Kereta Hijau

Feature | Selasa, 19 November 2019 - 13:34 WIB

Kereta Hijau

Sebelum naik ke kereta pun saya sudah siap mental.

“Masih persis sama dengan 20 tahun lalu,” ujar Robert saat masuk ke gerbong.

Baca Juga : Lebaran Lesung

“Sebenarnya tidak juga. Sudah sedikit lebih bersih,” kata saya. “Dan penumpangnya tidak ada lagi yang kumuh,” tambah saya.

Robert juga membisiki saya: jangan-jangan penumpang di dekat kita nanti berbau dan kumuh.

Ia sangat khawatir saya ketularan penyakit.

Ia pun mengeluarkan masker. Memaksa saya mengenakannya.

Baca Juga : APBN Proyek

Sampai di dalam gerbong saya sudah sepenuhnya move on. Kereta ini mirip almarhum Bima. Jurusan Surabaya-Jakarta. Yang satu kamar berisi empat tempat tidur: dua di bawah, dua di atas.

Robert pilih di bawah. Wajahnya nanar. Ia harap-harap cemas. Ia menunggu siapa penumpang yang akan satu kamar dengan kami.

Penumpang itu pun datang. Lumayan. Laki-laki. Setengah baya. Ia pilih yang di bawah.

Lalu masuk lagi seorang wanita. Juga setengah baya. Dapat nomor di atas –di seberang saya.

Saya pun menyapa mereka. Mereka terbengong-bengong melihat saya berbahasa Mandarin.

Mereka ternyata guru SMA. Asalnya Henan –28 jam perjalanan. Kami lega dapat teman sekamar seorang guru. Bisa banyak bertanya soal pendidikan di Xinjiang.

Hari itu mereka akan pulang kampung. Mengunjungi keluarga. Bekalnya banyak: kacang rebus, jagung rebus, buah-buah Xinjiang, beberapa kantong roti naan yang besar, dan banyak lagi. Cukup untuk makan dua hari di kereta.

Mereka seperti heran: kok kami tidak berbekal makanan. Padahal perjalanan kami tiga hari.

Mereka tidak tahu bahwa kami membawa banyak anggur Xinjiang. Yang ada di DI’s Way (Buah Sembrono) itu.

Tidak henti-hentinya mereka menawari kami makanan yang mereka bawa. Sampai setengah memaksa.

Kami memilih keluar kamar. Menuju gerbong restorasi. Hampir sepanjang hari kami ngobrol di situ. Makan di situ. Minum di situ. Menikmati pemandangan tunggal: gurun.

Saya bisa merasakan kebosanan di hati Robert.

Kasihan.

Apalagi kalau kereta ekonomi ini lagi sering berhenti di satu stasiun kecil. Untuk memberi kesempatan kereta cepat mendahului kami.

Setiap kali kereta cepat lewat kelihatan Robert menelan ludahnya. Hatinya seolah mengatakan, “Mestinya kita naik yang itu”. Tapi ucapan seperti itu tak terkatakan.

“Mestinya kita naik yang itu ya,” kata saya sambil melihat kereta cepat yang seperti kilat lewat.

“Hahahaha…very funny,” teriak Robert. “Enjoy….”, tambahnya.

Begitu sering kereta ekonomi ini berhenti.

Setiap kali kereta cepat lewat hati Robert seperti teriris. Banyak sekali kereta cepat melewati kami. Hati Ribert pun teriris-iris.

Saya lantas memikirkan rencana rahasia. Untuk menyenangkannya. Semoga ada ide.

Malam itu saya bisa tidur nyenyak. Bangun-bangun kepala saya pening. Terlalu dingin di arah kepala. Itu karena posisi kepala saya dekat jendela kaca. Udara di luar lagi dingin sekali.

Dari cahaya fajar saya melihat salju di kanan kiri kereta. Padahal ini baru pertengahan Oktober 2019.

Saya lihat Robert masih tidur. Demikian juga dua penumpang di tempat tidur seberang. Posisi kepala mereka sama: kebalikan dari saya. Ternyata saya salah memposisikan kepala di dekat jendela.

Ufuk timur kian terang. Salju kian jelas. Gunung-gunung bersalju semua. Demikian juga lembahnya. Pinggir danaunya. Tepi sungainya.

Tidak terlihat lagi gurun. Kami sudah 20 jam di kereta.

Ternyata ini sudah wilayah Provinsi Gansu. Baru saja meninggalkan Provinsi Xinjiang.

Saya pun berimajinasi: sebentar lagi tiba di stasiun Lanzhou. Ibu kota Gansu.

“Jam berapa kereta tiba di stasiun Lanzhou?” tanya saya pada petugas kereta.

“Jam 10. Empat jam lagi,” jawabnya.

Baca Juga : Buntu Panjang

Ampun. Ternyata masih empat jam lagi.

“Untuk apa bertanya jam berapa sampai Lanzhou?,” tanya Robert. “Toh kita masih harus di kereta ini 36 jam lagi,” tambahnya.

Saya tetap merahasiakan rencana untuk menyenangkannya itu. (Dahlan Iskan)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook