DR FATMAWATI SPPK LABORATORIUM RS AWAL BROS PEKANBARU

Mutasi Virus Penyebab Covid-19, Apa yang Harus Kita Ketahui? Bagian ke-2 (habis)

Advertorial | Minggu, 09 Mei 2021 - 10:20 WIB

Mutasi Virus Penyebab Covid-19, Apa yang Harus Kita Ketahui? Bagian ke-2 (habis)
Dr Fatmawati SpPK (LABORATORIUM RS AWAL BROS PEKANBARU)

Penyakit Covid-19 pertama kali ditemukan di provinsi Wuhan, China dan sekarang telah menginfeksi lebih dari 200 negara di seluruh dunia sehingga akhirnya dideklarasikan sebagai pandemi.

Sampai hari ini, jumlah populasi yang terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia sebesar 151.161.947 kasus dengan angka kematian sebesar 3.179.961 kasus. Di Indonesia sendiri, sejak diumumkannya pasien pertama Covid-19 pada bulan Maret 2020, per tanggal 30 April 2020 terdapat 1,66 juta kasus Covid-19 dengan 45.334 pasien meninggal. Kasus Covid-19 di Provinsi Riau sendiri juga belum ada tanda-tanda penurunan dengan total kasus sebesar 43.765 kasus dengan 997 pasien meninggal. Adapun varian virus yang dikenal banyak memiliki mutasi sehingga sehingga berperan dalam perjalanan infeksi Covid-19 adalah sebagai berikut:

1. Di Inggris, ditemukan varian SARS-CoV-2 yang dikenal sebagai 20I/501Y.V1, VOC 202012/01, atau varian B.1.1.7.

Varian ini cukup penting karena memiliki sejumlah besar mutasi pada genomnya. Varian ini telah dideteksi pada beberapa negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat. Varian ini dilaporkan ditemukan di Amerika Serikat pada akhir Desember 2020. Varian B.1.1.7 itu bermakna secara klinis karena varian ini memiliki mutasi pada gen S yang mengkode receptor binding domain (RBD) dari protein S, yang dikenal dengan mutasi N501Y. Mutasi yang terjadi adalah berupa penggantian asam amino asparagin (N) dengan tyrosine (Y) pada posisi 501. Varian ini juga memiliki sejumlah mutasi lain seperti delesi 69/70 yang dapat terjadi berulangkali dan menimbulkan perubahan pada protein S. Selain itu juga dilaporkan mutasi P681H, yang juga dapat terjadi berulangkali secara spontan selama masa hidup virus. Pada bulan Januari 2021, peneliti dari Inggris melaporkan kemungkinan varian B.1.1.7 lebih banyak menimbulkan kematian dibandingkan varian SARS-CoV-2, namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. Varian ini juga dilaporkan lebih mudah menyebar dalam waktu singkat (sangat menular), namun belum ada laporan terkait pengaruh mutasi ini terhadap keparahan penyakit atau terhadap efektifitas vaksin.

2. Di Afrika Selatan ditemukan varian lain SARS-CoV-2 yang dikenal dengan nama 20H/501Y.V2 atau varian B.1.351. Varian ini juga memperlihatkan sejumlah mutasi yang menyerupai mutasi pada varian B.1.1.7. Varian ini telah dilaporkan juga pada sejumlah negara di luar Afrika Selatan. Varian ini dilaporkan ditemukan di Amerika Serikat pada akhir Januari 2021. Varian ini memiliki beberapa mutasi pada protein spike (S) yaitu mutasi K417N, E484K, dan mutasi N501Y. Tidak seperti varian B.1.1.7 yang terdeteksi di Inggris, varian ini tidak memiliki mutasi berupa delesi 69/70. Varian ini ditemukan pertama kali di Nelson Mandela Bay, Afrika Selatan dan sekarang telah terdeteksi di luar Afrika Selatan termasuk di Amerika Serikat. Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan pengaruh mutasi pada varian ini terhadap progresifitas penyakit. Namun ditemukan beberapa bukti yang menunjukkan mutasi E484K pada gen yang mengkode protein S dapat mempengaruhi antibodi netralisasi poliklonal dan monoclonal baik yang didapat dari infeksi alamiah, obat, plasma konvalesen ataupun dari vaksin.

3. Di Brazil ditemukan varian SARS-CoV-2 yang dikenal dengan varian P.1 (a.k.a. 20J/501Y.V3). Varian ini termasuk kelompok jalur B.1.1.28. yang pertama kali ditemukan pada 4 pelaku perjalanan dari Brazil yang di tes dengan uji skrining rutin di Bandara Haneda Tokyo, Jepang. Varian ini terdeteksi di Amerika Serikat pada akhir Januari 2021. Varian ini memiliki 17 macam mutasi yang cukup unik, dimana mutasi juga terjadi pada gen yang mengkode receptor binding domain (RBD) dari protein S. Tiga mutasi yang terdapat pada gen yang mengkode RBD protein S adalah mutasi K417T, E484K dan mutasi N501Y. Receptor Binding Domain (RBD) merupakan bagian protein S yang berikatan langsung dengan reseptor di permukaan sel manusia, Mutasi yang terjadi pada varian P.1 ini dilaporkan mempengaruhi kemampuan penularan/penyebaran virus. Mutasi ini diduga meningkatkan transmisi antar manusia sampai dengan 70 persen. Mutasi ini juga dapat mempengaruhi kemampuan tubuh manusia dalam membentuk antibodi baik melalui infeksi alamiah ataupun vaksin. Salah satu bahaya mutasi pada varian ini adalah sifat virus yang sangat infeksius, mudah menular dan berpotensi menimbulkan terjadinya re-infeksi pada penyintas Covid-19. Namun begitu, mutasi ini belum terbukti lebih berbahaya atau atau lebih ganas dan mematikan. Demikian juga, mutasi ini belum terbukti memengaruhi efektivitas vaksin corona yang telah ada

4. Mutasi lain yang dilaporkan dan berhasil ditemukan pada penderita Covid-19 yang juga terjadi pada protein spike (S) antara lain mutasi D614G, mutasi A222V, Y453F, del69_70, dan I692V dan lain sebagainya.

Beberapa mutasi pada varian virus corona lain secara kontiniu juga diobservasi untuk melihat apakah mutasi yang terjadi menimbulkan perubahan sifat/perangai virus yang membahayakan terhadap perkembangan penyebaran virus ataupun efektifitas terapi dan vaksin.

Mutasi virus Corona di Indonesia
Data WGS SARS-CoV-2 dari Indonesia yang dipublikasi di GISAID masih sangat minim yaitu hanya 110 genom dibandingkan 92.090 genom SARS-CoV-2 dari seluruh dunia. Hal ini disebabkan karena di Indonesia belum banyak laboratorium yang memiliki kemampuan melakukan uji sekuensing untuk mendeteksi mutasi virus Corona. Beberapa laboratorium yang dapat melakukan pengujian mutasi virus Corona di Indonesia antara lain Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, laboratorium FK-KMK UGM, Yogyakarta dan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Jakarta.

Saat ini sudah ditemukan beberapa mutasi di Indonesia seperti mutasi D614G, E484K dan mutasi pada varian B.1.617 dari India yang terdiri dari mutasi ganda E484Q dan L452R. Pada awal pandemik, berdasarkan database SARS-CoV-2 Internasional GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data), virus SARS-CoV-2 di Indonesia didominasi oleh golongan L tanpa mutasi D614G. Menariknya sampai akhir November 2020, saat ini ada 110 genom virus SARS-CoV-2 dari Indonesia di database GISAID, virus SARS-CoV-2 dengan mutasi D614G sudah mendominasi. Ada 65 (59%) dari 110 virus dari Indonesia tersebut mengandung mutasi D614G. Mutasi D614G berlokasi pada gen yang mengkode sintesis protein S virus. Mutasi D614G mengubah protein S menjadi lebih longgar strukturnya sehingga lebih mudah berikatan dan menyatu dengan sel pernapasan manusia. Mutasi D614G mempunyai dampak yang serius. Virus Corona mutasi ini memiliki daya infeksi 10 kali lipat pada sel kultur, varian virus ini lebih bertahan di tubuh manusia, dan varian ini menyebar 56% lebih cepat antar manusia. Mutasi D614G juga menyebabkan jumlah virus Corona (viral load) yang tinggi pada penderita Covid-19. Mutasi D614G pertama kali dideteksi di Indonesia pada awal April 2020 di Surabaya, Jawa Timur. Virus jenis ini juga terdeteksi di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Bali. Pokja Genetik FK-KMK UGM dan tim telah berhasil mengidentifikasi Whole Genome Sequencing (WGS) empat isolat dari Yogyakarta dan Jawa Tengah dan telah dipublikasikan di GISAID; sebanyak 9 dari 24 isolat yang dipublikasi di GISAID mengandung mutasi D614G. Sepertiga dari jumlah kasus mutasi D614G ini terdeteksi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Selain itu, varian B.1.1.7 juga sudah ditemukan di Indonesia. Varian ini lebih cepat menular, tetapi WHO belum mendapatkan laporan bukti bahwa virus mutasi ini lebih tinggi tingkat keganasannya. Penelitian di negara lain terhadap varian B.1.1.7 menyebutkan varian ini lebih cepat menular namun tidak lebih mematikan. Adapun keempat varian virus B.1.1.7 ini telah ditemukan di 4 provinsi yaitu di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Meskipun data dari Indonesia ini masih jauh dari ideal dibandingkan data dunia, namun data ini cukup memberikan kontribusi untuk kepentingan informasi data persebaran virus di populasi (epidemiologi), untuk pengembangan vaksin dan atau terapi Covid-19 di dunia, khususnya di Indonesia. Dengan fakta terdeteksinya virus SARS-CoV-2 dengan berbagai mutasi di Indonesia ini sudah seharusnya membuat semua pihak lebih disiplin untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti cuci tangan, menggunakan masker, hindari kerumunan, dan lain sebagainya.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook