Nyolak Kelapa, Kumpulkan Rupiah Demi Rupiah

Feature | Rabu, 19 April 2023 - 21:05 WIB

Nyolak Kelapa, Kumpulkan Rupiah Demi Rupiah
MENGUPAS KELAPA: Muhammad Idrus (58) mengupas kelapa milik Kisaran, Sabtu (18/3/2023). Dia diupah mengupas kelapa Rp130 per butir kelapa. Kelapa menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir. (HENNY ELYATI/RIAUPOS.CO)

BAGIKAN



BACA JUGA


Kelapa menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), daerah ini dikenal sebagai negeri ‘’nyiur melambai’’ karena sepanjang mata memandang hanya hamparan kelapa yang terlihat. Sayangnya, kelapa yang menjadi ‘primadona’ ini tidak serta merta membuat seluruh masyarakatnya sejahtera. Namun Pemkab Inhil terus berupaya bagaimana menjadikan petani kelapa di Inhil hidup sejahtera.

Laporan HENNY ELYATI, Tembilahan

MATAHARI sangat terik, namun tidak menyurutkan Muhammad Idrus (58) untuk terus mengupas kelapa. Ribuan butir kelapa terhampar di sekitarnya. Hanya hitungan detik, Idrus me-nyolak (mengupas) kelapa dan ditumpuknya menjadi satu areal.

‘’Sudah biasa dan menjadi pekerjaan rutin,’’ ujar Idrus kepada Riau Pos, saat rombongan puluhan wartawan di Riau melakukan safari jurnalistik ke Kampung Hidayat, Desa Teluk Dalam Sapat, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Kabupaten Indragiri Hilir, Sabtu (18/3/2023).

Riau Pos pun memilih duduk di pinggir jalan semenisasi sambil mengajak Idrus ngobrol. Dia tidak terganggu dengan kehadiran Riau Pos. Kelapa yang dikupasnya disebut kelapa jambul karena masih terdapat serabut kelapa.

‘’Biar tidak cepat busuk, makanya serabutnya tidak diambil semua,’’ sebut Idrus sambil menyeka keringat yang luruh ke kelopak matanya.

Pelepah kelapa yang ditancapkannya ke tanah menjadi tempat berteduh Idrus sehingga matahari tidak langsung membakar kulitnya. Agar wajah dan kepalanya tidak kepanasan, dia memakai topi dan jaket. Sarung tangannya yang putih sudah berubah warna kehitam-hitaman.

‘’Mulai bekerja pukul 06.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB,’’ katanya.

Tangannya mengapai kelapa yang ukurannya jumbo, Idrus mengeluarkan tenaga lebih ekstra untuk mengupasnya.

‘’Kalau yang sebesar ini harganya per butir antara Rp1.500 per kilo,’’ katanya.

Biasanya yang ukuran jumbo ini beratnya per butir bisa sekilo atau 1,5 kilo. Dia pun mengambil kelapa yang ukurannya menengah.

‘’Kalau ini harganya Rp1.000 per kilo,’’ terang Idrus.

Bahkan ada kelapa yang dikupas Idrus sudah mulai tumbuh.

‘’Kalau ini tetap bisa dijual tapi harganya antara Rp500 sampai Rp900 per kilo dan masuk kategori kelapa apkir,’’ terang kakek dua cucu ini.

Dalam mengupas kelapa, Idrus hanya menerima upah Rp130 per butir kelapa. Dalam sehari Idrus mampu mengupas 1.500 sampai 2.500 kelapa. ‘’Kalau tubuh sedang fit dan tekun bisa mengupas kelapa sampai jelang Magrib hingga 2.500 kelapa,’’ katanya.

Idrus berhenti sejenak, dia menggapai teko orange yang diletakkannya tak jauh dari tempatnya berdiri.

‘’Kalau terik begini, harus banyak minum,’’ katanya sambil menawari Riau Pos.

Idrus kali ini berkerja me-nyolak kelapa milik Kisaran yang rumahnya hanya berjarak sekitar 30 meter dari lokasi Idrus bekerja. Sampai saat ini harga kelapa jambul Rp1.400 hingga Rp1.600 per kilo, harga kelapa bulat licin Rp1.900 per kilo, apkir Rp900 per kilo sedangkan kopra asalan Rp6.000 per kilo.

Idrus mengupas kelapa sejak masih lajang, kecintaannya pada pekerjaan ini membuat Idrus hanya bekerja sebagai pe-nyolak kelapa. Solak (alat pengupas kelapa) yang digunakan Idrus begitu tajam sehingga saat menggunakannya tetap harus hati-hati dan memakai sarung tangan.

‘’Pernah juga terluka kena solak dan terpaksa tak bisa kerja,’’ katanya.

Walaupun bekerja sebagai pe-nyolak kelapa, pria kelahiran Sungai Pian ini mampu menyekolahkan tujuh anaknya hingga bangku SMA. Saat ini, anak bungsunya duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD), ada juga yang sekolah di pondok pesantren di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tiga anaknya sudah menikah, satu menantunya guru SD.

Idrus melakukan pekerjannya sebagai penyolak kelapa tidak terikat, tergantung panggilan orang.

‘’Sekarang mengupas kelapa milik Pak Kasiran, kalau ini selesai saya menunggu panggilan untuk mengupas kelapa orang lain lagi,’’ katanya sambil duduk.

Idrus tidak hanya bekerja sebegai pengupas kelapa, dia pun memiliki kebun kelapa walaupun tidak luas, namun cukup menghidupi keluarganya. Idrus memiliki kebun kelapa berisi 4 baris pokok kelapa. Satu baris berisi 35 pokok, totalnya ada 130 pokok kelapa.

‘’Panen sekali tiga bulan lah. Makanya bisa kerja ke tempat lain,’’ tawanya.

Di tengah perbincangan kami, sang pemilik kelapa pun datang mendekat. Hanya menggunakan singlet dan celana training, Kisaran (63) menghampiri Riau Pos. Dia pun ikut duduk di pinggir jalan semenisasi. Kisaran memiliki kebun kelapa berukuran 10 x 35 meter. Sekali panen, jika buah kelapa ukurannya besar (jumbo) maka akan menghasilkan 5 ton, namun jika buahnya kecil maka hasilnya hanya 2 ton. Masa panen kelapa hanya bisa dilakukan sekali 3 bulan.

‘’Saya selalu mengupahkan ke orang untuk mengupas kelapa dan biasanya sama Pak Idrus,’’ kata pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah ini.

Kebun kelapa milik Kisaran ini merupakan kebun kelapa warisan dari orang tuanya, itu pun tidak luas, hanya 3,5 hektare. Kelapa yang tumbuh di lahan ini terdiri dari 12 baris dengan panjang 35 batang per barisnya. Usia kelapa warisan ini ada yang berumur 40-50 tahun. Di mana sejak dikelolanya, belum pernah dilakukan replanting (peremajaan).

‘’Hasil buahnya masih bagus makanya belum pernah di-replanting secara keseluruhan, paling satu dua yang ditanam ulang jika ada pohon yang mati/tumbang,’’ sebut Kisaran.

Setiap panen, kebun Kisaran menghasilkan 3.000-3.500 butir kelapa. Kelapa ini dikupas menjadi kelapa jambul dan dijual ke tauke (pengepul kelapa, red), biasanya pengepul kelapa ini datang menjemput kelapa-kelapa milik masyarakat yang sudah dikupas.

‘’Saya gunakan tenaga Idrus untuk mengupasnya. Per butir upahnya Rp130,’’ terang bapak lima anak ini.

Kisaran mengaku tak memiliki keahlian yang cukup untuk mengupas kelapa sehingga dirinya lebih memilih mempekerjakan orang lain.

Menurut Kisaran, saat ini kelapa petani dibeli para tauke penampung hanya Rp1.500 per kilogramnya. Tidak pernah lagi menyentuh angka Rp2.300 per kilogram, apalagi Rp3.000 per kilogram seperti tahun 2017 lalu. Harganya tiap tahun terus anjlok. Sementara sebagai petani kecil, Kisaran tidak bisa berbuat banyak dan tidak punya pilihan selain menjual kelapa kepada tauke yang datang menjemput dan membeli ke Kampung Hidayat.

Diperlukan biaya yang tidak sedikit membawa kelapa untuk dijual ke tempat lain. Misalnya, transportasi kapal pengangkut. Biaya sewa transportasi per harinya cukup besar. Sementara Kisaran tidak memiliki kapal pengangkut sendiri, sehingga tak ada pilihan baginya selain menjual pada tauke pengepul yang menjadi langganannya.

‘’Rasanya tidak mungkin menjual ke tempat lain karena tidak memiliki kapal pengangkut,’’ kata pria bertubuh kurus ini.

Untuk menambah penghasilan keluarga, Kisaran berprofesi sebagai tukang ojek. ‘’Masyarakat di sini banyak juga bekerja sampingan sebagai tukang ojek,’’ sebutnya.

Biasanya banyak peziarah yang datang ke ke Kampung Hidayat untuk berziarah ke makam Tuan Guru Sapat. Jaraknya hanya 2 kilometer dari dermaga ke makam dan ongkos ojek hanya Rp10 ribu untuk sekali jalan. ‘’Biasanya peziarah langsung pakai ojek PP. Jadi bayarnya Rp20 ribu,’’ katanya.

tambahKELAPA HIBRIDA: Kelapa hibrida banyak dibudidayakan masyarakat Indragiri Hilir. Walaupun buahnya kecil, selain cepat berbuah, daging kelapa hibrida lebih tebal dibanding kelapa dalam, Rabu (19/4/2023).(HENNY ELYATI/RIAUPOS.CO)

Bekerja sampingan sebagai tukang ojek juga dilakukan Anwar (43). Walaupun dia memiliki kebun kelapa 3 hektare, namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

‘’Ngak cukuplah, apalagi kelapa panennya sekali tiga bulan. Jadi kalau tak panen, ngojek lah buat nambah penghasilan,’’ sebut Anwar sambil membonceng Riau Pos.

Laju motor pun dikurangi. Suaranya berubah sendu dan bergetar ketika bercerita tentang nasib petani kelapa di kampungnya. Sudah beberapa tahun belakangan harga kelapa semakin murah dan tak menentu.

‘’Sekarang makin payah lah, nak beli beras pun harus ngutang dulu ke tauke,’’ ujar Anwar, matanya terlihat berkaca-kaca walaupun dia susah payah menahannya.

Anwar tadinya mau ngutang ke tauke, namun tauke tak memberinya tambahan utang. Pinjaman ini rencananya mau digunakan Anwar untuk membeli bekal untuk panen kelapa miliknya, namun berhubung pinjaman tak dapat, Anwar pun menunda memanen kelapanya. ‘’Untung hari ini banyak peziarah, jadi agak terbantu buat belanja di rumah,’’ katanya sambal mengucapkan alhamdulillah saat menerima ongkos dari Riau Pos.

Kebun Anwar yang hanya 3 hektare ini per tiga bulan hanya bisa menghasilkan 2.500-3.000 butir kelapa. Jika harga anjlok seperti saat ini, maka Anwar hanya berpenghasilan sekitar Rp1 juta sebulan. ‘’Anak tiga dan sekolah semua, mana harga kebutuhan pokok sangat mahal,’’ kata pria berkulit hitam ini.

Rata-rata usia pohon kelapa miliknya berusia 35 tahun dan sering rusak akibat terendam air pasang sehingga buah yang dihasilkan juga tidak maksimal. ‘’Belum pernah dapat bantuan dari pemerintah, apalagi untuk peremajaan kelapa maupun untuk pengelolaan tata air. Jadi kalau banjir ya ngak bisa diapa-apain,’’ sebutnya pasrah.

Untuk menghemat biaya, Anwar memanen sendiri kelapanya. Tidak hanya memanen, Anwar pun mengupas kelapa sendiri. ‘’Kalau diupahkan ke orang lain, apalagi yang dapat,’’ imbuhnya.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook