Energi terbarukan sebenarnya sangat melimpah di Indonesia, Negeri Khatulistiwa ini. Salah satunya yang tak akan habis adalah energi Matahari dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Bahkan PT Pertamina yang dulu identik dengan eksploitasi energi fosil, kini begitu intens mengembangkan PLTS dan beberapa sumber energi terbarukan lainnya. Targetnya tak main-main, 10 ribu megawatt alias 10 gigawatt (GW) pada 2026.
Laporan Muhammad Amin, Dumai
Para pekerja tak lagi sibuk memasang konstruksi dan modul-modul panel surya di kawasan Pertamina Refenery Unit (RU) II Dumai. Ada 5.760 keping modul berukuran 1 x 2 meter yang sudah terpasang. Satu keping modul bisa menghasilkan energi listrik 350 watt. Modul-modul itu terhampar di lahan seluas sekitar 2 hektare di Kompleks Pertamina RU II Dumai di Jalan Bukit Datuk. Hanya saja, karena ada lembah, bidangnya terbagi dua dengan total tetap sekitar 2 hektare. Modul terpasang miring itu kini jadi pemandangan baru di hamparan itu. Pantulan cahayanya jadi pemandangan unik dari kejauhan.
"Proses masih berjalan termasuk perizinan dan proses administrasi lainnya," ujar BD & Project Coordinator PT Sinergi Era Cemerlang, Pitra Hendrayani, Sabtu (28/2) lalu.
Perusahaan ini dipercaya PT Pertamina (Persero) di bawah subholdingnya PT Pertamina Power Indonesia (PPI) untuk mengerjakan PLTS Dumai. Tahun ini juga ditargetkan PLTS Dumai sudah bisa beroperasi dan energi dari radiasi matahari sudah bisa dimanfaatkan.
PLTS Dumai menggunakan sistem on grid tanpa baterai. Artinya, energi dari radiasi Matahari hanya digunakan pada siang hari. Mulai pukul 6 pagi hingga pukul 18.00. Dengan jumlah panel surya mencapai 5.760 keping, maka energi yang bisa dimaksimalkan mencapai 1,8 megawatt (MW). Bahkan bisa mencapai 2 MW.
"Puncaknya itu pada pukul 10.00 hingga 14.00 karena ketika itu radiasi Matahari sangat besar," ujar Pitra.
PLTS ini akan terhubung secara paralel dengan PLN. Energi PLTS tersambung dengan energi listrik dari PLN di substation antargardu. Dengan demikian, maka pemakaian listrik PLN akan berkurang di siang hari, karena sebagian besar akan menggunakan energi listrik dari PLTS ini. Sedangkan pada malam hari, tetap kembali menggunakan listrik PLN karena sistem ini tidak menggunakan baterai untuk menyimpan energinya. Dalam kondisi puncak pemakaian, biasanya di siang hari digunakan sebesar 3 MW di perumahan RU II Dumai ini. Jika PLTS sudah beroperasi, 1,8 MW di antaranya sudah bisa disuplai dari radiasi Matahari ini. Terdapat sekitar 1000 rumah yang dapat menggunakan fasilitas ini. Selain rumah, ada juga rumah sakit, dan beberapa fasilitas publik lainnya.
Corporate Secretary PT Pertamina Power Indonesia (PPI) atau Pertamina NRE (New Renewable Energy), Dicky Septriadi, menyebut, PLTS Dumai merupakan satu dari beberapa program besar Pertamina dalam memberikan energi bersih untuk rakyat. PLTS Dumai sendiri rencananya akan dioperasikan pada September atau paling lambat Oktober 2021 ini. Selain PLTS Dumai, ada beberapa PLTS yang kini sedang dikembangkan Pertamina. Di antaranya PLTS Badak di Kalimantan Timur (4 MW), PLTS Sei Mangke di Sumut (2,4 MW), PLTS PTPR di Jabodetabek, Jateng dan Jatim (0,39 MW), serta PLTS Cilacap (1,4 MW). Masing-masing PLTS punya karakter dan peruntukan yang berbeda.
"Kalau Dumai untuk perumahan, di Kaltim tidak, yakni untuk kantor dan operasional. Jadi menyesuaikan dengan kebutuhan. Yang jelas kita bangun energi bersih untuk negeri," ujar Dicky.
Investasi yang digelontorkan Pertamina Power Indonesia untuk PLTS Dumai cukup besar, yakni sekitar Rp15 miliar. Tapi hal ini akan sebanding dengan manfaat yang didapat. Asal perawatan dilakukan rutin dan memadai, maka peralatan ini bisa bertahan hingga 20 bahkan 25 tahun. Sementara sumber energinya dari radiasi Matahari tentu saja gratis. Rata-rata break event point (BEP) PLTS ini antara tiga hingga lima tahun. Artinya, balik modal Rp15 miliar antara rentang waktu itu. Baik panel surya kapasitas besar maupun skala rumahan sama saja BEP-nya. Perawatan panel surya juga cukup mudah. Cukup dibersihkan dari debu antara dua pekan hingga sebulan sekali.
Kerja Besar untuk Negeri
Ada serangkaian kerja besar yang sedang dihelat Pertamina dalam hal energi terbarukan ini. Hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk transformasi energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 atau berselang empat tahun dari sekarang. Makanya, kemudian PT Pertamina melalui subholdingnya PT Pertamina Power Indonesia (PPI) menargetkan 10 gigawatt (GW) atau 10 ribu megawatt energi bersih pada tahun 2026. Rinciannya, 6 GW dari gas, 3 GW dari energi terbarukan termasuk PLTS dan geothermal, dan 1 GW dari inisiatif energi baru seperti hydrogen.
Sebenarnya bukan hanya tugas Pertamina untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan ini. Pemerintah juga menggesa perusahaan dan BUMN lainnya. Bahkan sudah dibuat konsorsium besar berupa Indonesia Baterai Corporation. Konsorsium ini terdiri dari Pertamina, PLN, Antam, dan Inalum.
"Jadi bersama-sama kita mewujudkan energi bersih dengan target 23 persen pada 2025 itu," ujarnya.
Di internal Pertamina, gerakan besar ini dimulai pada 2018 lalu dengan bergabungnya PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina. Selanjutnya pada Juni 2020, transformasi berlanjut dengan pembentukan subholding, yakni hulu migas dan energi terbarukan. Inilah momen transformasi Pertamina yang selama ini identik dengan pengolahan energi fosil. Dengan mengubah logo dari kuda laut menjadi yang sekarang, Pertamina juga berubah dalam hal kinerja. Hal ini juga menjadi tuntutan global. Tren perusahaan minyak global juga berubah dari energi fosil menuju energi terbarukan.
"Makanya Pertamina juga harus bertransformasi. Kami sekarang perusahaan energi, bukan lagi migas," ujar Dicky.
Masa Depan Energi Indonesia
PLTS disinyalir merupakan masa depan energi terbarukan di Indonesia. Kendati sekarang masih perlu investasi besar, tapi ada kecenderungan terus turun dan makin terjangkau. Komponen yang mahal antara lain adalah baterai, mencapai 80 persen dari total investasi. Makanya ada PLTS yang tidak menggunakan baterai dan cukup digunakan pada siang hari. Energi radiasi matahari yang berlimpah di Negeri Khatulistiwa jadi poin tersendiri.
"Saya optimis lima hingga sepuluh tahun mendatang, PLTS ini akan booming," ujar peneliti di Energy Research Centre UIN Suska Riau Kunaifi.
Secara umum, ada dua model PLTS. Pertama model ground mounted atau di atas tanah seperti halnya pada PLTS Dumai. Sistem ini menghasilkan energi skala besar. Ground mounted dibagi dua juga, yakni yang mandiri, biasanya di pedesaan, berfungsi sebagai pengganti genset. Berikutnya ground mounted yang terintegrasi dengan PLN, seperti di PLTS Dumai. Yang kedua, PLTS atap, yang dipasang di atap. Biasanya skala kecil untuk rumah tangga. Di Jakarta, PLTS atap sudah marak dan banyak digunakan di rumah maupun perkantoran. Baik PLTS di atas tanah maupun PLTS atap bisa terkoneksi dengan jaringan PLN. Meteran listrik pun diganti menjadi meteran ekspor-impor (eksim). Listrik dari PLTS masuk ke jaringan PLN, sehingga mengurangi pemakaian daya PLN. Di akhir bulan, tagihan listrik bisa berkurang hingga 35 persen.
"Ini sudah berlaku dan memang ada kerja sama dengan PLN terkait PLTS ini. Ada regulasinya," ujar Kunaifi.
Doktor lulusan University of Twente Belanda ini menyebut, terdapat beberapa kelebihan PLTS, baik skala besar ataupun skala rumahan PLTS atap. Pertama, tidak ada polusi. Hal ini berbeda dengan listrik yang mengandalkan pembangkit dari biodiesel, apalagi batu bara. Kedua, usia pemakaian relatif panjang, yakni mencapai 20 tahun. Secara ekonomi, cukup menguntungkan. Ketiga, sumber energi gratis. Apalagi di Negeri Khatulistiwa ini. Berbeda dengan di Eropa yang terjadi fluktuasi energi matahari. Kadang hanya empat hingga enam jam di siang hari. Keempat, makin lama makin murah karena teknologi terus diperbarui. Salah satunya baterai. Revolusi teknologi baterai ini semakin menjanjikan. Menurut Kunaifi, investasi terbesar PLTS ada pada baterai, yakni sebesar 80 persen, dan itu terus-menerus diperbarui serta dibuat seefisien mungkin.
"Makin hari harganya juga makin turun. Sehingga ke depan, PLTS ini akan jadi tren yang menarik," ujarnya.***