Menurut Winda, SBEK Melayu Riau adalah bagian penting dari Corporate Social Responsibility (CSR) PHR yang di dalamnya mencakup masalah pendidikan, kesehatan, lingkungan, ekonomi, termasuk kebudayaan di dalamnya. Khusus di SBEK Melayu Riau ini, fokusnya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal tradisional Melayu Riau, termasuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) pendukungnya.
SBEK Melayu Riau dibangun karena ada sikap saling percaya dari LAM Riau dengan Chevron (sebelum beralih ke PT PHR). Kata Winda, ketika LAM Riau menawarkan proposal tentang pemberdayaan UMKM tradisional masyarakat Melayu Riau, pihaknya --Chevron ketika itu-- langsung antusias. Sebab, selama ini jarang ada program pemberdayaan yang menyatukan ekonomi dan budaya. Yang ada sebelumnya hanya ekonomi atau kebudayaan saja.
“Tujuan LAM Riau dan Chevron (sebelum PHR, red) nyambung. Yakni medukung perusahaan untuk terus bekerja dengan baik sambil ikut membantu masyarakat tempatan dalam mengembangkan ekonomi berbasis budaya tradisional secara berkelanjutan dan ikut mengembangkan SDM mereka,” jelas wanita 45 tahun tersebut saat ditemui di Gerai SBEK Melayu Riau, Kamis (4/11/2021).
Karena ini semacam proyek percontohan (pilot project), baik pihak LAM Riau maupun Chevron (PHR) harus bekerja keras secara profesional dalam membangun dan mengembangkan agar sustainable (berkelanjutan). Winda paham, ini tidak mudah. Diperlukan kerja keras dan pantang menyerah dari pengelola. Pihaknya sebagai supporting juga ikut membantu mencarikan solusi jika diperlukan.
Mindset yang harus tanamkan, yang utama adalah bahwa SBEK Melayu Riau bukan hanya memamerkan produk 365 UMKM tradisional itu, tetapi bagaimana produk-produk itu laku, dibeli orang. Selain bekerja keras untuk melakukan promosi, membuka ceruk pasar, dan meyakinkan calon pembeli, dari sisi produk juga harus diperbaiki. Misalnya dalam hal kemasan, harga yang terjangkau, dan lainnya.
Kata Winda, di sinilah peran besar PHR (sebagai penerus Chevron), yakni membantu meningkatkan SDM para pelaku UMKM dengan melakukan pelatihan atau worshop tentang berbagai hal untuk meningkatkan produksi. Mulai bagaimana membuat produk yang lebih bermutu dan berkualitas baik, membuat kemasan (packaging) yang enak dilihat dan menarik bagi mata yang memandangnya, dan sebagainya.
“Satu hal yang menjadi kekuatan SBEK Melayu Riau adalah produk tradisional dari 12 kabupaten/kota yang disatukan dalam satu display. Di sini filosofinya sangat kuat: membangun ekonomi sekaligus melestarikan budaya tradisional Melayu Riau,” ungkap wanita berdarah Minang yang lahir di Medan ini.
PHR, jelas Winda, ingin melakukan rebranding dengan memberikan nilai tambah yang berbeda dari sebelumnya. Salah satunya adalah membangun SDM ekonomi kreatif berbasis budaya Melayu, yang nantinya juga akan dikembangkan ke pasar digital. Tujuannya jelas, agar SDM yang dimiliki para pelaku UMKM bisa mandiri, kualitasnya bagus, memahami pasar modern (digital) yang terus berkembang, dan berkelanjutan.
Dalam hal pemasaran produk, hingga hari ini PHR juga membantu meyakinkan banyak pihak agar produk-produk UMKM tradisional masyarakat Riau ini terus dikenal orang. Misalnya, menggandeng perusahaan travel yang dimiliki Sekolah Tinggi Pariwisata Riau (STPR) --yang merupakan binaan PHR-- menjadikan Gerai SBEK Melayu Riau sebagai tujuan untuk tempat pembelian souvenir dan oleh-oleh bagi wisatawan yang dibawanya.
Selain itu, PHR juga selalu memperkenalkan SBEK Melayu Riau kepada rekanan atau pihak-pihak lain saat di Pekanbaru. Bahkan ada yang diajak meeting di Gerai SBEK Melayu Riau. Lalu, setiap ada tamu PHR, souvenir yang diberikan juga berasal dari SBEK Melayu Riau.
“Rata-rata para rekanan kami sangat senang dan nyaman diajak ke sini,” jelas alumni Hubungan Internasional (HI) Universitas Parahyangan, Bandung, ini.
Kata Winda, apa yang dilakukan oleh PHR dengan LAM Riau dalam membangun SBEK Melayu Riau ini adalah kemitraan yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme ini sangat diperlukan karena PHR sebagai badan usaha yang kini dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia memerlukan dukungan dari masyarakat lokal di mana operasi kerja PHR berada.
“Kami ingin ikut membangun masyarakat lokal di mana kami bekerja. Jika masyarakat lokalnya berdaya, pasti perusahaan juga akan nyaman dalam ikut membantu menaikkan devisa negara,” kata Winda mengakhiri.
***
DI sebuah sore yang sedikit mendung, Jumat, 5 November 2021, budayawan Riau, Dr Junaidi, sampai di Mabest Kafe, Jl Rambutan, Pekanbaru, hanya beberapa saat setelah adzan Ashar dikumandangkan dari beberapa masjid di sekitar sana. Dia bergegas turun dari kendaraan menuju meja di halaman. Namun kemudian pindah ke dalam, yang lebih privasi.
Kami janjian di sana karena dia akan bertemu dengan beberapa orang koleganya –termasuk Ketua PWI H Zulmansyah Sekedang dan Ketua Komisi V DPDR Riau Eddy A Muhammad Yatim— yang terlihat lebih dulu datang.
Setelah duduk dan memesan minuman bandrek jahe merah, lelaki yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Lancang Kuning (Unilak) itu menjelaskan bahwa di saat Chevron masih “berkuasa” di Riau, kontribusinya dalam ikut mengembangkan kearifan lokal kebudayaan Melayu tak terlalu terlihat.
“Mereka lebih suka ‘memadamkan api’. Tak terprogram dengan baik,” kata Junaidi.
Yang dimaksud “memadamkan api” oleh Junaidi adalah bantuan-bantuan yang tidak terprogram dengan baik, tak sistematis, dan hanya dilakukan ketika gejolak muncul. Hanya tentatif, berdasarkan situasi. Misalnya ketika masyarakat lokal bicara di media karena tak mendapatkan akses dengan baik, marah karena proposalnya ditolak, dan lain sebagainya. Ketika itu terjadi, Chevron baru melakukan sesuatu. Itu pun tidak besar. Seperti hanya pelepas tanya.
Lelaki kelahiran Kampar itu juga mengaku, sepengetahuannya, Chevron jarang melakukan inisiasi membuat program budaya untuk para budayawan, seniman, dan sastrawan lokal Riau. Juga untuk masyarakat lokal tradisional. Mereka hanya menjadi perusahaan penyerta yang membantu setelah proposal masuk secara insidentil. Itu pun harus disetujui oleh pimpinan di Amerika Serikat (AS).
“Untuk pengembangan kebudayaan, seni, sastra, dan yang lainnya, Chevron nyaris tak membantu apa-apa,” ujar lulusan S-2 American Studies di Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut.
Dia justru membandingkan dengan saat Blok Rokan ini masih dikelola PT Caltex Pasific Indonesia (Caltex). Meski pola-pola bantuannya hampir sama dengan Chevron –yang keputusan akhir tetap dari kantor pusat di AS— namun Caltex menurutnya lebih cair, gampang urusannya, dan para budayawan bisa berdialog dan komunikasi dengan mudah.
Junaidi mendengar, baik Caltex maupun Chevron dan kini dilanjutkan oleh PHR, punya program Local Business Development (LBD). LBD yang diluncurkan pada 2001 dibentuk untuk membina dan meningkatkan potensi bisnis koperasi atau perusahaan kecil lokal melalui program kemitraan, pembukaan lapangan kerja dan akses bisnis, serta pengembangan UMKM lokal.
