Tanam Jelutung di Bukitbatu

Teknologi | Minggu, 29 April 2012 - 07:22 WIB

Tanam Jelutung di Bukitbatu
Peneliti dari LSM Askul Jepang sedang mengambil dokumentasi tanaman Jelutung di lahan perekebunan masyarakat, di SM Bukit Batu (kiri). Dyera costulata (jelutung) adalah tanaman endemis di wilayah Sumatera. Pohon ini bisa memiliki ketinggian hingga 60 meter dengan diameter lebih 2 meter. (Foto: istimewa)

Laporan, MASHURI KURNIAWAN, Bukit Batu

Getah tanaman rawa hutan tropis ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan ban, pernis, dan barang kerajinan lainnya. Tidak kalah penting lagi, tanaman ini bermanfaat sebagai penutupan lahan rawa  dan bisa menyumbang penyerapan karbon. Artinya, tanaman yang disebut Jelutung  bisa mengurangi pemanasan global.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Upaya itulah yang menjadi dasar Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) melakukan penanaman kembali jelutung di Suaka Margasatwa Bukit Batu, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Dibantu Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) Temiang, PILI menanami lahan rawa yang rusak karena aktivitas penebangan liar beberapa tahun silam.

Sebanyak 5.000 batang sudah di tanam. Penanaman pohon dengan nama latin Dyera costulata  itu dilakukan juga di lokasi kebun masyarakat. Dengan tujuan memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat sekitar SM Bukit Batu. Karena, getah dan batangnya memiliki nilai ekonomis tinggi. Tanaman itu juga mampu mengembalikan keseimbangan alam yang sudah rusak di lahan rawa tersebut.

Dalam penanaman jelutung PILI juga dibantu LSM Jepang Askul, Sinar Mas Grup dalam hal ini APP dan IKPP, serta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. Masyarakat disekitar lokasi SM Bukit Batu dibantu bibit jelutung berusia rata-rata 8-9 bulan.

Senin (23/4) lalu, Riau Pos memiliki kesempatan melihat secara langsung tanaman jelutung di lokasi perkebunan masyarakat. Dengan mempergunakan speedboat fiber berkapasitas delapan penumpang, Riau Pos bersama dengan rombongan LSM Jepang Askul, APP, IKPP, dan KMPH menyusuri Sungai Bukit Batu selebar lima meter.

Air sungai berwarna hitam, hutan mangrove, tanaman angau, dan pohon besar menjadi pemandangan disepanjang perjalanan menuju lokasi penanaman jelutung.  Pohon-pohon kayu sebesar pelukan dua orang dewasa masih tampak di sana-sini. Perjalanan dengan speedboat pada sore hari itu tidak berjalan mulus.

Pohon besar berukuran dua pelukan orang dewasa tumbang, sehingga menghalangi perjalanan rombongan saat itu. Riau Pos bersama rombongan harus menunggu bantuan dari masyarakat sekitar untuk menyingkirkan pohon tersebut. Dengan mempergunakan chainsaw masyarakat dan rombongan memotong satu persatu batang pohon. Selama 30 menit menunggu akhirnya, perjalanan dilanjutkan kembali.   

Daun dari pohon-pohon yang tumbuh berseberangan, bertemu di atas hingga dedaunan yang rimbun disepanjang sungai, secara alami membentuk pelindung. Suasana sejuk hutan rawa sangat terasa saat menyelusuri sungai itu. Setelah menempuh perjalanan selama 15 menit speedboat bersandar di tepian sungai, untuk melihat tanaman jelutung yang baru ditanam sejak Desember 2011 lalu.

Lokasi penanaman tersebut berlokasi di kebun masyarakat milik Sulaiman. Jelutung ditanam diantara pohon karet. Dengan jarak tanaman 2,5 meter satu batang pohon dengan lainnya. Daun jelutung terlihat mirip sekali dengan daun pule.

Dari Penuturan Penanggungjawab Penanaman Jelutung PILI, Iwan Setiawan, penanaman jelutung di tahun ini sebanyak 8.000 batang. PILI bekerjasama dengan KMPH Temiang melakukan pembenihan hingga penanaman jelutung. Masyarakat sekitar SM Bukit Batu, sambungnya, sangat terbantu dengan tanaman ini.

‘’Kita sudah tanam 5.000 batang jelutung. Daripada rawa terbuka tak memberi manfaat, kita tanami dengan tanaman jelutung ini. Getahnya memiliki nilai ekonomis tinggi dibandingkan pohon karet. Penutupan lahan rawa juga bisa menyumbang penyerapan karbon,’’ ungkapnya kepada Riau Pos

Perawatan Jelutung juga tidak susah karena penanamannya di lokasi alam terbuka. Hanya satiap bulan harus dilakukan penyiraman pupuk organik. Satu hektare lahan yang ditanam jelutung bisa menghasilkan lebih kurang Rp117 juta. Dipasaran harga getahnya bisa mencapai Rp20.000 per kilogram.   

Iwan menyebutkan, pohon jelutung bijinya berada dalam polong lonjong berwarna coklat. Pohon jelutung yang ditanam di lahan rawa diameternya bisa mencapai lebih dari 2 meter. Tinggi pohon jelutung bisa mencapai 40 meter.

Menurut dia, kawasan hutan SM Bukit Batu hingga kini sesungguhnya masih sangat menjanjikan. Bukan saja karena habitat yang dirasakan relatif masih nyaman bagi penghuninya. Namun, lokasinya juga dinilai spesifik dan unik. Dua kawasan suaka margasatwa yang berdampingan dalam satu hamparan, yang sepertinya merupakan bagian tak terpisahkan antara satu sama lain.

Juru Bicara LSM Jepang Askul yang juga Stakeholder Relation APP, Veronika A Renyaan, menyebutkan, kedatangan LSM Jepang ini ingin melihat secara langsung SM Bukit Batu yang oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkannya sebagai cagar biosfer. Selain itu, kedatangan Askul juga ingin melihat secara langsung penanaman yang sudah dilakukan PILI.

‘’Rombongan Askul ingin melihat hasil dari tanaman jelutung yang sudah dilakukan PILI. Karena PILI dam hal penanaman bekerjasama dengan Askul,’’ ujarnya.

Cagar biosfer disini didefinisikan sebagai ekosistem daratan, ekosistem pesisir atau laut maupun kombinasi lebih dari satu ekosistem, yang secara internasional diakui keberadaannya sebagai bagian dari progam MAB.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang secara keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.

Bagi Askul, PILI dan Sinar Mas Grup, sambungnya, sangat penting untuk melindungi SM SM Bukit Batu dari pembalakan liar. Sekaligus melindungi ratusan tasik (danau) dari kekeringan akibat terganggu proses hidrologi karena hilangnya hutan di sekitarnya. ‘’Makanya dilakukan penanaman jelutung sebagai bentuk penutupan hutan rawa yang berada di sekitar SM Bukit Batu,’’ pungkasnya.

Sementara itu Humas dan Media Relation PT IKPP, Ari menyampaikan, tanaman ini sering disebut permen karet karena getahnya bisa dijadikan bahan baku permen karet. Di Sumatera tanaman jelutung disebut labuai, di Semenanjung Melayu disebut ye-luu-tong, dan di Thailand disebut teen-peet-daeng. ‘’Tanaman jelutung adalah salah satu flora yang hidup di hutan rawa SM Bukit Batu,’’ ujarnya.

Selain sebagai bahan permen karet, getahnya juga bisa dimanfaatkan sebagai water proofing serta sebagai bahan isolator dan barang-barang kerajinan lainnya. ‘’Perusahaan sangat peduli dengan ekosistem di hutan itu,’’ ungkapnya.

Kecamatan Bukit Batu menyimpan kekayaan flora dan fauna. Berbagai jenis burung srindit, tekukur, pipit, elang, reptil, kera, monyet, rusa, babi, dan sebagainya dan semuanya bergantung hidup dari kesuburan dan kondisi ekosistem di kawasan SM Bukit Batu tersebut.

Data yang diperoleh BKSDA Riau, SM Bukit Batu memiliki luas 21.500 hektare. Pihak Sinar Mas Group yang memiliki konsesi hutan di kawasan itu dan melepaskan hak pengelolaannya seluas 72.255 hektare untuk melengkapi kawasan cagar biosfer ini.

Bagi Indonesia, penetapan Cagar Biosfer GSK-BB adalah yang ke-7 setelah penantian selama 28 tahun. Enam cagar biosfer sebelumnya yang ditetapkan UNESCO masing-masing: Cagar Biofer Cibodas di Jawa Barat, Tanjung Puting di Kalteng, Lore Lindu di Sulteng, dan Pulau Komodo di NTT telah ditetapkan UNESCO pada tahun 1977, sedangkan Cagar Biosfer Gunung Leuser di NAD dan Pulau Siberut di Sumbar telah ditetapkan sejak 1981.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook