JAKARTA (RIAUPOS.CO) -Sepanjang paruh pertama tahun ini sejumlah perusahaan di bawah panji Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menelan kerugian. Cerita ngenes BUMN itu sudah menjadi rahasia umum. Saking lazimnya, berita negatif tersebut seakan-akan menjadi angin lalu.
Berdasar data BUMN, 24 usaha pelat merah itu meninggalkan jejak kerugian sejumlah Rp 5,852 triliun. Angka itu lebih tragis dari periode sama tahun lalu senilai Rp 5,826 triliun. Tidak sekadar diterpa rugi, 9 badan usaha milik negara malah dalam kondisi sekarat. ”Problem kerugian itu muncul dari inefisiensi. Karena keuangan usaha habis untuk membiayai pegawai,” tutur Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati.
Tidak sedikit struktur direksi dalam sejumlah usaha tidak pada tempatnya. Kalau posisi direksi ditempati secara benar, tidak masalah. Tetapi, selama ini, tidak jarang struktur organisasi di isi oleh orang-orang titipin sebagai balas jasa. Kondisi itu jelas akan memberatkan keuangan perusahaan. ”Belum lagi soal birokratisasi yang masih belum berubah di sejumlah perusahaan BUMN,” tegas Enny.
Selanjutnya, struktur permodalan masih bergantung pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Seperti yang sudah biasa terjadi selama ini, biasanya kalau perusahaan pelat merah berkinerja buruk, akan menyuntikan modal dari negara dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN). PMN sejatinya tidak buruk, tetapi kalau tidak selektif, hanya akan menjadi bancakan. ”Harus dipilah. Perusahaan dengan peluang dan strategis harus diutamakan untuk mendapat PMN,” ungkapnya.