Membangunkan Tiga "Hulk" Riau Lewat Ekowisata dan Eduwisata

Feature | Rabu, 09 Februari 2022 - 20:00 WIB

Membangunkan Tiga "Hulk" Riau Lewat Ekowisata dan Eduwisata
Warga Suku Talang Mamak yang bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Indragiri Hulu, menggunakan pohon tumbang sebagai akses menuju perkampungan mereka. (IG SAHABAT TNBT)

Jelas tidak mudah mengelola plus mengembangkan satu taman nasional menjadi multifungsi. Amerika Serikat memerlukan waktu ratusan tahun untuk mencapai tahap seperti sekarang. Dan kesuksesan ini tentu saja bisa menjadi contoh, atau paling tidak menjadi motivasi Indonesia bagaimana mengelola taman nasional.

Seperti diakui oleh Shane Barrow, pakar konservasi negeri Paman Sam itu, ketika memberi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah, Palangkaraya (mongabay.co.id, 31/10/2016). Ia mengatakan, upaya konservasi awal di AS banyak belajar dari ancaman kepunahan bison.


Seabad lalu, bison banyak terdapat di dataran berumput, tetapi populasinya berkurang secara drastis akibat perburuan. Namun saat ini populasinya kembali stabil setelah adanya kebijakan menekan laju kepunahan satwa itu. Penyelamatan bison juga sama dengan apa yang dilakukan Indonesia untuk menyelamatkan populasi orangutan dan gajah.

Di sisi lain Shane Barrow memberi kata kunci bahwa pengelolaan taman nasional adalah bagaimana upaya konservasi dapat meningkatkkan ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya. “Pariwisata menjadi salah satu pemanfaatan taman nasional di AS. Di dalam taman nasional, masyarakat bisa melakukan canoeing, memancing dan kegiatan lainnya. Contohnya di Yellowstone National Park,'' ujar Barrow.

Masih mengutip mongabay.co.id, dari 56 taman nasional yang ada di Amerika Serikat, satu taman nasional dalam setahun dikunjungi oleh lima juta orang. Atau total pengunjung seluruh taman nasional per tahun bisa mencapai 300 juta orang.

Kontribusi pendapatan mencapai 16-30 miliar dolar per tahun. Jika dikonversi ke rupiah (anggap saja satu dolar Rp10.000) per tahun bisa menghasilkan Rp160-300 triliun.

Penghasilan dari penginapan yang ada di sekitar kawasan taman nasional mencapai 8-9 juta dolar. Keuntungan lain juga didapat dari banyaknya restoran dan akomodasi lain bagi pengunjung, yang tersedia di sekitar kawasan konservasi.

Masih diceritakan Barrow, pada 1930-an AS mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan 3,5 juta lapangan kerja hilang. Berdasarkan pengalaman itu, pemerintah AS belajar ternyata dengan mengelola taman nasional bisa menciptakan lapangan kerja cukup besar. ''Itu bergulir jadi gerakan politik bahwa ternyata konservasi dan ekonomi bisa jalan berdampingan,” lanjutnya.

Salah satu kunci keberhasilan pengembangan taman nasional di AS adalah penyediaan infrastruktur bagi pengunjung juga pusat-pusat informasi. Jalur treking di beberapa taman nasional juga dibangun sehingga menjadi poin penting untuk pengembangan ekowisata.

“Di sana, anak-anak muda paling senang jalan. Di salah satu taman nasional kami, ada satu jalur treking yang berada di atas ketinggian 4200 mdpl. Ini dikelola dengan baik. Anak-anak muda dilibatkan menjadi relawan untuk membangun jalur treking, juga dibangun jalur untuk mengunjungi situs purbakala dan paleontologi,” katanya.

Namun pembangunan infrastruktur, tak lantas merubah bentang alamnya. Keseimbangan terhadap ekosistem tetap menjadi prioritas yang diutamakan. Bahkan, sepertiga wilayah AS merupakan kawasan lindung yang mencapai 300 juta hektare.

Lebih lanjut Barrow mengatakan, keberhasilan AS mengelola taman nasional juga melibatkan generasi muda sebagai sasaran utama. Perasaan bangga dan memiliki taman nasional dipupuk sejak dini. Di sana ada program bernama American Conservation Experience (ACE) yang dikelola oleh lembaga tempat Barrow mengabdi, Emerging Professionals Internship Corps (EPIC).

Lewat ACE anak-anak muda AS diberikan pembekalan untuk lebih peduli terhadap lingkungan hidup, satu di antaranya rasa memiliki terhadap taman nasional. Anak-anak muda yang mengikuti program tersebut, juga diikutsertakan dalam program konservasi yang ada di dalamnya.

“Mereka diajak berkemah selama beberapa hari agar lebih mencintai alam. Selain itu, bagi mereka juga diberikan kesempatan untuk magang di pusat konservasi maupun taman nasional,” ujarnya.

“Hubungan antara pemuda dan lingkungan di AS dalam 100 tahun terakhir ini ditujukan menanamkan hubungan psikologis antara manusia dan taman nasional yang dikonservasi. Terutama hubungannya dengan spesies langka. Sebelumnya, di AS juga mengalami depresi sumber daya sangat cepat,” tambah Barrow.

Pendekatan Ekowisata dan Eduwisata

Sejumlah pengelola taman nasional di tanah air sudah memadukan pendekatan konservasi dengan ekowisata. Dan sudah pula memberi kontribusi baik bagi negara maupun daerah tempatan.

Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) KLHK RI merilis data kunjungan taman nasional yang ada di seluruh Indonesia selama 2019. Diketahui total kunjungan dari wisatawan dalam dan luar negeri mencapai 7.930.488 kunjungan (kompas.com, 5/2/2020).

Jumlah itu terdiri dari 7.464.028 kunjungan dalam negeri dan 466.460 kunjungan mancanegara. Angka ini melebihi target yang ditetapkan yakni 4.750.000 kunjungan.
tambah
Direktorat PJLHK juga merilis 10 taman nasional yang menjadi favorit wisatawan (lihat data). Satu di antaranya adalah Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. TNK berada pada urutan ke-10 taman nasional yang banyak dikunjungi. Meski begitu kontribusinya terbilang lumayan besar.

Kontribusi TNK dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada 2019 sebesar Rp 6 miliar bagi Kabupaten Manggarai Barat. Sementara itu, pemerintah pusat memperoleh PNBP dari TNK sebesar Rp 34 miliar.

Keduanya berasal dari penjualan tiket masuk. Pemkab Manggarai Barat berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2018. Sedang pemerintah pusat berdasarkan PP Nomor 14 Tahun 2014.

Sumbangan PNBP baik untuk Kabupaten Manggara Barat maupun negara, terjadi lantaran berlakunya dua pintu masuk. Pintu masuk TNK yang dikelola Pemkab Manggarai Barat berada di Pulau Rinca dan Labuan Bajo. Sementara pintu masuk yang dikelola pemerintah pusat terdapat di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Pada sisi lain, dari 10 taman nasional yang menjadi favorit pengunjung delapan di antaranya berlokasi di Pulau Jawa. Seperti diungkap Direktorat PJLHK, ada beberapa sebab taman nasional yang berada di luar Jawa kurang diminati pengunjung.

Satu di antara penyebabnya adalah akses ke lokasi taman nasional yang jauh serta kondisi jalan yang tak memadai. Kedua, mahalnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk perjalanan domestik ke daerah-daerah dengan menggunakan pesawat terbang, dan sebagainya.

Hal tersebut juga menjadi kendala bagi tiga taman nasional di Riau. Letak ketiganya tergolong jauh dari Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi, sekaligus lokasi Bandara Sultan Syarif Kasim II, sebagai bandara utama.

Fifin Arfiana Jogasara yang juga Kepala Balai TNBT mengakui, akses ke lokasi taman nasional tidak memadai. Selain jalan tanah yang tak rata dan berlubang, terkadang juga licin dan banjir jika musim hujan. Malah sekadar lebih nyaman sedikit terpaksa menggunakan mobil gardan ganda.

Anggaran dari negara (APBN) yang kecil disebut Fifin juga hambatan menyediakan sarana dan prasarana (sarpras) di banyak taman nasional, tak terkecuali TNBT. Apalagi taman nasional di Riau belum masuk kelompok Proyek Strategis Nasional (PSN).

Oleh karena itu, pengelola taman tanasional membuka peluang kerja sama dengan pemerintah daerah dan swasta. Tapi itu bukan perkara mudah sebab banyak rintangan dan alasan.

Pemerintah daerah dan pihak swasta juga harus berhitung misalnya soal daya beli atau minat masyarakat terhadap taman nasional. Ini terkait dengan hitungan-hitungan pengembalian investasi.

Ditambahkan Fifin lagi, situasianya jauh berbeda jika dibandingkan dengan di Jawa. Selain sudah lama menjadi daya tarik wisatawan, infrastruktur di dalam dan luar taman nasional juga sudah memadai. Apalagi lokasi yang terbilang tidak jauh untuk dijangkau masyarakat.

Namun Fifin tetap berkeyakinan taman nasional di Riau sedang berproses menuju ekowisata namun tetap terbatas. Artinya tidak dalam konteks mass tourism. Sebab dibatasi oleh zona peruntukan setiap taman nasional dan adanya daya tampung alam yang harus diperhatikan.

Dari pengalaman selama ini juga tidak mudah mengajak pemerintah daerah agar lebih care (peduli). Misalnya, menurut Fifin, TNBT memiliki fasilitas pelatihan dan penginapan di Camp Granit. Fasilitas ini sudah ditawarkan kepada pemerintah untuk digunakan. Namun responya masih minim.

Saat ini, TNBT hanya memiliki kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu, salah satu kabupaten lokasi TNBT. Balam bentuk sinergisitas kegiatan yang mendorong pengembangan wisata alam di kabupaten tersebut.

Barangkali yang bisa dibilang lebih maju kerja sama dengan pemerintah daerah adalah untuk Taman Nasional Zamrud. Setidaknya, untuk pengembangan TNZ sudah memiliki detailed engineering design (DED) alias desain tapak.

DED dibiayai oleh Pemkab Siak dan sudah disepakati dengan BBKSD Riau, selaku penanggung jawab TNZ saat ini. Namun pihak BBKSD Riau belum bersedia mendedahkan untuk publik.

Tentu saja sejumlah fasilitas akan dibangun di TNZ guna mendukung ekowisata. Termasuk dengan pembuatan jalur pejalan kaki guna mempermudah jelajah hutan rawanya dan perahu guna membawa wisatawan mengarungi danau di TNZ.

Sebagaimana disinggung dari pengalaman AS, pelibatan generasi muda juga menjadi kunci utama gerakan cinta taman nasional/konservasi alam. Tentu saja ini menjadi gerakan masif dan jangka panjang.

Khusus untuk TNBT, jelas Fifin, sudah memiliki kegiatan rutin sebagai pendekatan kepada generasi muda. Seperti Visit to School yang rutin dan Goes to Campus. Termasuk pula rekrutmen untuk komunitas Sahabat TNBT.

Namun ini masih sebagai program internal dari TNBT. Dengan kata bukan sebagai kolaborasi dengan pihak eksternal. Harapannya tentu bisa menjadi gerakan politik bersama dan berkesinambungan. Dari satu generasi ke generasi lainnya.

Di sini terasa penting pemerintah daerah memainkan peran. Sebab tidak bisa berharap banyak pada pusat. Di antaranya dengan melahirkan program resmi untuk anak sekolah/generasi muda agar peduli taman nasional/konservasi alam. Seperti halnya program American Conservation Experience (ACE) yang dikelola oleh Emerging Professionals Internship Corps (EPIC) tadi.

Program resmi itu berarti memberi jaminan atas keberadaan lembaganya, anggaran dan keberlanjutan untuk jangka panjang. Bisa jadi memberatkan. Tapi harus ada yang berinisiatif dan itu mesti dimulai dari sekarang.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook