Berdasarkan Encyclopaedia Britannica (2015), sejak awal abad 21, sekitar 80 persen energi yang ada di dunia dihasilkan dari bahan bakar fosil. Selama ini, manusia memanfaatkan bahan bakar tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Bahan bakar fosil merupakan energi dari tumbuhan dan hewan yang sudah mati jutaan tahun lalu. Bahan bakar ini termasuk energi yang tak terbarukan. Artinya, energi ini jumlahnya akan bisa habis. Sehingga dibutuhkan energi terbarukan sebagai alternatif jika suatu saat nanti bahan bakar fosil habis digunakan. Energi terbarukan adalah sumber energi alam yang dapat digunakan secara bebas, bisa diperbarui terus menerus, dan tidak terbatas.
Menurut Iswandi U dan Indang Dewata dalam buku Pengelolaan Sumber Daya Alam (2020), salah satu manfaat matahari bagi manusia adalah membantu penerangan.
Matahari adalah sumber energi terbesar. Sinar matahari atau tenaga surya (solar power) dapat memanaskan, memberi penerangan, dan menghasilkan listrik. Untuk dapat menghasilkan listrik, panas matahari diserap oleh panel surya (solar panel) lalu diubah menjadi tenaga listrik.
Panel surya dapat menjadi pembangkit listrik mandiri yang lebih hemat dan juga menjanjikan untuk jangka panjang. Tenaga listrik ini berbeda dengan tenaga listrik konvensional karena sumber energi terbarukan yang berasal dari cahaya matahari. Tenaga listrik konvensional sendiri masih menggunakan bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbarui. Dengan populasi yang semakin meningkat, kebutuhan akan listrik juga akan terus meningkat dengan tajam. Oleh sebab itu, beralih menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya ini semakin diperlukan untuk menjaga keseimbangan bumi.
Total energi surya yang diserap oleh atmosfer, lautan, dan daratan bumi sekitar 3.850.000 eksajoule (EJ) per tahun. Pada tahun 2002, jumlah energi ini dalam waktu satu jam lebih besar dibandingkan jumlah energi yang digunakan dunia selama satu tahun. (Solar energy: A new day dawning? diakses 17 Mei 2022). Fotosintesis menyerap sekitar 3.000 EJ per tahun dalam bentuk biomassa. Potensi teknis yang tersedia dari biomassa adalah 100-300 EJ per tahun. Jumlah energi surya yang mencapai permukaan planet bumi dalam waktu satu tahun sangatlah besar. Jumlah ini diperkirakan dua kali lebih banyak dibandingkan dengan semua sumber daya alam bumi yang tidak terbarukan yang bisa diperoleh digabungkan, seperti batubara, minyak bumi, gas alam, dan uranium.
Teknologi surya dikategorikan secara umum menjadi: teknologi pasif dan teknologi aktif, tergantung pada cara penyerapan, konversi, dan penyaluran cahaya matahari. Teknologi aktif meliputi penggunaan panel fotovoltaik, pompa, dan kipas untuk mengubah energi surya ke bentuk yang berguna. Teknologi pasif meliputi pemilihan bahan konstruksi yang memiliki sifat termal yang bagus, perancangan ruangan dengan sirkulasi udara secara alami, dan menghadapkan bangunan ke matahari. Teknologi aktif meningkatkan persediaan listrik dan disebut sebagai teknologi sisi penawaran, sedangkan teknologi pasif mengurangi kebutuhan sumber daya alam lain dan disebut sebagai teknologi sisi permintaan.
Tenaga surya adalah proses pengubahan cahaya matahari menjadi listrik, baik secara langsung menggunakan fotovoltaik, atau secara tak langsung menggunakan tenaga surya terpusat (concentrated solar power, CSP). Sistem CSP menggunakan lensa atau cermin dan sistem lacak untuk memfokuskan paparan cahaya matahari yang luas menjadi seberkas sinar yang kecil. PV mengubah cahaya menjadi aliran listrik menggunakan efek fotolistrik.
Tenaga Surya Terpusat
Sistem tenaga surya terpusat (concentrated surya power, CSP) menggunakan lensa atau cermin dan sistem lacak untuk memfokuskan paparan sinar matahari yang luas menjadi seberkas cahaya kecil. Seberkas cahaya tersebut kemudian digunakan sebagai sumber panas untuk pembangkit listrik konvensional. Terdapat sejumlah besar teknologi pemusatan; yang paling berkembang adalah cekungan parabola, pemantul fresnel linear, piringan Stirling, dan menara tenaga surya. Di sistem-sistem ini, fluida kerja dipanaskan oleh cahaya matahari yang dipusatkan, dan fluida kerja ini kemudian digunakan untuk membangkitkan listrik atau sebagai penyimpan energi.
Sel surya, atau sel fotovoltaik, adalah peralatan yang menggubah cahaya menjadi aliran listrik dengan menggunakan efek fotovoltaik. Sel fotovoltaik pertama dibuat oleh Charles Fritts pada tahun 1880-an. Pada tahun 1931, seorang insinyur Jerman, Dr Bruno Lange, membuat sel fotovoltaik menggunakan perak selenida ketimbang tembaga oksida. Walaupun sel selenium purwa rupa ini mengubah kurang dari 1 persen cahaya yang masuk menjadi listrik, Ernst Werner von Siemens dan James Clerk Maxwell melihat pentingnya penemuan ini. Dengan mengikuti kerja Russel Ohl pada tahun 1940-an, peneliti Gerald Pearson, Calvin Fuller, dan Daryl Chapin membuat sel surya silikon pada tahun 1954. Biaya sel surya ini 286 dolar AS per watt dan mencapai efisiensi 4,5-6 persen. Menjelang tahun 2012, efisiensi yang tersedia melebihi 20 persen dan efisiensi maksimum fotovoltaik penelitian melebihi 40 persen.
Badan Energi Internasional mengatakan energi surya dapat membantu menyelesaikan permasalahan penting dunia: ("Solar Energy Perspectives: Executive Summary" (PDF). International Energy Agency. 2011).
Pada tahun 2011, Badan Energi Internasional mengatakan teknologi energi surya seperti papan fotovoltaik, pemanas air surya, dan pembangkit listrik dengan cermin dapat menyediakan sepertiga energi dunia pada tahun 2060. Energi dari matahari dapat memainkan peran penting dalam de-karbonisasi ekonomi global bersamaan dengan pengembangan efisiensi energi dan menerapkan biaya pada produsen gas rumah kaca.
Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.
"Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini," urainya dalam diskusi secara daring awal tahun lalu.
Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5 persen. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.
"Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung," ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian "Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential".
Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.
"Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara," jelasnya.
Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta kilometer, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.
"Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur," jabar Daniel.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.
"Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid," tutur Chrisnawan.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa, menuturkan hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.
"Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS," imbuh Andhika.
Anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim mengharapkan akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.
Dekarbonisasi atau emisi nol persen menjadi tekad banyak negara sebagai upaya memerangi pemanasan global yang semakin mengancam keberadaan bumi dan umat manusia. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, misalnya, menargetkan emisi nol persen pada 2050. Indonesia sendiri memiliki target yang sama pada 2060.***
Editor: Rinaldi