JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Bisa dikatakan, cara penagihan pinjaman online (pinjol) memang terkesan berlebihan. Berbagai cara dilakukan untuk membuat peminjam ketakutan, tertekan secara psikis, dan yang kebablasan bisa menghancurkan hidup peminjam.
Koordinator korban pinjaman online Sixtina Zevora Mayadianty menuturkan, cara-cara penagihan pinjol memang beragam. Namun, pola setiap aplikasi pinjol itu hampir sama. ’’Pola yang paling sering itu membuat grup bersama yang isinya keluarga atau atasan, lalu ditagih,’’ ujarnya.
Namun, dari semua itu, desk collector (DC) sebenarnya juga terpaksa dalam melakukan penagihan dengan cara tersebut. DC bilang hanya menuruti perintah atasannya. ’’Mau tidak mau dia harus melakukannya karena dipaksa,’’ tuturnya.
Menurut Sixtina, penagih utang tadi baru lulus SMA. Dia bekerja untuk membiayai adiknya. ’’Jadi, pola perusahaan pinjol ini mencari karyawan yang bau kencur dan tidak tau apa-apa,’’ urainya.
Saking parahnya dampak penagihan pinjol, para korban tidak hanya melaporkan secara pidana. Jalur gugatan perdata juga ditempuh. ’’Saat ini sidang ketiga. Para korban menunggu hasil sidang itu. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,’’ jelasnya kemarin.
Menurut dia, gugatan perdata itu dilayangkan karena kerugian korban begitu besar. Ada korban yang dipecat, bercerai, bahkan hampir bunuh diri. Kemampuan peminjam untuk membayar justru dilemahkan oleh praktik penagihan yang berlebihan tersebut.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko menuturkan, pihaknya justru merasa penagihan dengan cara kasar itu tidak terjadi lagi. Bila memang masih terjadi, tentu penagihan tersebut harus dilaporkan. ’’Asosiasi sendiri harus tahu aplikasi fintech yang mana. Nama DC juga harus jelas,’’ paparnya.
Secara umum, sebenarnya AFPI telah berupaya menekan cara-cara penagihan yang merugikan tersebut. Salah satunya dengan sertifikasi untuk aplikasi pinjaman online. ’’Sertifikasi ini merupakan rangkaian seminar dengan diakhiri ujian,’’ jelasnya.
Editor: Eko Faizin