REGULASI EKONOMI

Omnibus Law Ubah Rumus Pesangon Buruh

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 14 Februari 2020 - 15:21 WIB

Omnibus Law Ubah Rumus Pesangon Buruh

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Penolakan kelompok buruh terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, cukup beralasan. Sebab, banyak pasal yang dinilai memberatkan pekerja. Mulai urusan upah minimum (UM) hingga soal pemutusan hubungan kerja (PHK).

Merujuk pada draf yang diterima Jawapos.com, banyak pasal ngambang. Ketentuannya akan diatur lebih detail dalam peraturan pemerintah. Padahal, poin tersebut krusial dan butuh transparansi.


Berbeda dengan UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lebih gamblang.

Sebagai contoh, urusan UM. Omnibus law memang tidak menghapus UM. Namun, melalui beleid tersebut, pemerintah ternyata menghilangkan peran dewan pengupahan dalam penentuan UM. Kewenangannya dilimpahkan sepenuhnya ke gubernur. Aturan itu tertuang dalam pasal 88C Bab IV tentang Ketenagakerjaan.

Dalam pasal tersebut, gubernur sudah diberi formula untuk menentukan UM. Rumusnya, UM provinsi dihitung dari penjumlahan UM tahun berjalan dan hasil kali UM tahun berjalan dengan persentase pertumbuhan ekonomi tahun berjalan.

Rumus tersebut, menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, sangat mungkin bakal membuat perhitungan UM lebih rendah daripada skema saat ini. Sebab, kenaikannya hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Tidak lagi menghitung inflasi. ”Padahal, kalau di PP 78/2015 tentang Pengupahan, kenaikan UM berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tutur dia kepada koran ini kemarin (13/2).

Begitu pula mengenai PHK. Ada ruang yang mempermudah diakhirinya hubungan kerja. Dalam pasal 151 draf RUU itu disebutkan bahwa PHK dilaksanakan berdasar kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Bila kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian PHK dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Alasan PHK tersebut kemudian diperjelas lagi di pasal 154 A ayat 1. Salah satunya pada poin J. Tertulis bahwa PHK dapat dilakukan jika pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB).

Poin tersebut jauh berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini. Yakni, sebelum PHK dilakukan, pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengusahakan agar pemutusan tersebut tidak terjadi. Caranya, antara lain, ada surat teguran atau peringatan terlebih dulu dan tidak perlu penetapan pengadilan. ”Kalau di UU 13/2003 kan pelanggaran PP atau PKB, misalnya, telat masuk kerja, kalau dikasih sanksi maka dikasih surat peringatan dulu. Tapi, di RUU ini tidak perlu surat peringatan dan bisa di-PHK,” papar dia.

Urusan komponen pesangon juga diubah. Ada dua komponen yang nanti digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh. Yakni, upah pokok pekerja dan tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.

Menurut Timboel, rumus tersebut berbeda dengan aturan saat ini yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam aturan tersebut, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti adalah upah pokok.

Dalam UU Ketenagakerjaan jelas aturannya. Kompensasi PHK berdasar alasannya. Misalnya, PHK dengan alasan efisiensi akan mendapat 2 kali PMTK (peraturan menteri tenaga kerja), yaitu 2 kali pesangon (pasal 156 ayat 2) + penghargaan masa kerja (pasal 156 ayat 3) + penggantian hak (pasal 156 ayat 4).

”Tapi, penggantian hak ini juga tidak diwajibkan lagi (pasal 156 ayat 4). Tapi, diganti dengan kata ’dapat’ diberikan. Artinya, bisa diberikan atau tidak. Ini penurunan manfaat bagi buruh,” ungkap dia.

Meski demikian, jumlah pesangon yang diberikan kepada pekerja bila terjadi PHK tidak mengalami perubahan. Untuk buruh yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun, besaran pesangon 1 bulan gaji. Kemudian, bagi yang bekerja dalam waktu 1–2 tahun, pesangon diberikan 2 bulan gaji. Sementara untuk yang bekerja 2–3 tahun, besaran pesangon 3 bulan upah, dan seterusnya. Besaran pesangon paling banyak sembilan kali upah yang diberikan bagi buruh yang masa kerjanya 8 tahun atau lebih. ”Nah, saat ini berapa nilai kompensasi tidak lagi diatur di UU, tapi diserahkan ke peraturan pemerintah,” katanya.

Timboel mengatakan, apabila detail poin-poin penting itu nanti diatur melalui peraturan pemerintah, DPR tidak lagi akan membahas kesejahteraan pekerja. Sebab, semua diserahkan kepada eksekutif.

Menurut dia, itu strategi eksekutif untuk mengatur semuanya. Sebab, DPR juga nanti tidak bisa mengkritisi apa pun. ”Ya, DPR hanya bicara yang umum-umum saja, tidak membicarakan soal hal-hal riil yang akan diterima pekerja. Semangatnya memang race to the bottom,” keluhnya.

Menurut dia, pada SK Menko Perekonomian No 121 disebutkan, ada penugasan tim untuk membicarakan substansi RUU dan substansi regulasi operasionalnya seperti PP, perpres, dan lainnya. Ada sekitar 14 serikat pekerja atau buruh yang ikut terlibat. Namun, dengan beredarnya RUU tersebut, tim itu dinilai hanya basa-basi. Sebab, draf RUU sudah masuk ke DPR. ”Terus tim yang ada ini kapan membahasnya? Harusnya RUU ditunda dulu ke DPR sampai tim bekerja membahas substansinya,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menegaskan bahwa upaya pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bermuara pada kepentingan dua pihak, yakni pengusaha dan buruh. Pelaku usaha juga tak sependapat jika RUU tersebut hanya mementingkan sektor pengusaha. ”Indonesia memiliki risiko atas kerawanan tenaga kerja. Pada 2013, per 1 triliun investasi masih bisa menyerap 4.500 pekerja dan pada 2018 hanya sekitar 1.400. Hal ini menyebabkan terjadinya industri padat modal, bukan padat karya,” ujarnya.

Hariyadi menyatakan, sudah seharusnya permasalahan aturan ketenagakerjaan diselesaikan secara menyeluruh. Tidak hanya dilihat dari sisi kepentingan buruh yang terkait dengan kesejahteraan. Dia menilai, aturan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini justru membuat penyerapan tenaga kerja semakin rendah.

Hariyadi menjelaskan, selama 10 tahun terakhir, investasi asing yang masuk ke Indonesia meningkat cukup signifikan. Namun, peningkatan tersebut tidak diiringi peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sebab, sebagian besar investasi asing yang masuk adalah investasi padat modal yang minim penyerapan tenaga kerja. ”Investasi padat modal terus-menerus masuk, pertumbuhan ekonomi tetap akan kencang. Tapi, yang menikmati hanya kelas menengah ke atas nanti. Ketimpangan semakin besar dan tentu akan semakin berbahaya,” ujarnya.

Menurut Hariyadi, pemerintah perlu melihat aspek yang lebih besar dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja selain hak-hak pekerja seperti upah dan pesangon. ”Yang paling utama sebenarnya upaya untuk bisa menarik masyarakat yang belum masuk ke pekerjaan formal,” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin berharap pembahasan RUU Omnibus Law bisa berjalan cepat. ”Karena ini kan sebenarnya untuk kepentingan kemajuan. Untuk juga kepentingan tenaga kerja,” katanya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena menuturkan, pembahasan RUU Cipta Kerja menunggu agenda rapat paripurna. Di situ akan diputuskan mekanisme pembahasan melalui badan legislasi (baleg) atau panitia khusus (pansus) yang melibatkan lintas komisi.

DPR meminta pihak buruh bersabar. Jika pembahasan sudah berlangsung, kata Melki, pihaknya berjanji membuka ruang partisipasi publik. Temasuk bagi para serikat pekerja. ”Yang pasti, apa pun draf RUU, baik usulan pemerintah maupun DPR, selalu melibatkan banyak pihak,” katanya.

Dia memastikan banyak serikat pekerja yang terlibat dalam isu-isu menyangkut ketenagakerjaan. Konfederasi buruh yang berbadan hukum dan terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) akan dilibatkan. Sebab, setiap konfederasi mewakili banyak anggota buruh yang terdampak regulasi tersebut.

Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook