’’Orang akan menahan belanja. Jadi daripada orang belanja dikenakan pajak ya lebih baik agak sedikit menurunkan untuk belanja. Ini terjadi di kelas menengah dan atas. Ini kan udah terjadi pada waktu tax amnesty Kemaren karena uangnya bayak tersebar ke kantong pemerintah akhirnya banyak departemen store berguguran. Karena kelas menengah atasnya agak gelisah dengan pajak,’’ ujarnya Minggu (14/4/2019).
Pemaksaan pajak yang tinggi juga akan berdampak pada pelaku bisnis. Mereka akan cenderung menunda investasi, aksi korporasi, maupun ekspansi bisnisnya. ’’Pelaku bisnis kalau melihat tax ratio dikejar terlalu tinggi mereka pasti akan melakukan efisiensi, tadinya mau berinvestasi atau beli mesin baru, mau beli pabrik baru, mau ekspansi pada akhirnya akan menunda,’’ tuturnya.
Bhima menjelaskan, sebenarnya target tax ratio sebesar 16 persen merupakan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) era Jokowi – JK 2015-2019 yang tidak tercapai. ’’Tapi kalau kurun waktu dekat ini memang kalau di paksakan 16 persen, melihat situasi ekonomi global yang masih belum kondusif seperti sekarang ada perang dagang, ketidakpastian permintaan ekspor misalnya,’’ imbuhnya.
Menurutnya, pajak dalam bidang ekonomi akan menimbulkan kontradiksi publik terhadap perekonomian suatu negara. Bhima mengaku bingung terhadap target paslon 01 yang akan memaksa target tax ratio 16 persen, sementara merubah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang mempertebal kantong masyarakat, dinilai kontradiktif.