olindo, Joko Anwar, Bismarka Kurniawan
RUMAH PRODUKSI: Jagat Sinema Bumilangit
PEMAIN: Pevita Pearce, Reza Rahadian, Christine Hakim, Jefri Nichol, Dimas Anggara, Surya Sapurta, Jenny Zhang, Randy Pangalila, Revaldo, Faradina Mufti, Dian Sastrowardoyo, dan Fadly Faisal
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman