Sehingga dengan bagasi yang terlalu berat membuat beban pesawat berlebihan yang juga berdampak terhadap keselamatan dan ketepatan waktu penerbangan atau on time performance (OTP).
“Terakhir ya tentunya komersial, dengan semakin banyak muatan fuel yang dibakar semakin banyak, sehingga margin bisa minus,” urai Ari.
INACA pun berharap agar regulator benar-benar memperhitungan beberapa faktor tersebut sehingga tidak merugikan maskapai LCC dan akhirnya justru bangkrut. VP Cargo & Ancillary Revenue Citilink Indonesia Harismawan Wahyudi mengatakan pihaknya masih mempertimbangkan secara internal tentang penerapan bagasi berbayar tersebut.
“Citilink tengah mempertimbangkannya secara internal ya,” ujarnya.
Sementara Pengamat Penerbangan Arista Atmadjati menambahkan saat ini diterapkannya bagasi berbayar memang belum tepat. “Baru saja masyarakat komplain tiket pesawat mahal lalu selang seminggu bagasi berbayar. Tekanan kepada masyarakat tinggi jadi heavy cost,” katanya.
Sehingga, memang diperlukan penundaan untuk penerapan bagasi berbayar. Selain itu, menurutnya perhitungan bagasi berbayar dengan memperhitungkan berat dan waktu tempuh penerbangan dinilai terlalu mahal.
“Sehingga kadang-kadang bagasinya lebih mahal daripada tiketnya,” ujar Arista.
Meski demikian, dia sebenarnya setuju dengan penerapan bagasi berbayar asalkan dengan tarif yang rasional. Sebab, di beberapa negara seperti AS pun juga menerapkan bagasi berbayar untuk penerbangan domestik dengan biaya rasional.(vir/lyn/jpg)