Aturan Baru, Mal dan Hotel Wajib Nama Indonesia

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 10 Oktober 2019 - 19:58 WIB

Aturan Baru, Mal dan Hotel Wajib Nama Indonesia
WAJIB INDONESIA: Penggunaan bahasa asing yang selama ini digunakan di mal atau hotel. Kini Presiden Jokowi menerbitkan perpres tentang penggunaan bahasa Indonesia untuk ruangg publik dan komunikasi sehari-hari. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah menegaskan gerakan untuk membumikan bahasa Indonesia. Kemarin Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Dengan perpres tersebut, diatur berbagai tempat dan aktivitas keseharian yang wajib menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, nama mal dan hotel pun harus menggunakan bahasa Indonesia.


Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Adita Irawati mengatakan, Perpres 63/2019 merupakan aturan teknis dari UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 25 ayat 2 disebutkan, bahasa Indonesia merupakan jati diri dan wujud eksistensi bangsa. Dengan posisi tersebut, lanjut dia, bahasa Indonesia perlu dibawa ke tempat-tempat yang strategis. Termasuk pada forum-forum internasional, baik di dalam maupun luar negeri.

”Bahasa Indonesia perlu juga dibawakan oleh para pejabat negara yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional,” ujarnya. Adita meyakini, kebijakan tersebut tidak akan mematikan kemampuan orang berbahasa daerah. Sebab, bahasa daerah tetap mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat.

”Bahasa daerah juga tetap bisa masuk dalam mata pelajaran,” imbuhnya.

Selain soal pidato, perpres tersebut mewajibkan bahasa Indonesia dipakai untuk penamaan geografi, bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan.

Ivan Lanin, wikipediawan bahasa Indonesia, mengatakan bahwa kebijakan tersebut cukup baik untuk memastikan masyarakat mampu berbahasa Indonesia dengan benar. Meski demikian, dia memprediksi pelaksanaan atas kebijakan tersebut tidak maksimal. Sebab, lanjut dia, dalam UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 tidak diatur mengenai sanksi bagi pelanggarnya. ”Paling bikin orang sedikit takut, cuma tetap aja dilanggar,” ujarnya. Teknis pengawasannya pun relatif sulit. Misalnya, dalam memastikan perusahaan swasta menjalankan kebijakan tersebut. Untuk itu, jika kebijakan tersebut ingin berjalan efektif, Lanin menyarankan ada sanksi yang tegas.

Dalam Perpres 63/2019 hanya disebutkan bahwa pemerintah daerah (kepala daerah) dan pemerintah pusat (menteri) bertugas mengawasi penggunaan bahasa Indonesia. Dalam menjalankan pengawasan, menteri akan menetapkan pedoman penggunaan bahasa Indonesia yang kemudian diturunkan dalam peraturan daerah.

Lebih lanjut, kata Ivan, pemerintah perlu memberikan batasan yang tegas dalam implementasinya. Sebab, saat ini sejumlah daerah memiliki program tersendiri dalam hal berbahasa. Di Bandung, misalnya, ada gerakan Rabu Nyunda (Rabu berbahasa Sunda) di internal pemerintahan. Secara normatif, gerakan itu bertentangan dengan isi perpres yang mewajibkan kantor pemerintahan berbahasa Indonesia. ”Perlu ada kejelasan. Sebenarnya maksudnya bukan mematikan bahasa daerah, tapi orang bisa mengambil interpretasi berbeda,” tuturnya.

Di sisi lain, harus diakui, kebijakan tersebut membuat kesempatan masyarakat berbahasa daerah semakin sempit sehingga memberikan dampak terhadap eksistensi bahasa daerah. ”Bahasa daerah itu posisinya sudah lemah. Orang gak bangga bahasa daerah, ditambah pula mesti menggunakan bahasa Indonesia pada kesempatan resmi,” kata dia.

Sementara itu, guru besar linguistik Universitas Mataram Prof Mahsun memberikan pandangan lebih detail mengenai peraturan berbahasa tersebut. Menurut dia, adalah salah jika orang beranggapan bahwa Perpres 63/2019 akan mematikan bahasa daerah. ”Jangan salah tafsir,” tegas Mahsun.

Bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi di lingkungan kerja pemerintah maupun swasta karena di situ ada interaksi antaretnis/suku. Bukan sesama etnis. Tidak mungkin dalam suatu perusahaan atau instansi hanya terdiri atas satu suku. Pasti dari berbagai-bagai suku. Nah, bahasa daerah boleh digunakan jika dilakukan di dalam komunitas etnis tersebut.

”Jadi, digunakan untuk komunikasi intra-etnis. Misalnya, sesama orang Jawa boleh ngomong Jawa. Tapi, ketika berkomunikasi dengan etnis Sunda atau Minang, harus menggunakan bahasa Indonesia,” papar mantan kepala Badan Bahasa Kemendikbud (periode 2012–2015) itu.

Mahsun sangat mengapresiasi langkah Jokowi menerbitkan peraturan tersebut. Pidato seorang presiden RI dalam forum internasional harus menggunakan bahasa Indonesia. ”Itu bagus. Artinya, Presiden Jokowi sudah mulai sadar bagaimana peran bahasa dalam membangun nasionalisme bangsa,” katanya. Bahasa itulah yang menggambarkan bahwa kita ini orang Indonesia. Bukan Melayu atau sebagainya.

Peningkatan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009. Dengan perpres tersebut, kedudukannya semakin tegas. Jadi, tidak membuat seorang presiden latah menggunakan bahasa Inggris saat berpidato di forum dunia.

Begitu pula dalam melakukan kerja sama dengan pihak asing yang digelar di tanah air. Mahsun menegaskan, harus menggunakan bahasa Indonesia. Menurut dia, orang asing yang datang ke Indonesia harus punya standar kompetensi minimal berbahasa Indonesia melalui UKBI (uji kemahiran berbahasa Indonesia). Khususnya, tenaga kerja asing. Untuk pejabat pemerintah negara asing, paling tidak menggunakan penerjemah.

”Jangan sampai, misalnya, ada orang perusahaan Amerika datang, kita yang harus berbahasa Inggris. Mereka datang ke negara kita, ya harus menggunakan bahasa kita,” imbuhnya.

Hal senada diungkapkan pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah. Dia mengungkapkan, dalam sidang PBB, presiden boleh berpidato dalam bahasa Indonesia. Tidak ada larangan. ”Tapi, pihak Indonesia harus menyediakan penerjemah. Atau bisa juga membuat ringkasan pidato dalam bahasa asing yang sudah dibagikan kepada audiens,” terang Reza.

Pidato presiden itu tentunya sudah dipersiapkan betul oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) secara konteks dan tata bahasanya. Namun, yang harus dicermati adalah berbicara dengan bahasa Indonesia dalam forum internasional yang mana, dalam konteks apa, dan siapa yang berbicara. Sebab, bahasa Indonesia belum tentu sanggup menerjemahkan bahasa asing dengan padanan arti yang tepat. Misalnya, istilah komputer, militer, kuliner, dan aspek lain.

Nah, kepala negara sebaiknya berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sebab, presiden adalah simbol yang membawa marwah bangsa dan negara. Tapi, jika level menteri dalam forum diskusi yang membahas teknis tertentu pasti repot. ”Misalnya, dialog kenegaraan membahas isu tingkat regional. Bisa jadi substansi yang ingin disampaikan tidak bisa diterima maksudnya dengan baik oleh pejabat negara lain,” katanya.

Di sisi lain, sebagai seorang menteri, tidak bisa berbahasa Inggris malah mungkin dipertanyakan kredibilitasnya oleh pejabat negara lain. Presiden Ke-3 RI (almarhum) B.J. Habibie, misalnya, ketika diwawancarai media asing, selalu berusaha menjawab dengan bahasa yang digunakan jurnalis media tersebut. ”Itu kan mengangkat harkat bangsa sebenarnya. Kami menghargai Anda karena tidak bisa menggunakan bahasa kami,” ujarnya.

Jadi, idealnya memang dalam forum internasional menggunakan bahasa yang diakui secara internasional. PBB sendiri menggunakan enam bahasa internasional yang tersedia dalam alat penerjemah mereka. Yakni, bahasa Inggris, Mandarin, Prancis, Arab, Rusia, dan Spanyol. ”Tapi, yang jelas tidak ada larangan dalam forum PBB untuk pidato menggunakan bahasa negara sendiri,” tegasnya.

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook