Bagi masyarakat Sabu Raijua, air adalah segalanya. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia yang memiliki air melimpah, di sini curah hujan rendah, mata air sulit, sedangkan panas terik memanggang setiap hari. Di sini, air seperti lebih berharga ketimbang memiliki emas berlian.
Oleh Hary B Koriun
SIANG yang terik. Meski waktu baru menunjukkan pukul 11.12 Wita, Sabtu, 18 Mei 2019, namun matahari seakan berada di atas kepala. Di Sabu Raijua, suasana seperti ini sudah sangat lumrah. Panas terik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga. Mereka sudah tak pernah mengeluhkan lagi karena sejak lahir hingga mereka dewasa, alam kehidupan sudah seperti itu. Termasuk bagaimana susahnya mereka mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, di pulau karang ini, musim hujan teramat pendek. Hanya November hingga Desember. Selebihnya musim kemarau.
Maka, panas di Bulan Mei ini dianggap “belum seberapa”. Puncak musim kering mereka adalah Oktober hingga November. Di bulan-bulan itu menjadi hari-hari yang cukup berat bagi mereka. Di daerah-daerah seperti Kecamatan Hawu Mehara (Mesara), Liai, atau Raijua, penderitaan masyarakat akan sangat terlihat jelas. Mereka akan kesulitan air bersih. Membeli dari mobil-mobil tangki adalah solusi satu-satunya.
Alam sudah tak meninggalkan air lagi di tanah. Maka jangan heran kalau ada warga yang seminggu tak mandi meski melakukan kegiatan sehari-hari bersama masyarakat. Anak sekolah, PNS, guru, dan sebagainya. Mereka hanya membersihkan tubuhnya dengan kain basah. Bahkan anak-anak sekolah banyak yang tak tersentuh air di tubuhnya. Air yang sedikit digunakan untuk kebutuhan yang lebih penting. Minum dan memasak nasi atau sorgum dan masakan lainnya.
Siang ini, saya berencana akan berangkat ke Kecamatan Sabu Tengah dan Sabu Timur, untuk melihat kondisi masyarakat di sana. Bang Marthinus Broter sudah berjanji menjemput setelah makan siang. Katanya, dia masih ada beberapa kesibukan yang harus diselesaikan. Di Sabu Raijua, hari Sabtu para pegawai pemerintahan masuk seperti biasa. Namun pulang lebih cepat.
Kami berangkat sebelum waktu menunjukkan pukul 12.00. Tujuan pertama adalah mata air Ei Mada Bubu, mata air “abadi” di Desa Menia, tak jauh dari Kompleks Kantor Bupati Sabu Raijua. Jalan ke arah sana sangat bagus. Aspal hotmix. Namun saat sampai di area persawahan, setelah melewati jembatan, jalan menyempit. Kabarnya jalan ini dibuat demikian supaya kendaraan tidak ngebut. Maklumlah, jalannya agak sempit dan berkelok-kelok.
Saat tiba pertama kali di Sabu dan melihat ada area persawahan –ketika itu padi sedang menguning dan di sudah ada yang dipanen— saya merasa heran. Sabu yang panas dan tandus ini masih ada area persawahan? Selain di Minea, juga ada sawah di Mebba, tak jauh dari Seba. Kata Bang Brother, itu sawah tadah hujan, setahun sekali menanamnya. Musim tanamnya antara November-Desember saat musim hujan di Sabu. Air-air itu ditampung di beberapa embung di Mebba dan Menia. Karena yang ditanam pagi berumur panjang, jenis gogo, pas bulan Mei baru panen.
“Lumayanlah untuk kebutuhan hidup masyarakat di Sabu, meski tidak banyak. Kami tetap mengandalkan beras dari luar Sabu,” kata Bang Brother.
Kami sampai di mata air Ei Mada Bubu, mata air “abadi” di Menia, tak jauh dari Gereja Ebenhaezer. Dari arah Kompleks Kantor Bupati sebelah kiri. Masuk ke jalan agak kecil melewati rumah-rumah penduduk dan sekolah SD Menia. Kendaraan roda empat bisa langsung masuk ke lokasi.
Mata air tersebut tepat berada di bawah sebuah pohon beringin besar, yang kata Bang Brother, usianya sudah ratusan tahun. Tak ada yang berani menebangnya. Memang tak boleh ditebang. Masyarakat menganggap keberadaan pohon tersebut adalah salah satu penyebab air tak pernah kering di mata air itu meski puncak musim kemarau September atau Oktober.
Mata air itu dibuat seperti kolam. Disemen seluruh sisi empat perseginya. Luasnya sekitar 10 x 5 meter. Ada tiga orang yang sedang berendam di mata air tersebut. Airnya sangat jernih. Dasar airnya yang merupakan bebatuan berwarna putih terlihat jelas. Akar-akar halus pohon beringin juga terlihat menjulur-julur di dasar kolam. Di pinggir terlihat agak landai, tetapi di tengah dalamnya setinggi orang dewasa lebih. Itu terlihat dari salah seorang warga, Nicolas Rahi Lido, yang berenang ke tengah dan kemudian berdiri di sana.
“Tak terlalu dalam. Tapi kalau pas musim hujan kolam ini bisa penuh, airnya bisa nyaris meluber,” ujar Nicolas.
Mata air ini seperti menjadi berkah bagi masyarakat Pulau Sabu karena menjadi satu-satunya mata air yang yang tak pernah kering di musim apa pun. Itulah mengapa kemudian Pemkab Sabu Raijua menjadikannya sebagai sumber mata air dikelola untuk PDAM. Menjadi sumber air minum utama masyarakat meski tak mampu menkaver semua keluarga di sana.