JAKARTA (RIAUPOS.CO)-Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menegaskan, program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) merupakan kebijakan yang memang pantas diterima oleh karyawan, buruh yang masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dia mengatakan, dalam undang-undang ketenagakerjaan, pemberi kerja memang wajib untuk memberikan hak-hak dasar pekerja. Salah satunya adalah rumah.
”Hal inilah yang selama ini berbeda dengan kenyataan. Apalagi, pekerja outsource yang diberikan upah minimum," ujarnya Ahad (28/2/2016).
Namun, menurutnya, kebijakan ini tentunya tak perlu menjadi beban bagi pengusaha. Sebab, fokus utama dalam kebijakan ini adalah kategori pekerja yang belum dan kesulitan mendapatkan akses rumah tinggal tetap. Dengan demikian, pekerja-pekerja yang sudah mendapatkan rumah atau akses hunian tak perlu mendapatkan manfaat ini.
"Kan beberapa perusahaan juga sudah mengadakan program house loan (KPR rumah) secara internal. Saya rasa perusahaan-perusahaan ini harus mendapatkan pengecualian karena memang sudah menunaikan kewajibannya," ujarnya.
Tentu saja konsep gotong royong yang diwacanakan pemerintah cukup tepat guna menjamin pendanaan KPR bagi para pekerja berpenghasilan rendah. Namun, pemerintah pun harus menetapkan batas atas agar perusahaan tidak terbebani. Meskipun, jatah perusahaan hanya 0,5 persen dari gaji.
"Kalau upah pekerja 10 juta ke bawah tidak apa-apa. Nah, perusahaan yang sudah memberikan upah di atas standar bagaimana? Tentu keuangan mereka akan terbebani. Karena itu harus ada plafon (batas atas) sampai mana uang gotong royong yang diperlukan," katanya.
Dia pun meminta agar ada perhitungan lebih rinci untuk pemenuhan hak-hak dasar. Misalnya, menghapuskan kewajiban pemenuhan hak dasar secara internal jika memang Tapera sudah dilaksanakan. Hal itu dirasa sangat adil baik bagi pekerja dan perusahaan.