PENGALAMAN 12 HARI MENJALANI PERAWATAN DI RUANG ISOLASI PDP (1)

Panik saat Berstatus PDP, Untung Perawat Bisa Bikin Nyaman

Feature | Selasa, 28 April 2020 - 00:30 WIB

Panik saat Berstatus PDP, Untung Perawat Bisa Bikin Nyaman
Said Mufti swafoto bersama perawat di salah satu rumah sakit swasta di Pekanbaru, baru-baru ini.(SAID MUFTI/RIAU POS)

Mulai edisi ini, redaksi akan menerbitkan tulisan bersambung yang berasal dari catatan harian Said Mufti, redaktur foto Riau Pos yang harus menjalani perawatan di ruang isolasi dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) selama 12 hari. Sakit asmanya yang kambuh ditambah batuk, membuat dia harus menjalani perawatan 12 hari dengan standar penanganan PDP. Mudah-mudahan pembaca bisa mengambil hikmah dari tulisan ini.

Catatan: Said Mufti


Bermula sejak 8 Maret 2020. Sudah dua malam saya tidur gelisah terutama saat menjelang subuh. Bahkan, dua hari itu saya bisa dikatakan tak bisa tidur. Tak selese kata orang Melayu. Sudah bolak balik bantal tak juga terpejam. Belakangan memang banyak pikiran. Puncaknya adalah saya merasakan sesak mendalam di dada diiringi batuk pada Jumat (10/4/2020) malam.

Malam itu saya masih masuk kantor. Saat dada semakin sesak, saya meminta waktu istirahat untuk pulang lebih cepat kepada pimpinan divisi saya bekerja.

Di hari kedua istirahat di rumah, rasa tak nyaman di dada kembali datang. Saya putuskan untuk berobat di RS Syafira, Jalan Sudirman, Pekanbaru pada Selasa (14/4/2020). Ini rumah sakit yang paling terdekat dengan kediaman. Setelah menjalani berbagai pengobatan seperti mana biasa jika sesak dengan bantuan alat nebu, maka sesak akan minggir dengan sendirinya.

Namun belakangan saya diharuskan foto rontgen. Masih tak ada rasa waswas, masih dengan pikiran normal. Namun usai hasil rontgen dibacakan bahwa ada gangguan pada saluran pernapasan, di situ saya mulai panik. Dokter memutuskan saya harus dirawat di ruang isolasi.

Pikiran kalut, panik, campur aduk menambah sesak napas, kenapa bisa begini? Keluar kota tak ada, keluar negeri apalagi. Kesibukan hanya masuk kerja malam, pulang, mandi, ganti baju, jam 10.00 pagi berjemur sekalian olahraga kecil. Lah, ini kok jadi suspect pula.

Saya langsung dipindah ke ruang khusus dan istri di luar hanya bisa melihat dari dua kaca yang membatasi. Untuk berkata pun harus berteriak. Pikiran campur aduk, napas sesak datang menghimpit. Ketika pasukan berbaju putih datang untuk menangani saya, di saat itu juga saya mengganti kostum pasien dengan plastik merah yang jadi standar penanganan pasien dalan pengawasan (PDP).

Gawai saya terus berbunyi. Anak menelepon, pimpinan menelepon. Bercampur aduk rasanya. Untung saya ditangani perawat yang bisa menenangkan dan saya jadi tidak kalut. Ini menjadi penenang seperti oksigen yang meredakan sesak napas.

Hanya dalam beberapa menit saja, status saya naik menjadi PDP. Pasien dalam pengawasan, satu tingkat di atas orang dalam pemantauan (ODP). Karenanya saya harus istirahat selama tujuh hari di ruang isolasi dan harus menjalani berbagai macam tes.

Pengambilan sampel cairan hidung dan sampel darah untuk laporan swab, membuat saya harus pasrah dengan “serangan” jarum dari arah kanan dan kiri. Sakitnya jangan ditanya, tak ada nyaman sedikitpun. Maklum saya punya sindrom dengan jarum.

Kini badan bersandar sendiri di kamar, tapi paling tidak ada oksigen yang membantu. Sedari awal masuk ke kamar ini, saya ditemani seorang perawat lengkap dengan pakaian putih sepatu boot, kacamata dan kaca pembatas. Si perawat menjelaskan bahwa pasien PDP di RS Syafira itu baru dua orang.

"PDP di sini baru dua, yang pertama sudah pulang dengan hasil negatif," kata sang perawat.

Dari perawat yang asalnya dari Tembilahan, Kabupaten Inhil ini, saya dapat sedikit tenang. Terlebih saat ia duduk dengan kepala tertunduk di ruangan sebelah yang dibatasi kaca dengan ruangan saya dirawat. Di ruangan itu dia bisa memantau pasien. Sepertinya ia lelah karena dipaksa harus tertidur lengkap dengan alat pelindung diri (APD) atau kostum hazmat-nya. Sementara saya masih dengan mata terbuka karena harus menyesuaikan diri di malam pertama di ruang isolasi.

***

Akibat minum beberapa butir obat, saya bisa juga tidur pulas meski sebentar. Saya terbangun ketika pergantian shift dari perawat Hasbi kepada perawat bernama Ridho. Sama seperti Hasbi, Ridho pun melayani saya dengan nyaman.

Usai beberapa percakapan, dia kembali ke ruangan di balik pintu sambil menunggu saya sebagai pasien. Dengan pakaian seperti itu, terkadang muncul rasa iba, terlebih di saat saya tak dapat memejamkan mata, sekilas saya lihat dia tertidur meski dengan pakaian yang jelas tak nyaman.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook