#TALIJIWO

Tuyul Itu Bernama Moge

Hiburan | Senin, 09 Desember 2019 - 00:37 WIB

Tuyul Itu Bernama Moge
Ilustrasi (JAWA POS)

MOGE diselundupkan via burung garuda yang mendarat di hutan air mata. Begitu didaratkan, Moge cekikikan mengamati seantero hutan yang menurutnya gaib.

Inilah hutan air mata. Seluruh floranya jejadian dari tangis. Ada banyak koruptor besar pada mendapatkan grasi, sementara seorang kepala desa dalam kasus yang lebih ringan tetap saja mendapat hukuman berat. Air mata pak kades keluar dan menguap. Uap pun kembali turun menghujan di punggung gunung. Bersama air mata jamaah yang gagal umrah gegara uangnya ditilep, tumbuhlah paku-pakuan, sengon, sukun, dan sebagainya. Membentuk hutan air mata.


Dan air mata itu konkret, cuk. Desa boleh fiktif walau sudah mendapat bantuan dana konkret. Anak perusahaan BUMN pun boleh fiktif walau telah beroleh kucuran dana besar. Tapi, itu tadi, air mata itu konkret, cuk.

Xixixixixixi…

Ah, terlalu lama cekikian tak baik. Moge paham itu. Ia langsung beranjak, melangkah mengawali misi kenapa sampai diselundupkan ke rimba misterius ini.

Seperti apakah langkahnya? Ooo… Tertatih-tatih seperti langkah penguin? Nggremet laksana kura-kura? Bagai langkah harimau lapar yang persis langkah putri Solo? Atau bahkan cheetah si tercepat di bumi? Tak usah diceritakan. Yang jelas, langkahnya amat sangat berhati-hati.

Moge seakan tahu bahwa seisi hutan kesal kepadanya. Seisi hutan akan memandangnya dengan iri dan dengki. "Hanya yang makmur di antara kita yang mampu memiliki makhluk begituan," ujar ulat bulu beracun yang bewarna hitam-putih.
Moge tak menyalahkan konten hutan…

Hah? Konten hutan?

Maksudnya isi hutan, yakni seluruh hewan-hewan itu. Biar kelihatan gaul di mata staf khusus milenial pemburu konten. Biang kerok dari rasa iri dan dengki konten hutan itu adalah teman-teman Moge sendiri. Mereka kalau di jalanan hutan memang suka sok-sokan. Sok paling punya jalan. Akibat susu sebelanga ini, rusaklah nila setitik itu. Nila setitik itu ya si Moge.

Kehati-hatian akhirnya membawa Moge tiba di tujuan misinya, ruang brankas seluruh simpanan uang Raja-Ratu Singa Sastro-Jendro.

Sayang, tak ada uang di brankas sisa pesawat jatuh itu. Selembar pun. Usut punya usut, brankas berpendingin alam itu cuma untuk menyimpan daging segar. Itu pun sudah lama mangkrak. Singa dan seluruh karnivor bersepakat hanya memangsa daging sebatas kebutuhan saat ia lapar. Tak ada yang mereka simpan atau timbun. Mereka sungkan ke alam.

"Biar manusia saja yang melakukan penimbunan dengan lumbung desa sampai Bulog. Mereka tak butuh sungkan ke alam lantaran merasa sebagai makhluk tertinggi…" ujar salah satu rubah.

Tak ada daging segar, oke. Tapi, kenapa duit pun tak ada?

Sudah lama konten hutan air mata itu tak menggunakan alat tukar berupa uang dalam jual beli makanan dan jasa. Kenapa? Mereka kapok. Masak alat tukar jual beli kok juga bisa diperjualbelikan. Ini kan seperti termometer yang labil karena juga ikut-ikutan demam. Fungsinya sebagai alat ukur demam rontok ketika alat itu suhunya tidak stabil pada standar tertentu, malah latah pada suhu yang diukur.

Sejak kapan konten kapok menggunakan alat tukar uang? Sejak burung garuda diberi tambahan fungsi. Dulu burung itu fungsinya hanya mempersatukan pulau-pulau. Mengangkut penduduk dari pulau A ke pulau B untuk bersilaturahmi. Kemudian disusupi fungsinya sebagai angkutan barang dan ideologi selundupan.

Cerita berakhir. Konten telah bermigrasi ke hutan asli. Hutan air mata kembali mencair. Seluas pandang hanya genangan tangis.

*Sujiwo Tejo tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan IG @president_jancukers

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook