Kisah pada film ini bermula dari Rahmat, seorang jurnalis dengan idealismenya terhadap Islam. Rahmat yang diperankan oleh Fauzi Baadila merupakan lulusan terbaik di Jurusan Jurnalistik, Harvard University. Ia digambarkan sebagai sosok yang dingin dan sinis. Ia juga memiliki hubungan yang tidak baik dengan sang ayah. Ayahnya meninggalkannya di sebuah pesantren saat ia masih kecil, dan itulah yang menyebabkan dirinya menganggap bahwa sang ayah sudah tiada.
Sebaliknya, Rahmat di mata sang ayah dianggap sebagai sosok yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan dirinya sendiri.
Meski begitu, saat mendengar ayahnya, Kyai Zainal akan mengikuti aksi 212 bersama para santri Ciamis, Jawa Barat, ia menentangnya. Ia khawatir jika aksi tersebut akan membuat kekacauan hingga menimbulkan korban jiwa seperti aksi 1998. Ia juga menganggap aksi 212 tak lebih dari aksi politis yang ditunggangi. Ia lantas berupaya untuk menggagalkan rencana Kyai Zainal pergi. Namun nyatanya sang ayah tetap pergi dan berangkat dari Ciamis ke Monas dengan jalan kaki. Dengan terpaksa, ia mengikuti rombongan tersebut untuk memantau kondisi ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu.
Namun saat jutaan jamaah dari berbagai penjuru telah berkumpul di Monas, yang ia lihat justru aksi tersebut merupakan aksi damai. Tertib, penuh solidaritas dan bahkan berjalan dengan lancar.