PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Doktor PETI. Begitu ia dijuluki oleh Direktur Pascasarjana Unri, Prof Zulkarnain. Bukan karena ia memiliki banyak peti, namun karena disertasi S3-nya mengangkat masalah PETI. Singkatan tersebut dibuatnya sendiri. Kepanjangannya adalah Penambangan Emas Tanpa Izin.
Ya, fenomena itu sejak beberapa tahun terakhir sangat membuat Nopriadi merasa teriris. Bagaimana tidak, kegiatan pertambangan tersebut nyatanya membawa dampak buruk bagi lingkungan kampung halamannya, Kabupaten Kuantan Singingi.
‘’Setiap pulang kampung saya merasa resah melihat kondisi air sungai yang mengeruh, lahan pertanian dan lahan perkebunan yang luluh lantah akibat kegiatan penambangan emas ilegal tersebut.
Sebagai lulusan kesehatan masyarakat dan penduduk Kuansing, saya merasa harus melakukan sesuatu untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,’’ papar pria yang telah menerbitkan enam buku ini.
Berangkat dari hal tersebut, ia melakukan kajian PETI terhadap pencemaran air sungai, sosial ekonomi dan kesehatan pekerja di Kabupaten Kuantan Singingi.
19 titik sampel air sungai diambil. Hasilnya, keseluruh titik tersebut memiliki kandungan kekeruhan air yang diambang batas.
Bukan hanya itu, air sungai yang menjadi korban kegiatan PETI juga mengandung air raksa yang membahayakan bagi manusia yang mengkonsumsi maupun melakukan kontak fisik dalam jangka panjang.
Kandungan air raksa tersebut juga membuat satwa yang hidup diperairan sungai memiliki kandungan air raksa yang lebih tinggi. Sehingga sangat berbahaya jika dikonsumsi.
‘’Akibatnya, nelayan yang hidup di pesisir sungai mengalami penurunan hasil tangkapan yang signifikan. Ikan-ikan banyak yang mati.
Bahkan saat ini stok ikan di wilayah tersebut harus didatangkan dari Kampar dan Sumbar. Pasalnya ya karena stok lokal sudah menyusut jauh akibat sungai yang tercemar,’’ lanjutnya.
Selain mengkaji masalah pencemaran air sungai, ia juga mengkaji dampak sosial ekonomi dari kegiatan itu.
Memang, semenjak keberadaan PETI, masyarakat bisa menemukan lahan penghasilan baru.
Mereka yang biasanya mengandalkan karet yang kini harga jualnya sangat rendah, memilih menjadi pekerja kasar di PETI. Dibandingkan saat mereka bertani karet dengan menjadi pekerja PETI, peningkatan penghasilan terjadi sekitar tiga kali lipat.
Jika sebelumnya hanya bisa mendapat sekitar Rp2 juta per bulan, setelah bekerja di PETI, penghasilan mereka menjadi sekitar Rp6 juta.
Angka itu jelas sangat menggiurkan. Di awal PETI muncul, pekerja penambangan rata-rata dibawa oleh pemilik modal dari Jawa.
Namun seiring berjalannya waktu, jumlah PETI di aliran sungai menjamur. Sehingga penduduk lokal diberdayakan sebagai pekerja.
‘’Di awal memang pekerja PETI dibawa dari Jawa, namun karena harga karet turun dan lain sebagainya, penduduk lokal pun tertarik untuk menjadi pekerja PETI dan meninggalkan kegiatan pertanian yang mereka geluti sebelumnya,’’ ujar dosen tetap di FK dan FKM Unand Padang ini kepada Riau Pos.
Di balik keuntungan rupiah yang dirasakan masyarakat pekerja PETI, masyarakat tempatan yang tak bekerja pada PETI justru menelan pil pahit.
Air sungai yang sebelumnya bisa mereka gunakan untuk minum dan memasak, kini tak bisa lagi memanfaatkan air tersebut. Bahkan, untuk keperluan air bersih, mereka harus mengeluarkan uang.
Ini tentu sangat memberatkan dalam hal ekonomi. Sedangkan kajiannya mengenai kesehatan pekerja PETI, hasilnya cukup mencengangkan.
Berbagai keluhan dirasakan oleh penambang lokal yang rata-rata baru bekerja selama 2 tahun tersebut.
Mulai dari gatal gatal, lemas, gangguan pendengaran, nyeri dada, gemetar bahkan mereka merasakan gejala depresi dan mudah marah. Hal tersebut terjadi karena mereka tak mengenakan alat keselamatan selama bekerja.
Dikatakan oleh Wakil Ketua Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (A2K3) Provinsi Riau ini, pekerja cenderung tak tahu dan tak peduli mengenai keselamatan mereka saat bekerja.
‘’Dari hasil penelitian saya, sebagian besar pekerja tak menggunakan alat safety seperti sarung tangan, sepatu, penutup telinga untuk melindungi telinga daru suara mesin yang kencang, helm dan lainnya. Sehingga kontak langsung dengan air keruh tercemar tak terhindari lagi,’’ paparnya.
Dari penelitian tersebut, doktor PETI ini membuat beberapa solusi yang bisa dilakukan agar pencemaran dan pengrusakan akibat peti bisa dihentikan.
Adapun solusi tersebut ialah, perlu ada komitmen bersama dan kebijakan Pemda untuk menertibkan menghentikan PETI melalui mengaktifkan kembali Tim Terpadu penertiban PETI yang dulu sempat aktif. Atau bisa membuat forum peduli PETI.
Pemerintah perlu mengalokasikan dana operasional yang dititipkan melalui anggaran BLH kabupaten. Satgas juga perlu disiapkan.
Program harus dibuat dan dievaluasi. Solusi lain adalah diseminasi informasi. Sehingga info pencemaran ini semakin diketahui oleh berbagai pihak dan semakin banyak pula yang peduli.
Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan pemilik PETI oleh Tim Terpadu Penertiban PETI juga harus dilakukan secara rutin.
Kerja sama dan koordinasi juga harus dilakukan bupati dan SKPD setempat dalam hal menangani aktivias PETI.
Jika Pemda tak mampu, bantuan dari pemerintah pusat dinilainya berhak didapat. Baik dari kementrian maupun aparat.
‘’Aparat keamanan diharapkan bisa turut andil dalam menertibkan PETI ini. Dari hasil penelitian saya ada oknum aparat yang mem-backing kegiatan tersebut dan melakukan pemungutan liar,’’ paparnya.
Tawaran solusi lain adalah penertiban harus dilakukan secara bertahap. Pemerintaha juga diminta menegakkan hukum terhadap pemilik PETI, aparat penjamin PETI dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Sehingga tak ada lagi PETI yang masih buka karena memiliki backing yang kuat. Adapun solusi yang paling dianggap penting oleh Nopriadi ialah pengendalian sosial.(rnl)