JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah dinilai perlu memberikan stimulus lebih bagi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Sebagai komoditas ekspor andalan, stimulus perlu diberikan kepada CPO, terutama saat nilai tukar rupiah melemah. Insentif juga diperlukan karena beberapa pasar tujuan ekspor CPO masih terganggu oleh berbagai hambatan.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan, peningkatan ekspor CPO bisa menjadi langkah ampuh untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. ’’Bisa jadi jalan pintas atau quick win. Tawaran solusinya adalah mengurangi pungutan ekspor untuk CPO dari 50 dolar AS untuk yang mentah dan 30 dolar AS untuk olahan menjadi 20 dolar AS per ton. Minyak sawit adalah penyumbang devisa nonmigas terbesar,’’ ujarnya, kemarin.
Menurut Bhima, meski andalan ekspor, beberapa waktu terakhir ekspor CPO mengalami gangguan. Sebagai contoh, ada pengenaan bea masuk di India. ’’Jika pungutan ekspor direlaksasi, daya dorong sawit diharapkan menekan defisit perdagangan dan kuatkan kurs rupiah. Nanti, ketika kondisi sudah mulai stabil, pungutan ekspor CPO bisa dikenai lagi,’’ katanya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sependapat bahwa pemerintah perlu mengambil langkah untuk mendorong ekspor CPO. Apalagi, saat ini produksi CPO berlebih. Menurut catatan Gapki, volume ekspor minyak sawit dan turunannya pada Agustus 2018 mencapai 3,3 juta ton. ’’Angka itu meningkat kalau dibandingkan dengan Juli 2018 yang tercatat 3,22 juta ton,’’ tutur Ketua Umum Gapki Joko Supriyono.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyebut, harga yang rendah dimanfaatkan importer untuk membeli minyak sawit dalam jumlah besar. ’’Permintaan pasar global yang tinggi terhadap minyak sawit belum mampu mengerek harga,’’ jelas Mukti.
Menurut dia, perselisihan dagang antara India dan AS memberikan peluang sawit untuk memasok minyak nabati pengganti dari minyak kedelai. Harga sawit global terus tertekan karena harga minyak nabati lain, khususnya kedelai, serta stok minyak sawit melimpah di Indonesia dan Malaysia.
Gapki mengungkapkan, tingginya ekspor produk minyak sawit dan implementasi kewajiban B20 belum mampu mengurangi penurunan stok minyak sawit secara signifikan di dalam negeri.
Di bagian lain, sesuai dengan prediksi, saat perang dagang antara Amerika dan Cina memanas, kedua negara akan sedikit melonggarkan aturan impornya. Indonesia mendapat imbas positif, khususnya terkait dengan ekspor produk hortikultura menuju Cina. Permintaan komoditas buah dan sayur Negara Panda tersebut kepada Indonesia meningkat.
Kementerian Pertanian mencatat, pada September 2018, ekspor buah Indonesia meningkat 24 persen jika dibandingkan pada periode yang sama 2017. ’’Untuk ekspor ke Tiongkok, sekarang memang ada pengawasan yang ketat dalam bentuk karantina buah-buahan. Tapi, ekspor ke Tiongkok membaik setelah dibuka lagi registrasinya,’’ ungkap Ketua Umum Asosiasi Eksporter Sayur dan Buah Indonesia (AESBI) Hasan Johnny Widjaja.
Sampai akhir tahun, ekspor buah Indonesia diperkirakan naik 9 persen kalau dibandingkan dengan tahun lalu. ’’Semoga produksinya 2018 ini meningkat. Karena pada 2016–2017 naik 7,1 persen,’’ tuturnya.(agf/c14/oki/jpg)