Masa Depan Energi Bersih dari Perkampungan

Feature | Senin, 31 Oktober 2022 - 10:52 WIB

Masa Depan Energi Bersih dari Perkampungan
LIHAT LAMPU: Warga Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Kadeni, melihat lampu petromax yang baru saja menyala dari energi biogas ternak sapi miliknya jelang senja, Rabu (26/10/2022). (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Jangan dikira perkampungan tidak  berkontribusi bagi pencemaran Bumi. Gas metana yang dikeluarkan ternak, khususnya sapi misalnya, bisa mencapai 14,5 persen total gas rumah kaca di planet ini. Bahayanya bagi atmosfer bisa lebih tinggi 25 kali lipat dibandingkan CO2 dari asap kendaraan. Pengolahan biogas kotoran sapi jadi salah satu solusinya. Pertamina Hulu Rokan (PHR) melihat langkah kecil ini sebagai lompatan besar. Biogas jadi solusi energi bersih sekaligus penanganan limbah di perkampungan.

Laporan MUHAMMAD AMIN, Tapung


DALAM dua pekan terakhir, Jamilah sudah menyimpan tabung gas 3 kg miliknya. Kompornya sudah ditenagai gas dari kotoran sapi, yang kandang dan reaktor biogasnya berada 30 meter di belakang rumahnya. Istri dari Kadeni, warga Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ini tak lagi membeli gas melon.

“Apalagi gas sekarang lagi langka juga,” ujar Kadeni, suami Jamilah menimpali, Rabu (26/10).

Bagi Kadeni, biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi miliknya sangat bermanfaat. Selain gratis menggunakan gas, lampu petromax di dapurnya juga menyala dari suplai energi gas. Baru ada satu titik lampu di rumahnya seperti juga beberapa rumah lainnya di Desa Mukti Sari yang sudah memiliki reaktor biogas.

Sama dengan Jamilah, tetangganya Suramti juga sudah mulai mengistirahatkan gas melon di rumahnya. Dalam sehari, suplai gas metan kotoran sapi dari kandang mereka bisa digunakan untuk empat hingga lima jam memasak nonstop. Padahal, rata-rata hanya diperlukan satu hingga dua jam memasak dengan kompor gas dua tungku itu dalam sehari. Gas mereka sudah surplus.

Gas metan dari biogas ini ternyata sama sekali tidak berbau. Hal ini tentu saja berbeda dengan gas elpiji yang memang diberikan amoniak agar mudah diketahui jika ada kebocoran. Sebagai program baru, masih ada beberapa kekurangan yang terus dibenahi. Salah satunya kebocoran. Seperti di rumah Suramti ketika itu.

Saat kompor dinyalakan, api tidak keluar. Suami Suramti, Sudarman, langsung tanggap. Dia segera menuju reaktor biogas, dan beberapa menit kemudian, api sudah menyala.

“Kadang karena ada kebocoran, atau kadang suka lupa harus pakai pemantik api dulu. Ini beda dengan gas biasa,” ujarnya seraya tersenyum.

Suramti, istri Sudarman, memang kadang lupa, tak hanya harus memutar panel pengatur biogas dan menghidupkan kompor, tapi juga harus memantik api. Ini tentu berbeda dengan gas elpiji yang biasa mereka pakai, dengan tanpa pemantik. Makanya kadang api tak menyala kendati kompor sudah dihidupkan.

Api kompor ini biru, dengan waktu memasak hampir sama dengan elpiji. Tidak ada bau sama sekali. Bedanya, setelah kompor dinyalakan, harus ada pemantik api di atas tungku. Kompor yang digunakan merupakan kompor gas biasa. Hanya ada modifikasi pada sistem input gas di kompor. Sebab, diperlukan pipa yang lebih besar dibandingkan dengan gas elpiji.

Tekanan gas metan ini memang jauh lebih rendah dibandingkan elpiji. Makanya, selain ramah lingkungan, juga relatif aman. Pipa-pipa yang digunakan merupakan pipa plastik biasa ukuran setengah inci. Hanya beberapa bagian yang menggunakan pipa besi.

Dari kandang sapi dan reaktor biogasnya, rumah Sudarman memang relatif jauh, sekitar 100 meter. Pipa itu bahkan harus menyeberang jalan beton desa. Sudarman sendiri yang melakukan pengeboran horizontal, 50 cm di bawah jalan, melintasi juga sungai kecil selebar dua meter. Dia juga ikut dalam konstruksi lainnya.

Sudarman, yang akrab dipanggil Darman, memang sudah paham tentang operasional dan sistem biogas ini. Sebab, sejak awal konstruksi biogas hingga operasionalnya, dia diberikan edukasi oleh konsultan proyek, yakni Yayasan Rumah Energi (YRE) dan PHR yang memfasilitasi. Mereka bahkan ikut membangun, menjadi tukang, dan bagian aktif dari program ini sejak awal.

Konstruksi biogas ini baru dibangun sejak Agustus 2022 dan selesai dua pekan lalu. Proyek ini baru mulai digunakan sejak dua pekan lalu, bahkan belum diresmikan penggunaannya oleh PHR selaku penyelenggara. Dikabarkan, biogas ini menjadi salah satu program unggulan PHR, dan PT Pertamina secara umum. Bahkan, kinerja Dirut Pertamina, salah satu KPI-nya (key performance index) ditentukan dari energi terbarukan, termasuk biogas ini.

Kendati baru, tapi Darman, sudah dapat menikmati energi ini. Kompor bisa menyala nonstop empat hingga lima jam, lampu petromax bisa hidup 12 jam, atau dari magrib hingga subuh. Energinya bahkan surplus dan perlu dibagikan ke beberapa rumah lainnya, setidaknya dua rumah lagi.

“Waktu mati lampu (PLN), rumah kami tetap menyala,” ujar Darman semringah.

Lampu yang digunakan memang hanya berbentuk petromax, karena menggunakan sistem yang sama, yakni suplai gas ke kaos lampu. Titik lampu bisa diperbanyak sesuai kebutuhan. Lampu pijar dan alat elektronik lainnya belum bisa digunakan dengan energi dari reaktor biogas ini. Diperlukan konversi energi dan generator khusus agar energi dari biogas berubah menjadi listrik.

“Ke depan kami harapkan demikian,” ujar Darman.

 

Pupuk Organik hingga Pakan Ikan

Reaktor biogas dari ternak sapi tak hanya menghasilkan gas metan yang bisa menyalakan kompor dan lampu. Endapan sisanya bisa menghasilkan bio-slurry. Bio-slurry ini dipisahkan, yang padat dengan yang cair. Yang padat mengendap, yang cair dialirkan di tabung lainnya.

“Yang padat bisa untuk pupuk, bahan pakan ternak, dan pelet ikan. Sedangkan yang cair bisa untuk pupuk organik cair (POC),” terang Darman.

Dia tampak sudah cukup ahli menyampaikan manfaat dan kinerja biogas ini. Darman memiliki delapan ekor sapi. Di samping kandang itu, dibangun reaktor biogas ukuran 8 meter kubik. Ada tempat memasukkan kotoran sapi, baik feses maupun urinenya. Jumlahnya harus seimbang antara yang cair dan padat. Biasanya dilakukan pagi hari. Lubang ini disebut toilet dan harus diaduk setiap dimasukkan dengan alat khusus. Kotoran sapi ini kemudian masuk ke digester ukuran 8 meter kubik yang berbentuk kubah di dalam tanah. Di atas digester inilah gas metan yang sudah terakumulasi disalurkan langsung ke rumah. Sedangkan sisa kotoran sapi itu mengalir dengan alami ke lubang outlet, yang kemudian dialirkan lagi ke lubang bio-slurry. Dari sini kemudian dipisahkan yang padat dan yang cair. Hasilnya pupuk organik yang bisa diambil secara berkala.

“Pupuk organik ini tentu jauh lebih baik daripada kotoran sapi langsung ke tanaman,” ujar Darman.

Sebagai catatan, Desa Mukti Sari merupakan desa kaum transmigran. Darman berasal dari Lampung, sementara Kadeni dari Ponorogo. Ada juga dari daerah lainnya di Jawa. Mereka berkebun sawit sejak tahun 1982 hingga sekarang. Salah satu program yang diterapkan sejak beberapa tahun belakangan adalah integrasi sawit dan sapi. Sapi diberikan pakan, salah satunya dari sawit, dari daun hingga bungkilnya. Sementara kotoran sapi digunakan untuk pupuk sawit. Dengan demikian, keduanya terintegrasi.

Hasil kajian, pupuk padat dan cair yang sudah diolah dari reaktor biogas ini jauh lebih baik dibandingkan kotoran sapi langsung, karena sudah melalui proses fermentasi alami. Pencemaran dan gas metannya juga sudah minim karena sudah dikonversi menjadi energi. Bio-slurry ini juga bisa dijadikan pakan ikan atau pelet. Tentu setelah diolah lagi.

“Dicampur sekam padi, difermentasi, bisa jadi pelet ikan,” ujar Darman.

Darman merupakan Ketua Kelompok Tani Bina Mukti Sari dengan 20 anggota. Mereka memiliki sapi bersama bantuan pemerintah, selain juga sapi yang diusahakan sendiri. Pengembangan sapi terus dilakukan dengan kotorannya yang juga kian menumpuk dan jadi masalah lingkungan.

“Biogas ini bisa jadi solusinya,” ujarnya.

 

Desa Energi Berdikari

Mukti Sari merupakan pilot project desa energi berdikari. Hal ini tentu saja didukung tokoh masyarakat setempat. Salah satunya Kepala Dusun 03 Mukti Sari, Santoso. Selain juga merupakan penerima program PHR ini, Santoso melihat, energi berkelanjutan dari biogas ini penting bagi masyarakat kampung seperti mereka. Reaktor biogas di rumah Santoso bahkan lebih besar, yakni berkapasitas 10 meter kubik.

“Ini perlu dikembangkan lagi,” ujar Santoso.

Potensi pengembangan biogas ini tentunya sangat besar. Apalagi, populasi ternak sapi di Kecamatan Tapung relatif besar. Populasi ternak di Tapung saja, menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Wilayah II Dinas Perkebunan, Pertanian dan Kesehatan Hewan Kampar, drh Rahmat Yusuf, berjumlah 5 ribu ekor. Di Kecamatan Tapung Hulu juga ada 5 ribu ekor dan di Tapung Hilir 7000 ekor. Di UPT Wilayah II Kampar ini, jumlah ternaknya 17 ribu ekor.

“Jadi masa depan biogas ini sangat potensial bagi masyarakat desa. Perlu dikembangkan lagi,” ujar Yusuf.

Para petani, peternak, dan pekebun di perdesaan juga perlu diperkenalkan dengan sistem pertanian modern yang zero waste, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Makanya pilot project PHR di Tapung ini, menurutnya sangat strategis dan perlu dikembangkan. Tidak hanya pada delapan titik biogas, tapi juga yang lainnya.

Ditambahkan petugas lapangan Wilayah II Dinas Perkebunan, Pertanian dan Kesehatan Hewan Kampar, Fernando Hutagaol, pihaknya akan mengembangkan tanaman energi lainnya yakni sorgum. Tanaman ini bisa menjadi energi yakni bioetanol yang jika diolah merupakan bahan baku bensin, pertalite, hingga pertamax. Terdapat 520  hektare kebun sawit yang akan replanting (ditumbangkan karena sudah tua). Selain diganti sawit baru, yang dipersiapkan juga adalah lahan pengembangan pakan ternak. Di antaranya adalah rumput odot, pakchong, dan termasuk sorgum.

“Akan dilakukan uji coba penanaman sorgum ini seluas satu hektare di belakang kantor desa. Diberi bantuan oleh BPPT,” ujar Hutagaol.

Adapun pengembangan biogas dari ternak sapi menurutnya hendaknya terus dilakukan. Potensi yang sangat besar di perkampungan ini diharapkan menjadi salah satu konsen PT PHR yang beroperasi di sekitar Tandun, pada Field Area Kota Batak. Dia membayangkan ke depan, tidak hanya biogas kotoran sapi skala kecil, tapi sudah dikonversi menjadi energi listrik dengan mesin generator sendiri. Teknologinya sudah ada dan tinggal dikembangkan. Tidak hanya dari kotoran sapi, biogas dari kotoran manusia sudah dikembangkan juga. Selain dengan septic tank komunal, juga pada sekolah atau pesantren. Di Tapung juga ada pesantren yang potensial untuk pengembangan biogas ini.

“Hanya saja tentu perlu edukasi yang intens pada masyarakat. Sebab ini menyangkut kotoran manusia. Tapi kenapa tidak,” ujar Gaol terkekeh.

Selain itu, biogas dari sampah rumah tangga juga sangat potensial. Masyarakat desa memiliki sampah rumah tangga organik yang melimpah. Gas metannya juga merusak lingkungan hingga atmosfer. Padahal, sampah organik ini, selain bisa dijadikan pupuk, juga bisa jadi energi. Jika pengembangan semua ini maksimal, maka masyarakat desa sangat berkontribusi mengurangi emisi dan pencemaran, selain juga lebih sejahtera.

“Harapan kami ke depan, sudah ada motor listrik yang energinya dicas dari generator olahan biogas ini. Tak hanya dari ternak sapi, tapi juga dari sampah organik dan kotoran manusia,” ujar Gaol.

 

Energi Terbarukan Skala Besar

Pengembangan biogas dengan bahan baku yang beragam, dari kotoran sapi, manusia, hingga sampah rumah tangga ini sangat mungkin dilakukan. Bahkan hal ini pun sudah dilakukan dalam skala besar dan banyak. Staf Yayasan Rumah Energi (YRE) yang menjadi mitra PHR, Krisna Wijaya mengatakan, pihaknya sudah memproduksi reaktor biogas sebanyak 26 ribu unit di seluruh Indonesia. Kebanyakan di Jawa dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Kebanyakan dari ternak sapi, lalu sampah rumah tangga, dan skala terkecil kotoran manusia.

“Di Riau ini baru. Tapi potensial sekali dikembangkan lebih lanjut,” ujar Krisna.

Pengembangan biogas ternak sapi paling pesat saat ini terjadi di NTB. Bahkan dalam dua tahun terakhir, dibangun sebanyak 2.200 unit reaktor biogas ternak sapi. Mengapa begitu banyak? Menurut Krisna, saat ini sudah mulai muncul kesadaran mandiri peternak di NTB untuk mengembangkan biogas sendiri karena manfaat yang dirasakan. Apalagi, sebenarnya, pembangunan reaktor biogas ini tidak terlalu mahal. Untuk reaktor paling kecil seukuran 2 meter kubik, hanya diperlukan biaya konstruksi sebesar Rp8 juta. Adapun yang standar, yakni dengan kubah reaktor biogas 10 meter kubik, biayanya sebesar Rp15 juta hingga Rp20 juta. Semuanya tergantung kontur tanah, kondisi lahan, dan biaya bahan bangunan yang di tiap daerah berbeda-beda.

“Masyarakat di Tapung sudah kami edukasi dan bahkan dilatih untuk membuat konstruksi reaktor biogas, juga operasionalnya. Jadi diharapkan, ke depannya, mereka bisa berswadaya,” ujar Krisna.

Adapun untuk skala lebih besar, apalagi yang sifatnya komunal, tentunya diperlukan intervensi atau andil pihak lain. Selain pemerintah, juga BUMN dan swasta. Biogas ternak sapi skala besar bisa dikonversi menjadi listrik dengan generator khusus. Estimasinya, 100 ekor sapi bisa untuk kebutuhan 20 rumah dengan keperluan listrik standar di desa. Adapun pupuk yang dihasilkan dari 100 sapi ini bisa mencapai 1 ton per hari. Begitu juga soal sampah rumah tangga dan biogas dari kotoran manusia dari septic tank komunal, sudah diterapkan. Beberapa pesantren telah mengaplikasikannya. Hanya saja diperlukan edukasi lebih intens karena tidak semua komunitas masyarakat bisa menerima gas metan dari septic tank ini dijadikan bahan bakar untuk memasak. Hal ini terkait lingkungan, adat, dan budaya setempat. Tapi yang jelas, semua bahan “buangan” itu, pada dasarnya dapat dimanfaatkan.

“Jadi selain menghasilkan energi, juga untuk pupuk dan mengurangi emisi,” ujarnya.

 

Konsen Energi Terbarukan

Terkait program biogas di Tapung ini, Pertamina memang menyadari pentingnya energi terbarukan. Program bernama Desa Energi Berdikari Berbasis Biogas ini menjadi sebuah pilot project yang tentunya akan dikembangkan lagi. Ada sembilan titik reaktor biogas yang tahun ini dibangun PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Wilayah Kerja (WK) Rokan. Delapan unit di Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, satu unit di Rumbai, Pekanbaru.

“Tentu kami monitoring, evaluasi dan kaji lebih jauh. Jika memang potensi pengembangannya baik bagi masyarakat, tidak tertutup kemungkinan akan kami kembangkan,” ujar Manager Social Performance PHR WK Rokan, Pinto Budi Bowo Laksono.

Program dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PT PHR WK Rokan ini diharapkan tidak saja membantu peternak dari sisi energi dan pupuk, tapi juga bagian dari mengurangi emisi. Untuk pengembangan program ini, pihaknya akan melakukan pemetaan material resource, yakni jumlah sapi dan pengelolaannya, kesiapan sumber daya manusia (SDM), dan aspek pendukung lainnya. Setelah ada asesmen, monitoring, dan evaluasi secara lengkap, maka bisa saja dilakukan replikasi di area yang berbeda.

“Kalau berdampak baik bagi masyarakat, dan masyarakat menerimanya manfaatnya, tentu akan kami kembangkan lebih banyak dan lebih luas,” ujar Pinto.

Terkait pengembangan biogas dari sampah rumah tangga dalam skala besar dan juga biogas berbahan baku kotoran manusia tentu perlu dikaji lagi. Pengembangan biogas jenis ini bisa saja dilakukan ke depan dari evaluasi dan kajian yang dilakukan.

Adapun yang sudah dilakukan PHR untuk mengurangi emisi dari sampah rumah tangga misalnya membentuk bank sampah. Ada 40  bank sampah yang sudah dibuat PHR. Yang baru diresmikan misalnya di Rumbai, Pekanbaru, pada Maret 2022 lalu. Selain tujuan mengurangi emisi dan pencemaran, banyak manfaat lainnya yang diterima masyarakat. Di antaranya bisa menghasilkan kompos (pupuk padat), lindi (pupuk organik cair), ekobrick, dan magot kering. Produk terbaru adalah pupuk cair dari batang pisang.

Selain berbasis kemasyarakatan, beberapa program PHR untuk mengurangi emisi dilakukan dengan skala besar. Misalnya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Secara keseluruhan, PLTS yang dibangun PHR bersama Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) akan menghasilkan energi 25 megawatt (MW). Lahan yang digunakan total seluas 28,16 hektare di tiga lokasi, yaitu Rumbai, Duri, dan Dumai Camp.

Program Desa Energi Berdikari yang pilot project-nya ditempatkan di Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau, termasuk langkah awal untuk pengurangan emisi dari desa. Sebab, peternakan di desa-desa termasuk berkontribusi besar bagi pencemaran atmosfer, jika tidak diantisipasi. Pengembangan program energi bersih dan pengurangan emisi akan terus dilakukan Pertamina Hulu Rokan dalam skala lebih luas.***

 

Editor: Edwar Yaman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook