JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Umumnya, orang menanam cabai untuk dapat dipanen dan dijadikan bumbu dapur atau sekadar pelengkap nyemil gorengan. Namun, siapa yang tega memakan cabai ceri dan cabai pelangi? Yang satu bulat nan menggemaskan dan satu lagi cantik berwarna-warni.
CABAI hias atau ornamental pepper tak hanya menarik pembudi daya tanaman, tetapi juga penghobi tanaman hias. Salah satunya, Sherly Gunawan. Ibu rumah tangga itu tadinya hanya mengoleksi anggrek dan tanaman sejenis aglaonema.
"Saya punya cabai ceri sama cabai pelangi itu baru Oktober kemarin. Pertama lihat bentuknya lucu gitu, kan tahunya cabai rawit yang panjang-panjang, ini kok ada yang bunder-bunder imut,’’ ungkapnya.
Kebun kecil di pekarangan rumahnya kini sudah berjejer tiga pot tanaman cabai. Ada cabai ceri, cabai pelangi, dan cabai rawit. Buahnya tumbuh cukup lebat dan segar. Sebetulnya sudah saatnya panen. Namun, Sherly tidak sampai hati memetiknya. Dia biarkan buahnya keriput dan jatuh dengan sendirinya. Harapannya, buah yang berjatuhan itu akan menyemai kembali. ’’Penasaran sebenarnya, tapi sayang mau dipetik itu. Nggak tega, terlalu gemas. Kata teman saya sih lebih pedas, dipegang aja kerasa pedasnya,’’ ujarnya.
Dua cabai hias itu masih dalam satu spesies yang sama, yakni Capsicum annuum, dan dapat dikonsumsi. Cabai ceri atau pimiento memiliki bentuk bulat menyerupai hati dengan panjang 7–10 cm dengan lebar 5–7 cm.
Bentuk dari cabai pelangi tak kalah imut. Dengan buah yang sedikit lebih panjang. Secara bertahap, warnanya akan berubah-ubah menyesuaikan tingkat kematangan buah. Mulai ungu, kuning, oranye, hingga merah. ’’Merah itu udah terakhir, nggak bisa berubah lagi. Karena mereka tumbuhnya nggak bareng, jadi ada yang masih warna ungu, ada merah, jadi warna-warni kayak pelangi,’’ imbuh Sherly.
Perawatan tanaman cabai hias pun terbilang cukup mudah. Tidak ada media tanam khusus. Yang penting tanahnya gembur. Sherly biasa menyiraminya satu sampai dua kali sehari agar tidak kering. Sebab, pot diletakkan di luar ruangan yang langsung terkena sinar matahari. Saat menyiramnya pun tidak bisa sembarangan. ’’Cukup dengan semprotan air, disemprot medianya aja sama daunnya. Jangan pakai slang, ya,’’ lanjutnya.
Dia juga rutin menyemprotkan pestisida dua minggu sekali. Jika jarang diberi pestisida, tanaman cabai akan rawan terserang kutu putih. Daunnya pun akan dimakan ulat dan tungau. ’’Perlu juga dikasih pupuk MPK, itu biasanya 5–10 butir untuk satu pot, sama vitamin B1,’’ tambah Sherly.
Jika ada sisa cangkang telur dan kulit bawang merah, Sherly akan menaruhnya di media tanam. Cangkang telur mengandung kalsium, sedangkan kandungan auksin pada kulit bawang merah akan menyuburkan tanaman. ’’Saya campur sama medianya, diaduk-aduk gitu sekalian menggemburkan tanahnya biar tidak padat,” ujar Sherly.
Begitu ada daun yang bolong, dia akan langsung memangkasnya agar tidak menular ke daun yang sehat. Untuk mendapatkan tanaman yang rimbun, Sherly rajin memangkas pucuk daun. Dengan begitu, akan tumbuh cabang-cabang lainnya.
Semua rutinitas itu dilakukan dengan senang hati selepas menyelesaikan pekerjaan rumah. Sejak kecil, dia memang sudah gemar berkebun. Sherly sangat menyayangkan saat mengetahui satu tanaman cabai cerinya tiba-tiba layu. Buahnya masih merah segar, tetapi batangnya sudah menghitam. ’’Saya baru tahu kemarin, nggak tahu kenapa, ya. Sepertinya sudah tidak bisa hidup lagi, tapi semoga ada keajaiban,’’ tandasnya.
CABAI CERI ATAU PIMIENTO (CAPSICUM ANNUUM)
- Panjang buah 7–10 cm dengan lebar 5–7 cm.
- Skala kepedasan 100–500 SHU. Beberapa varietas cukup pedas.
- Daging buah manis, berair, dan aromatik.
- Berasal dari Portugal.
- Masa panen empat bulan.
- Biasa diolah dalam masakan berkelas resto berbintang, campuran salad sayur, campuran adonan daging matang/kornet, dan dibuat manisan atau topping masakan.
- CABAI PELANGI ATAU BOLIVIAN RAINBOW (CAPSICUM ANNUUM)
- Skala kepedasan 5.000–30.000 SHU.
- Bentuk buah pendek dan lebih berisi.
- Berasal dari Bolivia.
- Masa panen 3–6 bulan.
- Lebih banyak dijadikan tanaman hias, tetapi bisa dikonsumsi.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman