JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Keputusan pemerintah memungut dana ketahanan energi (DKE) sebenarnya bertujuan positif, tapi sangat disayangkan tidak melalui mekanisme yang tepat. Pemerintah mengabaikan tertib administrasi yang seharusnya didahulukan sebelum mengeluarkan kebijakan yang erat kaitannya dengan beban masyarakat.
Pemerintah memang selalu merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi yang menuntut pendanaan atas pengembangan energi terbarukan. Namun keputusan sepenting itu harusnya melalui mekanisme APBN yang dibahas bersama DPR. Hingga saat ini belum ada payung hukum kuat yang menjadi landasan pemerintah memungut DKE langsung dari rakyat.
Jadi, kalau 5 Januari 2016 nanti pemerintah bersikukuh memungut Rp200-Rp300 dari setiap liter BBM yang dibeli rakyat maka bisa dikategorikan sebagai tindakan ilegal. Apalagi, peraturan pemerintah (PP) baru akan dibuat. Nanti DPR bisa mempermasalahkan karena pemerintah dianggap melanggar undang-undang.
Meskipun PP tentang pungutan itu nanti keluar, pemerintah tetap dianggap tidak beretika karena melaksanakan kebijakan tanpa ada dasar hukumnya. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah agar ke depan tidak terburu-buru membuat suatu keputusan baru menerbitkan peraturan sebagai pembenaran. Kalaupun lolos, sudah pasti keputusan itu akan menuai banyak kritikan dan hujatan.
Apalagi pungutan tersebut tidak memiliki urgensi dalam waktu dekat. Memang benar pengembangan energi terbarukan harus dilakukan, akan tetapi seharusnya sudah dilakukan sejak lama. Instrumen yang dilakukan juga tidak perlu memungut secara langsung ke rakyat. Pemerintah bisa saja merangkul pihak swasta dalam pengembangan energi terbarukan.
Kalaupun tidak cukup kuat, pemerintah bisa memungut dari penghasilan yang diperoleh sektor hulu migas yang mencapai Rp350 triliun-Rp400 triliun per tahun. Kalau mau mudah bagi pemerintah untuk mengambil Rp50 triliun bagi DKE. Target pemerintah memperoleh Rp15 triliun per tahun dari DKE yang dari BBM sepertinya tidak sebanding dengan hiruk pikuk dan polemik yang timbul di masyarakat.
Di sisi lain, jika alasan pemerintah dana DKE tersebut untuk mensubsidi BBM jika harga minyak kembali melambung tinggi maka bisa dianggap sebagai suatu tindakan mundur. Pasalnya, sejak lama pemerintah berkoar-koar ingin meninggalkan rezim subsidi. Ditambah lagi, pemerintah sudah memiliki instrument untuk mengatasi lonjakan harga minyak melalui cadangan fiskal.
Sebagian masyarakat tentu senang-senang saja mendapat subsidi melalui DKE ketika harga minyak kembali melambung. Namun hal ini merupakan wujud pemerintah yang tidak konsisten. Hal itu sah-sah saja namun kalau ada instumen yang lebih tepat maka sebaiknya itu menjadi pilihan pertama. Misalnya, mengambil dari sektor hulu migas atau batubara.
Pemerintah juga harus paham bahwa penarikan dana ketahanan energy sekarang ini tidak bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Sebab pengembangan energi terbarukan memerluka waktu lama. Sebagai contoh energi panas bumi baru bisa dimanfaatkan di tahun keempat atau kelima. Artinya, pemanfaatan dana DKE baru akan dinikmati anak cucu kita 5-10 tahun mendatang.(dee/dim/wir/wan)
Sumber: JPG/JPNN
Editor: Hary B Koriun