PERBUKUAN RIAU

Ihwal Buku Celana Tak Berpisak

Advertorial | Minggu, 24 Maret 2019 - 11:04 WIB

Ihwal Buku Celana Tak Berpisak
Penulis buku Celana Tak Berpisak Griven foto bersama dengan peserta diskusi.

Buku Celana Tak Berpisak (Percikan Pemikiran tentang Budaya, Melayu, Islam dan Keindonesiaan) yang ditulis Griven H Putera setebal 589+XII ini diterbitkan Penerbit  Meja Tamu, Sidoarjo Jawa Timur. Dicetak pertama kali pada Desember 2018 dan mengalami cetak ulang pada Januari 2019.

Laporan Fedli Aziz (Pekanbaru)

BUKU yang ditulis dalam rentang waktu sekitar 14 tahun (2004 hingga 2018) ini mendapat berbagai tanggapan dan apresiasi dari berbagai kalangan, mulai para akademisi, insan jurnalis, agamawan hingga masyarakat grass root, tidak saja di Riau bahkan di luar Riau.

Muhammad Amin MS, sastrawan/ Wapemred Riau Pos misalnya menyatakan bahwa: "... Celana Tak Berpisak hanya satu dari puluhan esai yang ditulis dalam buku ini. Kumpulan esai ini memiliki tema yang beragam, mulai budaya, Melayu, keislaman hingga keindonesiaan. Ditulis dari rentang waktu 2004 hingga 2018 membuat tulisan dalam buku ini sangat kompleks." (Riau Pos, 20 Januari 2019).

Tak lama berselang, Riki Utomi, sastrawan/ pendidik menyatakan pula dalam esainya bahwa: "...Membaca sehimpun tulisan dalam Celana Tak Berpisak karya penulis produktif (novelis, cerpenis, esais, kolumnis), Griven H Putera ini dirasa sebagai membaca tanda-tanda. Sebagai penulis produktif, Griven tidak pernah alfa mengungkap hal-hal apa saja, lalu meramunya menjadi tulisan yang memikat, sekaligus penuh daya gugah." (Riau Pos, 17 Februari 2019).

Pada 25 Februari 2019, buku ini diberi penghargaan untuk dibedah oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru. Ruang seminar lantai 2 FIB. Junaidi yang dikenal sebagai Budayawan dan Wakil Rektor I Unilak sebagai salah-seorang pembicara juga mengapresiasi positif: "...Konsistensi Griven untuk tetap terus menulis, sekali lagi patut diberikan apresiasi dan dicontoh. Tidak banyak orang mampu mempertahankan "hobi" menulis. Griven tetap menulis untuk mengungkapkan kerisauan, kegalauan, atau apapun yang dirasakannya. Griven tampaknya percaya gagasan dalam pikiran dituangkan secara positif  dalam tulisan dan diterbitkan agar orang banyak dapat membaca gagasannya itu," ungkapnya.

Di tempat yang sama, pembicara berikutnya Syaukani Alkarim, sastrawan Riau yang juga politisi ini pun menyatakan,  "... Soal Celana Tak Berpisak, ini soal celana metaforik. Dalam dunia Melayu, penyebutan-penyebutan semacam ini merupakan sesuatu yang umum. Dan kalau kita lihat dalam tulisan Celana Tak Berpisak ini sebetulnya, Griven ingin mengatakan dalam sebuah kalimat lain; tidak adakah anak-anak bangsa ini memiliki putra-putra yang jantan, yang memiliki keberanian untuk mengembalikan negara ini pada sebuah wilayah kehormatan seperti yang pernah ada, yang disampaikan oleh Sukarno."

Lebih lanjut Syaukani mengungkapkan bahwa Griven dalam menulis buku ini juga sedang melakukan tugasnya sebagai legiun sastra. Bahwa dia sedang merekam semua peristiwa, dan memang salah-satu tugas sastrawan adalah menjadi pencatat sejarah di garis depan dalam versi sastrawan, ungkap penyair Romantis Riau ini.

Sementara Abel Tasman, sastrawan yang cerpennya beberapa kali masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Harian Kompas pada kesempatan itu menyampaikan bahwa persoalan yang dibicarakan buku Celana Tak Berpisak ini adalah tentang marwah Riau yang sudah sehancur-hancurnya bila dilihat dari perlakuan semena-mena pusat terhadap Riau. Lebih lanjut Abel Tasman berkomentar  kepada hadirin yang mayoritas mahasiswa tersebut, bahwa di karya inilah tempatnya, medianya belajar marah. Marah tidak perlu kepada kawan tapi melalui tulisan supaya  jadi wacana di tengah masyarakat.

“Maaf, apa yang dilakukan Griven ini, untuk Riau masih terasa sangat  langka karena belum ada buku sejenis yang tebalnya menyamai buku ini. Apalagi dikumpulkan dalam rentang 14 tahun, yaitu 2004 hingga 2018. Soal konsistensi Griven menulis ini patut diapresiasi. Sebenarnya banyak di antara kita yang hebat menulis tapi tak bisa untuk konsisten seperti ini. Kelemahan buku ini tentu ada, yaitu pada beberapa tulisan, Griven terasa menggurui. Padahal sebuah tulisan yang baik biasanya terhindar dari kesan menggurui tersebut,” ungkap salah-seorang tokoh pendidikan Riau ini.   

Fatmawati Adnan, seorang Peneliti Balai Bahasa Riau mengungkapkan dalam kolom "Alenia" Riau Pos, Ahad 17/03/2019. Katanya, “Griven H Putera telah berupaya menggali kecerdasan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam keseharian orang Melayu, khususnya di kampungnya sendiri. Setidaknya ia telah memperkenalkan sebuah ungkapan lokal ke kancah nasional, bahkan mungkin internasional. Sebuah upaya mempertahankan warna sendiri di tengah-tengah kepungan gagasan global yang cendrung mengiring semua bangsa menjadi satu warna. Tahniah!”

Sementara Musa Ismail, sastrawan yang menetap di Bengkalis berpendapat, “Buku Celana Tak Berpisak yang ditulis sastrawan Griven H Putera (GHP), menurut saya, sungguh istimewa. Isinya bukan sekedar percikan pemikiran tentang Melayu, tetapi mengandung keranggian dari dunia ke-Melayu-an, suatu tamadun yang agung karena sentuhan Islam. Semua tulisannya tersaji dengan beragam gaya. Ada yang dibuka dengan tamsil. Ada juga yang dibuka dengan kisah singkat. Ada pula dengan kutipan-kutipan penting sebagai aksentuasi permasalahan yang dibahasnya. Disadari ataupun tidak, hal-hal tersebut merupakan suatu keistimewaan buku CTB ini di samping "kegurihan" bahasa penulisnya. GHP dalam CTB ini telah menghadirkan tulisan-tulisan singkat  dan dia berhasil memaparkan keluasan makna dengan ruang yang terbatas,” sebut Musa.

Sementara M Nasir Tahar, seorang kolumnis yang bermastautin di Batam Kepulauan Riau menyatakan bahwa, “Saya sempat mengamati Celana Tak Berpisak ini dari jauh sebelum mendapat kiriman dari penulisnya sebagai tanda persahabatan.

Agak tergesa-gesa bila langsung me-review buku setebal 560 halaman yang ditulis dalam rentang 14 tahun. Lagi pula, buku kumpulan esai berisi begitu banyak gagasan dalam interval waktu yang panjang adalah seperti membaca patahan – patahan mozaik dalam garis waktu dan lokus di mana penulis terlibat di dalamnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut Muhmammad Nasir Tahar mengatakan bahwa, di luar teks, kita juga perlu membaca pengembaraan spritual, pendewasaan intelektual, pemutakhiran diksi bercampur dengan suasana kebathinan dan faktor eksternal yang ikut memengaruhi ritma buku ini. Sebagaimana seorang penulis yang sarat pengalaman, bung Griven tentunya piawai dalam membolak – balik cara berpikir divergen (idea generation) untuk memproduksi hal-hal baru dan konvergen (idea analisis) untuk menganalisa problema kekinian.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook