Sembari berlari kecil rawa berlumpur itu sukses mereka lalui. Akan halnya dengan kami yang mengikuti tak semudah itu. Ketika kaki terbenam selutut ditarik untuk melangkah, alas kaki berupa sandal jepit langsung tertinggal di lumpur. Tak ada waktu mencari sendal itu lagi karena ketiga bocah kecil itu telah sampai di bibir Sungai Gangsal. Hujan yang turun semalam membuat sungai banjir dan arus deras. Sangat berisiko untuk direnangi menyeberang. Untunglah ada sampan.
Di dalam sampan barulah fotografer Riau Pos menyadari sejumlah pacet (lintah, red) telah menempel di kaki hingga ke pahanya. Satunya lagi menempel di pergelangan tangan kanan yang saat ditarik menimbulkan lubang kecil yang mengalirkan darah cukup banyak. Sejurus kemudian sampan kami merapat ke tepian Dusun Sadan. Pengalaman menyusuri pedalaman TNBT itu begitu membekas di hati. Sekeping keindahan alam yang harus dijaga kelestariannya.
Dusun Kecil di Kaki Bukit
Sadan hanya sebuah dusun kecil di bawah kaki bukit tigapuluh. Terletak di bibir Batang Gangsal dan dikelilingi hutan. Ia adalah bagian dari Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dari Kota Pekanbaru kita harus menuju Pematang Reba-Rengat melewati Jalan Lintas Timur berjarak tempuh 196 Km. Dari Pematang Reba menuju pintu masuk melalui simpang Siberida jarak tempuh mencapai Rp50 km.
Untuk mencapai akses Sungai Gangsal di Dusun Lemang jarak tempuh dari simpang Siberida mencapai 13 Km ke dalam melewati beberapa dusun yakni Dusun Usul, Siambul, Siamang dan Lemang. Menjelang Dusun Siambul yang ada hanya jalan tanah dengan pasir dan batu (sirtu). Mobil kami hanya bisa sampai di Dusun Siambul karena rute berikutnya jalan tanah liat yang licin dan penuh lubang sebesar kubangan kerbau.
Mulai dari Siambul kami harus menggunakan ojek dengan tarif Rp25.000 per orang. Melewati deretan kebun karet dan dusun-dusun kecil. Makin ke dalam kondisi jalan makin menantang. Jalan berlubang, licin dan penuh tanjakan curam dan turunan yang tajam. Gas di putar habis oleh pengendara ojek membuat mesin meraung-raung dan tubuh terguncang-guncang dengan jantung berdegup. Di beberapa tempat kami terpaksa turun karena tanjakan penuh lubang besar berlumpur.
Kami sempat melihat sebuah mobil pick-up terjebak dalam kubangan lumpur di tengah jalan dan sedang didorong ramai-ramai oleh penumpangnya. ”Mereka mau mengambil/membeli karet ke dalam bang,” ujar Astar sang pengojek. Untuk mencapai Dusun Lemang kami melewati dua dusun lagi masing-masing Rantau Langsat dan Siamang. Setelah mencapai Dusun Lemang barulah kami melihat satu SDN 004. Ojek kami terus melaju.
Pada pukul 13.30 WIB akhirnya kami mencapai Dusun Lemang. Personil TNBT, Andi Munandar kemudian menghubungi pemilik perahu tempel. Mereka bersedia mengantar ke dalam dengan biaya sewa perahu tempel Rp800.000. Tak bisa dinego lagi dan tak ada pilihan.
Kami bergerak dari Dusun Siamang ke hulu melawan arus menggunakan perahu bermesin tempel merk Yamaha berkekuatan 15 PK. Panas menyengat kulit saat sampan tempel kami bergerak meninggalkan Dusun Siamang pukul 14.30 WIB. Namun angin dingin yang menerpa kulit jadi penawar sengatan mentari.
Baru beberapa menit perahu tempel berjalan, keindahan Sungai Gangsal mulai terpampang di depan mata. Alur sungai yang berkelok-kelok dengan kiri kanan perbukitan yang hijau ranau menampilkan sebuah landscap alam yang memukau. Tak jarang kami menemui pohon-pohon besar saling bertautan dari masing-masing pinggir sungai dan kami lewat di bawahnya. Sinar mentari yang terik menerpa sungai dan memantul ke pepohonan rimbun yang akarnya menjuntai ke bawah menimbulkan siluet jingga yang eksotis.
Tipikal Sungai Gangsal adalah khas sungai pegunungan. Meski lebar tetapi tidak semuanya dalam. Sebentar dalam sebentar dangkal. Tarji si juru mudi dan Tarjo pengendali depan dengan menggunakan galah harus berjibaku mengendalikan perahu tempelnya mencari tempat yang dalam agar kipas mesin tidak menyangkut atau membentur bebatuan yang banyak di dasar sungai. Tak jarang batu-batu besar mencuat di permukaan sungai seperti dam raksasa yang harus dilewati. Melewatinya kita merasakan sensasi arung jeram yang memicu adrenalin.
Di sepanjang tepian Sungai Gangsal terdiri dari dusun-dusun kecil yang terpisah-pisah oleh hutan. Bagi yang ada dusun biasanya hutan di sana telah berubah jadi kebun karet. Meski demikian masih terdapat sejumlah hutan di tepi hutan yang lestari. Menurut keterangan staf TNBT, Andi Munandar, masyarakat lokal memiliki kepercayaan terhadap hutan larangan yang lazim mereka sebut hutan fuake. Hutan fuake ini tidak boleh ditebang karena diyakini mereka sebagai tempat bersemayan roh-roh pendahulu mereka. Bila ditebang juga maka malapetaka akan menimpa orang yang melanggarnya.
Dampak positifnya hutan-hutan dengan pepohonan bernilai ekonomi tinggi masih terjaga hingga kini. Di sepanjang Sungai Gangsal khususnya lagi di hutan fuake kita masih bertemu dengan aneka pohon langka seperti kulim, seminai, kerving, kempas, gaharu dan mersawa. Dari tengah sungai kita masih dapat menyaksikan pohon langka lainnya seperti Balau, Meranti, Kayu Batu, Jelutung, Pulai, Resak, Bidara dan Keranji. Tak ketinggalan pohon durian dan petai yang sedang musim.
Kami juga sempat menyaksikan aneka fauna di alam liar seperti burung pemakan ikan (king fisher), kupu-kupu bersayap hijau, siamang dan beruk berayun-ayun. Lutung dan simpai sesekali turun dari dahan-dahan pohon ke batu-batu besar di pinggir sungai untuk minum dan bermain-main air. Tak terasa kami terus melaju melewati sejumlah dusun antara lain Dusun Air Buluh, Air Tabu, Nunusan dan Nyasih. Begitu melewati Dusun Tanjung Lintang awan mulai gelap. Gerimis pun berjatuhan.
Sayangnya hanya ada satu terpal yang bisa menutupi barang bawaan dan maksimal dua orang. Selebihnya penumpang perahu tempel diterpa gerimis. Mendekati Dusun Tanjung Lintang (10 km dari Sadan) gerimis tadi berubah jadi hujan lebat disertai kilatan petir dan guruh yang membahana. Arus deras Sungai Gangsal membuat perahu tempel menjadi berat. Tarji dan Tarjo terus berjuang keras mengendalikan sampan yang makin berat melawan arus. Hujan tak berhenti hingga hampir satu jam lebih. Kami semua basah kuyup. Terpal kecil tak berdaya menghadang curah hujan yang bak ditumpahkan dari langit.
Jelang Magrib di tengah hujan deras yang mengguyur akhirnya perahu tempel kami memasuki Dusun Sadan. Tak berapa lama kami merapat ke tepian Dusun Sadan. Sebuah pelantaran dari rakit yang tertambat jadi pijakan setelah keluar dari perahu tempel. Kami sampai di rumah Ketua RT Dusun Sadan, Suwandi, dalam keadaan basah kuyup. Kami lega telah mencapai Sadan. Di luar malam semakin pekat diiringi rintik hujan.***