Dalam sosialisasi yang dilakukan pada 27 Juni 2021 lalu, ada sekitar 137 perusahaan lokal yang mengikuti. Menurut Junaidi, program seperti ini mesti dilanjutkan dan dibenahi sistemnya dengan baik. Karena sekarang dikelola PHR, maka harus diperbaiki sistemnya. Lebih dimudahkan dan memang benar-benar untuk membantu para pengusaha lokal Riau.
“Dengan PHR sebagai operatornya, harusnya lebih baik dari saat masih dikuasai Caltex dan Chevron, karena semua keputusan ada di Indonesia, bukan di Amerika lagi,” jelas Junaidi.
Junaidi mengapresiasi juga Gerai SBEK Melayu Riau yang kini tengah berjalan. Program yang langsung berhubungan dengan para pelaku UMKM khusus untuk produk-produk lokal masyarakat Melayu Riau ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh para pelaku usaha khas Melayu yang selama ini memang belum terlihat di permukaan.
Keterlibatan LAM Riau yang langsung turun tangan menangani usaha bidang ekonomi masyarakat lokal ini, adalah sebuah kemajuan dari sisi budaya. Sebab, kata Junaidi, dengan program ini, makanan, kerajinan tangan, atau produk-produk khas lokal Melayu, pelan tapi pasti akan mendapatkan pasar yang baik. Apalagi PHR sebagai bapak angkat juga ikut membantu dan bekerja keras agar program ini benar-benar berguna dan berhasil.
“Kita semua harus mengapresiasi program ekonomi berbasis kearifan lokal masyarakat ini,” ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak ini.
Sebagai akademisi, Junaidi memberi masukan agar PHR ikut membantu membangun dan menaikkan SDM anak-anak Riau. Dia menyayangkan karena di masa Chevron, beasiswa untuk anak-anak Riau tak ada lagi. Salah satu yang terlihat adalah di universitas yang dia pimpin, Unilak. Padahal semasa Caltex, beasiswa pendidikan ini ada, namun terhenti saat Chevron berkuasa.
Selain beasiswa pendidikan bidang umum, beasiswa bidang perminyakan dan gas (migas) harus diperbanyak. Sebab, seperti yang dikatakan salah seorang ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Prof Dr Rudi Rubiandini, masa depan migas di Indonesia --termasuk di Riau— masih panjang. Belum habis sampai 100 tahun ke depan.
“Jika yang dikatakan Prof Rudi Rubiandini itu benar, maka PHR harus membantu membangun SDM anak-anak Riau di bidang migas agar bisa bersaing. Termasuk dalam ikut mengelola sumber daya alam (SDA) migas di daerahnya sendiri,” ungkap penulis buku banyak buku kajian tentang budaya dan sastra, salah satunya Interpretasi Dunia Sastra, tersebut.
Kembali ke persoalan budaya, menurut Junaidi, PHR harus memberi ruang aktualisasi bidang kebudayaan agar secara emosional diterima dengan baik oleh masyarakat Riau. Pendekatan sosio-budaya harus dilakukan. Karena jika hal itu tak dilakukan, PHR akan sama dengan Caltex atau Chevron di masa lalu. Menjadi perusahaan raksasa asing, yang memang benar-benar asing bagi masyarakat Riau.
“PHR jangan melakukan kesalahan yang sama dengan dua pendahulunya itu. Mereka harus membantu pembangunan dan peningkatan SDM anak-anak Riau, lewat biasiswa dan pelatihan. PHR juga harus melakukan pendekatan budaya agar masyarakat Riau merasa memiliki perusahaan pemerintah tersebut,” ungkap lelaki Ketua Dewan Pustaka Riau tersebut.
Tak terasa, hari sudah semakin senja. Obrolan pun berubah ke bidang lain secara acak sebelum dia minta izin untuk menunaikan salat Ashar. Dia menoleh ke meja di halaman Mabest Kafe. Terlihat dua orang yang akan rapat dengan dirinya soal Dewan Pustaka Riau, yakni Zulmansyah dan Eddy A Muhammad Yatim, sudah menunggu di sana.***