“Dalam potongan tulisan berjudul Celana Tak Berpisak penulis mendambakan suasana kebaruan sekaligus pembaruan, demi melihat banyak hal tak selesai dari generasi pendahulu. Celana Tak Berpisak menjadi sebuah majas ironi, yang dalam Melayu melakonkan seorang pria yang maskulinitasnya merosot. Kebalikan dari Celana Tak Berpisak menjadi harga mati untuk kejantanan entitas Melayu. Berbeda misalnya bila kita mengamati standar maskulinitas dari Raja Louis XIV yang memakai stocking dan sepatu high heels, atau Kilt pakaian tradisional pria Skotlandia yang menyerupai rok mini,” ungkap Kolumnis yang amat menyukai filsafat ini.
“Bung Griven juga menegaskan inferioritasnya sebagai bangsa, yang saban waktu mendapat usikan dari jiran Malaysia. Ia menghadirkan spirit Bung Karno sebagai sosok yang tepat agar Indonesia tidak lagi dilihat sebelah mata. Bung Griven oke punya!” Demikian ungkap Muhammad Nasir Tahar.
Sementara Umar Zein, sastrawan doktor yang dokter dari Universitas Islam Sumatera Utara menyatakan bahwa membaca buku Celana Tak Berpisak ibarat menikmati secangkir kopi yang dibuat oleh peramu kopi. Ide, bahasa, diksi, alir sastra meliuk dalam arus tema budaya, religi, dan kebangsaan mem bentuk tulisan ibarat bubuk kopi, gula dan air yang lebur dalam cangkir. Kemudian diaduk di dalam cangkir Celana Tak Berpisak.
“Kemelayuan dan keislaman kental mengalir dalam bab-bab buku ini. Kritik santun kepada masyarakat Melayu Riau serta Pemerintah kurasa layak ditulis, tentu dengan niat baik seorang Griven. Menukilkan beberapa tokoh sastrawan, penyair, ustaz, bahkan Rasul tentu saja seiring dengan tema buku. Pergumulan tema dipercik pula dengan sekelumit hikayat daerah yang sudah nyaris tak terbaca oleh generasi mileneal,” ungkapnya.
Terlepas dari semua yang disampaikan para penikmat buku Celana Tak Berpisak di atas, yang jelas buku ini telah menjadi satu tapak tamadun yang agaknya patut untuk dikenang dan diikuti jejak langkahnya oleh masyarakat Riau khususnya, dan Indonesia umumnya pada masa kini dan akan datang. Dan sejatinya menjadi bahan penting untuk dijadikan rujukan para pemegang kebijakan dalam menentukan arah pembangunan agar kita di masa depan selalu duduk memegang tuah, tegak menjunjung Marwah.***