JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi "melempar" meterai tempel baru nominal Rp10 ribu ke masyarakat. Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, meterai pengganti meterai tempel Rp6.000 dan Rp3.000 itu sudah bisa dibeli, Jumat (29/1).
Kendati meterai terbaru sudah beredar melalui seluruh kantor pos di Indonesia, dua meterai sebelumnya masih berlaku. Dua meterai edisi 2014 itu masih bisa digunakan hingga akhir tahun ini.
"Masih berlaku sampai 31 Desember 2021," ujarnya.
Masyarakat masih bisa menggunakan meterai lama dengan nilai minimal Rp9.000. Ada beberapa opsi yang ditawarkan untuk tetap bisa menggunakan dua meterai edisi 2014 itu. Yakni, menggunakan tiga meterai Rp3.000, dua meterai masing-masing senilai Rp6.000, atau menempelkan meterai Rp3.000 dan Rp6.000 pada dokumen.
Pemerintah merilis meterai Rp10.000 itu setelah menetapkan tarif tunggal atau single tarif bea meterai. Aturan bea meterai Rp10.000 tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4/PMK.03/2021. Selama sekitar dua dekade, Indonesia tidak pernah melakukan penyesuaian tarif meterai.
Pada meterai Rp10.000 itu terdapat gambar Garuda, angka "Rp 10.000", dan tulisan "Sepuluh Ribu Rupiah". Ada pula teks mikro modulasi "Indonesia" dan blok ornamen khas Indonesia.
Ciri khusus meterai anyar itu adalah warnanya yang didominasi merah muda. Tampak serat berwarna merah dan kuning pada kertas dan garis hologram sekuriti berbentuk persegi panjang yang memuat gambar lambang negara. Selain Garuda, ada gambar bintang, logo Kemenkeu, dan tulisan DJP.
Menurut Hestu, desain meterai tempel itu adalah ornamen Nusantara. Tema tersebut dipilih untuk mewakili semangat menularkan rasa bangga atas kekayaan yang dimiliki Indonesia dan semangat nasionalisme.
"DJP mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada akan meterai tempel palsu dan meterai tempel bekas pakai (rekondisi, red). Masyarakat diimbau untuk meneliti kualitas dan memperoleh meterai tempel dari penjual yang terpercaya," tegasnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, struktur tarif bea meterai di Indonesia sederhana dan ringan. Dia mencontohkan tarif bea meterai di Korea Selatan (Korsel) yang mencapai KRW 100 sampai KRW 350 ribu.
"Itu kalau dirupiahkan bisa sekitar Rp130 ribu sampai Rp4,5 juta. Di kita hanya Rp10.000. Kalau dibandingkan dengan nilai transaksi nominal terendah Rp 5 juta itu berarti 0,2 persen," urainya.(dee/c13/hep/jpg)digunakan hingga akhir tahun ini.
"Masih berlaku sampai 31 Desember 2021," ujarnya.
Masyarakat masih bisa menggunakan meterai lama dengan nilai minimal Rp9.000. Ada beberapa opsi yang ditawarkan untuk tetap bisa menggunakan dua meterai edisi 2014 itu. Yakni, menggunakan tiga meterai Rp3.000, dua meterai masing-masing senilai Rp6.000, atau menempelkan meterai Rp3.000 dan Rp6.000 pada dokumen.
Pemerintah merilis meterai Rp10.000 itu setelah menetapkan tarif tunggal atau single tarif bea meterai. Aturan bea meterai Rp10.000 tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4/PMK.03/2021. Selama sekitar dua dekade, Indonesia tidak pernah melakukan penyesuaian tarif meterai.
Pada meterai Rp10.000 itu terdapat gambar Garuda, angka "Rp 10.000", dan tulisan "Sepuluh Ribu Rupiah". Ada pula teks mikro modulasi "Indonesia" dan blok ornamen khas Indonesia.
Ciri khusus meterai anyar itu adalah warnanya yang didominasi merah muda. Tampak serat berwarna merah dan kuning pada kertas dan garis hologram sekuriti berbentuk persegi panjang yang memuat gambar lambang negara. Selain Garuda, ada gambar bintang, logo Kemenkeu, dan tulisan DJP.
Menurut Hestu, desain meterai tempel itu adalah ornamen Nusantara. Tema tersebut dipilih untuk mewakili semangat menularkan rasa bangga atas kekayaan yang dimiliki Indonesia dan semangat nasionalisme.
"DJP mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada akan meterai tempel palsu dan meterai tempel bekas pakai (rekondisi, red). Masyarakat diimbau untuk meneliti kualitas dan memperoleh meterai tempel dari penjual yang terpercaya," tegasnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, struktur tarif bea meterai di Indonesia sederhana dan ringan. Dia mencontohkan tarif bea meterai di Korea Selatan (Korsel) yang mencapai KRW 100 sampai KRW 350 ribu.
"Itu kalau dirupiahkan bisa sekitar Rp130 ribu sampai Rp4,5 juta. Di kita hanya Rp10.000. Kalau dibandingkan dengan nilai transaksi nominal terendah Rp 5 juta itu berarti 0,2 persen," urainya.(dee/c13/hep/jpg)