JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Gotham dihantui teror pada malam Halloween. Kandidat wali kota jagoan dibunuh. Orang-orang penting di kota tersebut hilang, lalu ditemukan tak bernyawa. Semuanya ditinggalkan dengan satu hal yang sama: teka-teki untuk Batman.
Petaka terulang di Gotham City. Menjelang pemilihan umum wali kota dan pada akhir pekan Halloween, tragedi sadis terjadi. Wali Kota petahana Don Mitchell Jr (Rupert Penry-Jones) meninggal karena pembunuhan di rumahnya. Tragedi itu terjadi pada pekan yang sama dengan pembunuhan orang tua Bruce Wayne atau Batman (Robert Pattinson), dua dekade dulu.
Setelah itu, satu per satu orang penting Gotham City meninggal. Jasad mereka sama seperti Mitchell: dibunuh sadis, lalu ditinggalkan dengan surat. Semuanya untuk Batman, dengan isi serupa. Yakni, teka-teki yang jawabannya mengarah ke target selanjutnya. Bersama James ’’Jim” Gordon (Jeffrey Wright), Batmanmelacak sosok pembunuh misterius Gotham. Penelusuran itu bermuara ke sebuah bar tersembunyi di sisi kumuh Gotham City.
Di sana, dia bertemu Selina Kyle (Zoe Kravitz), seorang penghibur dan pengedar narkoba yang kehilangan temannya. Annika (Hana Hzric), teman seapartemen sekaligus seprofesi Selina, hilang. Dia disandera Edward Nashton alias Riddler (Paul Dano), pelaku pembunuhan berantai Gotham. Selina menggunakan alter ego Catwoman, sosok vigilante sekaligus pelaku kriminal, buat menuntaskannya.
Setiap sutradara dan aktor utama Batman memiliki cara sendiri untuk menceritakan sosok manusia kelelawar itu. Tak bisa (dan tidak perlu) dibandingkan satu sama lain. Di The Batman, Matt Reeves dan Robert Pattinson menuturkan sosok vigilante Gotham itu sebagai tokoh detektif. Penceritaannya mirip dengan menyimak versi komiknya. Tidak ada dialog terlalu panjang atau adegan action yang megah.
Dalam wawancara dengan Esquire, Reeves menyatakan, dirinya banyak terinspirasi komik Batman rilisan 1980-an. Salah satunya, Batman: Year One karya Frank Miller, David Mazzucchelli, dan Richmond Lewis. Dia juga banyak berpegang pada visual film era 1970-an seperti The French Connection dan Taxi Driver. Para kritikus beranggapan, film yang tayang mulai 2 Maret lalu itu condong ke film detektif noir yang gotik.
Namun, dia menegaskan, kunci The Batman ada pada sosok Pattinson. Reeves tertarik dengan akting sang aktor itu di Good Time, film besutan Safdie bersaudara. ’’Dia punya kemarahan dalam diri yang relevan dengan karakternya dan kesan berbahaya. Tapi, aku juga merasakan keputusasaannya,” ungkapnya sebagaimana dikutip Esquire. Meski sempat dicibir fans, Reeves tak menyesali keputusannya memilih Pattinson. ’’Lagi pula, tak ada pemeran Batman yang tak dikritik saat diumumkan,” tegasnya.
Rasa beda The Batman membuat film itu direspons beragam di laman Rotten Tomatoes. Dalam ulasan di ReelViews, kontributor James Berardinelli menilai The Batman sukses menentang arus film superhero yang berusaha menembus angkasa dan berkembang menjadi multiverse. ’’Film ini adalah ’granat’ yang siap meledakkan bioskop,” papar Peter Travers dalam ulasannya di ABC News. Namun, tak sedikit yang menilai, film itu tidak menawarkan sesuatu yang segar.
’’Kenyataannya, tidak ada yang benar-benar baru dari cerita Batman sampai saat ini. Sekuat apa pun Reeves dan (co-writer Peter) Craig berusaha, mereka tak bisa mendapatkan ’sari’ dari sesuatu yang telah kering,” papar Richard Lawson dalam ulasannya di Vanity Fair. Kontributor New York Post Johnny Oleksinski pun menilai, durasi film yang nyaris tiga jam membuat cerita beberapa kali kehilangan fokus.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman