PERJALANAN KE PULAU KARANG (18)

Di Sabu Raijua, Punya Banyak Air Lebih Berharga Dibanding Berlian

Feature | Sabtu, 25 Januari 2020 - 15:50 WIB

Di Sabu Raijua, Punya Banyak Air Lebih Berharga Dibanding Berlian
Mata air Ei Mada Bubu, mata air “abadi” di Desa Menia, Pulau Sabu. Ini satu-satunya mata air yang tak pernah kering meski saat puncak musim kemarau. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Di sekitar sumber mata air tersebut ternyata ketika dibor, juga muncul mata air-mata air baru. Masyarakat sekitar sumber mata air tersebut banyak yang kemudian mengebornya dan menjualnya kepada masyarakat lainnya dengan mobil tangki. Setiap hari mereka berkeliling ke berbagai kecamatan dan desa yang kesulitan air.

Keberadaan mobil-mobil tangki ini sangat membantu warga yang kesulitan air. Apalagi menjelang atau saat puncak musim kemarau. Harga per tangkinya 300-400 ribu. Sedang harga per drumnya 20 ribuan. Harga ini bisa naik di saat puncak musim kemarau karena sumber-sumber air banyak yang menyusut.


 Bagi masyarakat yang punya penghasilan lumayan besar, misalnya ASN/PNS atau yang memiliki usaha dan penghasilan tetap, harga sebesar itu sangat terjangkau. Tetapi bagi petani biasa atau kalangan yang penghasilannya tidak tetap, harga tersebut lumayan tinggi.

Dalam perjalanan ke Hawu Mehara (Mesara) beberapa waktu lalu, saya melihat seorang ibu sedang mencuci pakaian di sebuah tanah cembung yang berair kotor berwarna keruh, di pinggir jalan. Di tempat lain, misalnya di daerah-daerah yang berlimpah airnya, misalnya di kampung saya di Tebo, Jambi, air seperti itu biasanya (maaf) menjadi tempat kubangan kerbau atau binatang lainnya.

 “Apakah separah itu?” tanya saya kepada Bang Brother ketika itu.

Dia tersenyum, agak kecut terlihat. “Itulah realitas di sini...” katanya kemudian. “Mereka memanfaatkan yang ada. Tapi, kalau mencuci di air yang begitu, sama saja tidak mencuci, kan?” sambungnya. Terdengar getir.

Beberapa menit setelah itu, saya melihat rombongan anak-anak gadis memikul air dalam dua ember, depan belakang.  Ada empat gadis-gadis muda yang memikul air itu. Ketika saya turun dari mobil dan memotret, anak-anak gadis itu malu, berusaha menutup wajah mereka. Mereka bicara dengan bahasa Sabu yang tidak saya mengerti. Bangk Brother kemudian menerjemahkan, “Mereka bilang, untuk apa mereka dipotret...”

 Bang Brother kemudian bertanya ke mereka, dari mana air itu diambil. Mereka menjawab, dengan bahasa Sabu, bahwa air itu diambil di sebuah mata air di bawah (dari jalan kami menuju Seba, belok kiri),  jaraknya sekitar 1 km dari jalan ini.

Mendengar itu saya mengurut dada. Ya Allah, terima kasih selama ini Engkau memberikan air yang cukup kepada keluarga kami, juga kepada sebagian rakyat Indonesia yang tinggal di pulau-pulau besar. Engkau mudahkan kami menemukan mata air, tidak seperti mereka di sini...

 Di Raijua, ini cerita Yulius Boni Geti, hingga bulan Juli, ada embung yang masih menyediakan air untuk keperluan mandi dan mencuci. Jaraknya sekitar 1 km dari rumahnya di Desa Bolua. Lebih dekat dengan rumah sepupunya. Namun embung itu hanya mampu menyediakan air hingga bulan Agustus. Selebihnya, hingga musim hujan yang jatuh di awal November, seluruh kebutuhan air, baik air minum atau yang untuk mencuci dan mandi, harus beli.

 “Sebenarnya dari bulan Maret kami sudah membeli air untuk kebutuhan air bersih, untuk minum dan memasak, juga mandi, karena sumur kami yang dekat rumah hanya menghasilkan sedikit air,” ujar Yulius.

 Yulius, yang juga seorang wartawan, sering membuat berita dengan mengusulkan agar di dataran rendah belakang rumahnya yang agak curam, dibuat embung yang lebih besar, atau semacam bendungan besar, agar bisa banyak menampung air saat musim hujan, dan bisa digunakan di sepanjang musim kemarau. Tapi, katanya, orang Dinas Pekerjaan Umum  Kabupaten Sabu Raijua, juga NTT, tidak meresponnya.

“Mungkin mereka takut hanya saya dan keluarga yang menikmati air di sana,” katanya sambil berseloroh. Terdengar pedih di telinga saya.

Dia sangat berharap pemerintah pusat, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendengar kondisi di daerahnya dan tergerak hati untuk membangun bendungan atau embung itu.

“Hanya Kementerian PUPR yang menjadi harapan kami...” ujarnya seperti putus asa. (bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook