JELAJAH DUNIA PARA PEMANGSA

Fenomena Elang Migran di Perairan Rupat

Teknologi | Minggu, 28 Oktober 2012 - 08:46 WIB

Fenomena Elang Migran di Perairan Rupat
Sikep Madu Asia (Foto: 4raptor.wordpress.com)

Sudah bertahun-tahun perairan Pulau Rupat menjadi pintu masuk ribuan ekor burung dari berbagai belahan dunia. Mereka bermigrasi untuk menghindari cuaca dingin di belahan timur dan utara bumi. Pulau terluar Provinsi Riau ini mendapat kehormatan menjadi daratan terdekat yang menjadi persinggahan mereka.

Laporan BUDDY SYAFWAN, Rupat

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dari kejauhan, formasi yang mereka bentuk tidak bergerombol layaknya lebah, tapi menyebar laksana pesawat tempur hendak menghunjam daratan. Sesekali, kepak sayapnya membuka, selanjutnya berputar dan melesat cepat menembus asap kelabu yang menghampar di atas samudera.

Sebuah pemandangan yang jelas tidak biasa. Karena, mereka bukan segerombolan burung-burung kecil sejenis layang-layang atau pelikan di daratan Indonesia yang sering menetap di satu pulau. Mereka adalah satwa pemangsa, para pemuncak piramida makanan dari berbagai penjuru dunia.

Siang itu,sejumlah kru dari Raptor Indonesia menyaksikan 50 individu raptor dalam formasi menyebar yang terbentuk di udara. Jenisnya sama, berupa sikep madu (Pernis ptilorhynchus), sejenis elang yang berasal dari pegunungan Siberia.

Burung-burung elang tersebut, sekilas dilihat menggunakan mata telanjang hanya berwarna coklat kehitaman. Apalagi siang itu, mereka terbang dengan ketinggian berkisar 100 meter di atas kepala.  Namun, bila dilihat lebih teliti menggunakan lensa para pengamat, baik binokuler dan monokuler, akan terlihat memiliki garis kecoklatan dengan bercak-bercak putih ini di bawah sayap.

‘’Kalau ukuran aslinya, per ekor tingginya mencapai 50 centimeter. Bila membuka kepakan sayap, maka lebarnya bisa mencapai satu meter lebih,’’ungkap Heri Tarmizi, Koordinator Raptor Indonesia simpul Riau.

Dalam posisinya yang demikian tinggi, memang tidak tergambar kalau mereka berukuran demikian besar. Namun, dalam bentuk aslinya, burung yang keberadaannya dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati ini bahkan bisa memiliki ukuran tubuh lebih besar. Apalagi bila berasal dari Siberia.

Pada proses migrasi kali ini, jumlah populasi sikep madu memang relatif lebih besar. Pada proses pengamatan pertama yang dilakukan oleh Raptor Indonesia— sebuah perkumpulan para pecinta burung-burung pemangsa— pada akhir Agustus hingga awal Oktober 2012 lalu, yang berhasil terpantau saja berkisar 1.050  ekor. Atau jumlah elang paling banyak yang melintas pada musim ini, selain elang alap jepang (161 individu), elang alap cina (29 individu), elang sikra (6 individu).

Namun, jumlah tersebut belum berarti final untuk seluruh populasi elang yang melintas di Pulau Rupat pada periode musim dingin (wintering area) kali ini. Karena, diperkirakan, jumlah populasi yang akan menyeberang bisa mencapai angka puluhan ribu individu. ‘’Puncak dari migrasi elang sendiri diperkirakan baru akan terjadi pertengahan Oktober hingga awal November 2012 yang akan akan datang,’’ ungkap dia.

Migrasi Tahunan

Proses awal penandaan terjadinya migrasi raptor sendiri sebenarnya sudah cukup lama diketahui oleh para peneliti di dunia. Karena, setiap tahunnya, proses perpindahan berlangsung secara rutin dari satu kawasan ke kawasan lain yang jarak tempuhnya cukup jauh.

Heri Tarmizi, Raptor Indonesia Simpul Riau menyebutkan, setiap tahun, ribuan raptor bermigrasi dari daerah berbiak mereka di kawasan Asia Utara melalui kawasan Asia Tenggara sebagian besar menuju kawasan Indonesia untuk menghabiskan musim dingin sebelum kembali ke daerah berbiak (breeding) mereka.

Di sekitaran Asia saja, ada sekitar 66 jenis raptor migrasi. Dari jumlah tersebut, data penelitian menyebutkan, sebanyak  19 jenis diantaranya tercatat melakukan rmigrasi baik dalam bentuk melintasi saja atau menetap sementara di wilayah pegunungan tinggi di Indonesia sebelum akhirnya kembali ke area berbiak mereka.

‘’Proses migrasi (wintering area) umumnya terjadi terhitung Agustus hingga November untuk wilayah Riau. Selanjutnya, pada periode Maret April terjadi proses migrasi pulang ke area pembiakan (breeding),’’ jelas Heri.

Sebelum migrasi para raptor terjadi, ada beberapa tanda yang bisa dijadikan petunjuk, seperti migrasi dalam jumlah besar beberapa jenis serangga seperti lebah serta burung-burung kecil.

Beberapa jenis dari burung-burung tersebut ada yang berasal dari jenis-jenis lokal, namun, ada juga yang memang berasal dari belahan-belahan bumi lainnya, termasuk Asia timur. Seperti halnya Hirundo rustica (layang-layang api). Raptor Indonesia sudah mendeteksi keberadaan burung-burung kecil migran tersebut semenjak awal Agustus 2012 lalu di sekitaran Mal Pekanbaru.

‘’Biasanya, pola migrasi burung-burung tersebut dimulai dari jenis mangsa. Salah satunya adalah jenis serangga. Adapun jenis raptor biasanya berada pada barisan paling belakang karena mereka juga mengikuti burung kecil yang biasanya juga menjadi mangsa mereka,’’ jelas Heri.

Selama berada di Pulau Rupat beberapa hari lalu, Heri juga menjelaskan, memang sudah banyak burung-burung kecil yang juga jenis migran yang turun ke bibir pantai untuk beristirahat atau mencari makan.

Diantara yang terpantau, menurut Heri adalah, dara laut tengkuk hitam, trinil pantai, ciung lampu, kirik-kirik laut termasuk layang-layang api.

Kondisi terbaru, ditambahkan Gilang, tim dari Raptor Indonesia di Rupat, dalam beberapa hari terakhir, populasinya terus bertambah dengan rata-rata per hari mencapai 200 an ekor.

Dari mana saja sebaran burung-burung tersebut? Heri menjelaskan dari banyak penjuru. Hanya saja, untuk raptor jenis elang yang melintas dan menetap sementara di wilayah Indonesia, biasanya berasal dari dua pintu masuk, yakni Rupat dan Sangihe.

Untuk jenis yang masuk melalui Rupat, dijelaskan Heri umumnya berasal dari Asia Timur seperti Mongolia, melintasi wilayah Cina, Thailand, Malaysia kemudian menyeberang ke Pulau Rupat selanjutnya menyebar di sepanjang pantai Sumatera hingga pulau Jawa seperti ke Bangka Belitung dan Puncak Paralayang di Jawa Barat.

Adapun untuk pintu masuk kedua, terletak di Sangihe, berasal dari Taiwan menyeberang ke Filipina dan berlanjut ke wilayah Kalimantan.  

Meski masih diteliti sejauh apa elang-elang migran tersebut memanfaatkan keberadaan Pulau Rupat sebagai tempat persinggahan (stop over), namun, Raptor Indonesia memperkirakan ada banyak populasi yang beristirahat di wilayah Rupat.

Elang terbang memanfaatkan kondisi cuaca/thermal. Kondisi udara normal sering dimanfaatkan oleh satwa dilidungi ini untuk melakukan proses migrasi dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Ketika kondisi udara tidak normal, seperti berasap, atau hujan dan berkabut disertai angin akan menyebabkan kesulitan bagi burung-burung pemangsa ini untuk sampai ke rute jelajah yang akan mereka lalui.

‘’Mereka juga bisa capek terbang. Ketika harus terbang melawan angin, biasanya, elang cenderung untuk menghindar. Karena itulah, dalam kasus badai di Filipina saat ini, berkemungkinan besar akan berpengaruh terhadap rute terbang elang migran. Bisa saja mereka masuk lewat Rupat. Hanya saja, untuk pemantauan terakhir, kondisi Bengkalis dan Rupat secara keseluruhan juga tidak terlalu normal karena kebakaran hutan dan lahan. Kami mencatat laporan BMKG sebanyak 43 titik api di Riau dan itu mempengaruhi rute jelajah elang migran. Bisa jadi juga mengapa saat ini, jumlah individu yang masuk juga belum terlalu banyak,’’ jelas Heri.

Informasi terakhir yang berhasil dihimpun Raptor Indonesia menyebutkan, sepekan terakhir, elang-elang migran dalam jumlah puluhan ribu ekor tersebut masih berada di wilayah Cina dan ribuan ekor lainnya telah berada di Thailand. Diperkirakan, untuk yang sudah berada di Thailand, pada pertengahan Oktober 2012 ini sudah masuk dan akan terus bergelombang hingga memasuki awal November dalam jumlah yang lebih besar.

Catatan Raptor Indonesia simpul Riau, setidaknya, puncak keramaian elang migran yang telah terpantau adalah pada 25 Oktober 2012 lalu, dimana total populasi yang terlihat berkisar 1.000 an ekor  dari beberapa jenis elang. ‘’Umumnya masih sikep madu asia (Pernis ptilorhincus) dan elang alap cina (Accipiter soloensis), selain jenis kirik-kirik laut,’’ timpal Gilang.

Tim Raptor Indonesia yang semula berada di daerah Teluk Rhu juga milai bergerak ke arah yang lebih jauh untuk bisa melihat lebih dekat pergerakan elang migran tersebut. ‘’Kami mengamati dari mercusuar Tanjung Jaya mas,’’ungkap Gilang saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Ekowisata

Siklus hidup burung-burung migran, khususnya jenis raptor menarik untuk dicermati. Bukan saja karena jumlah populasinya yang relatif besar, yakni mencapai puluhan ribu ekor, namun juga kecenderungan mereka memanfaatkan pergantian musim sebagai momen untuk kembang biak dan mencari kehidupan.

Sebuah penelitian T Yamazaki pada tahun 2010 lalu menyebutkan, dari total 66 spesies elang migran di wilayah Asia, sebagai 19 jenis diantaranya melakukan migrasi dan menetap di wilayah Indonesia hingga menjelang musim kembang biaknya.

Beberapa jenis yang rutin melakukan migrasi melintasi wilayah Pulau Rupat, diantaranya adalah jenis baza hitam (Aviceda leuphotes), sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), elangalap cina (Accipiter soloensis), elangalap nipon/Jepang (Accipiter gularis), elang kelabu (Butastur indicus) dan alap-alap kawah (Falco peregrinus).

‘’Hanya saja, saat melakukan penelitian awal Oktober lalu, jenis yang baru terpantau diantaranya jenis alap jepang, elang sikra dan sikep madu,’’ jelas Heri.

Jenis populasi ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan saat arus migrasi ke breeding area di Asia Timur yang spesies dan jumlahnya lebih besar seperti sikep madu, baza hitam, elang alap cina, elang klabu dan alap-alap kawah. ‘’Waktu itu kita mencatat tak kurang populasinya 4.517 ekor.

Banyaknya jumlah populasi burung-burung migran—tidak sebatas raptor— ternyata banyak sekali mendapat perhatian dari para pemerhati raptor. Bahkan, mereka mendirikan komunitas-komunitas pecinta burung untuk bisa melakukan pemantauan bersama terhadap populasi yang melakukan migrasi.

Di Thailand, para peneliti raptor berkumpul di Radar Hill, Chungpon dengan mengunakan peralatan-peralatan canggih yang bisa meneliti dengan sangat detail jenis dan kondisi raptor yang melintas. Bahkan, mereka juga bisa melakukan tracking terhadap populasi yang melintas sehingga membentuk jalur-jalur perlintasan rutin setiap tahunnya.

Di Malaysia, momen perlintasan para elang dunia ini juga ditandai dengan beberapa pesta dan helat sederhana yang mengundang para wisatawan untuk hadir menyaksikan satu bagian keajaiban alam tersebut. ‘’Para peneliti di Malaysia juga berkumpul di Tanjung Tuan guna memastikan terjaminnya kelangsungan hidup satwa dilindungi yang juga menjadi gambaran tetap terjaganya kelestarian alam itu. ‘’Disana juga ada kelompok studi, terdiri dari berbagai peneliti dari berbagai negara seperti Jepang, Korea, Thailand. Biasanya, mereka juga berkomunikasi dengan kita di Rupat untuk memastikan rute tempuh raptor tersebut.

Kerusakan Mengancam

Pulau Rupat merupakan kawasan perlintasan yang strategis untuk keberlangsungan hidup para predator tangguh seperti elang-elang migran ini. Posisinya yang berada di tengah pantai Sumatera, didukung kondisi udara yang relatif normal khasnya wilayah-wilayah tropis serta kondisi kawasan hutan yang masih cukup luas.

Dengan lebar sekitar 1.500 kilometer per segi, Pulau Rupat diharapkan bisa menjadi wilayah peristirahatan yang pas bagi para raptor antar negara ini. Secara resmi, belum ada penelitian yang bisa membuktikan apakah kawasan hutan di Pulau Rupat menjadi areal penting untuk proses stop over (peristirahatan) satwa dilidungi ini dan dimana titiknya.

Namun begitu, Rupat juga menjadi habitat hidup bagi sejumlah elang-elang lokal seperti elang hitam, elang laut termasuk bontok. Di kawasan yang saat ini masuk dalam kawasan kritis karena ancaman abrasi dan membukaan kawasan hutan ini, ada sejumlah populasi makhluk hidup yang juga ikut mendukung terjadinya proses migrasi selain sekedar tempat istirahat.

‘’karena itulah, kami meminta supaya pemerintah membuat pemetaan khusus terhadap kawasan Pulau Rupat supaya tidak terjadi kerusakan. Hasil laporan masyarakat, ada beberapa titik yng memang menjadi habitat istirahat elang migran, salah satunya di kawasan hutan bagian selatan Rupat. Tapi kita sendiri masih melakukan pemetaan untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Tapi kita berharap ada kebijakan yang bisa mendukung bertahannya Kawasan Ekosistem Esensial, dimana kawasan ini tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung berbasis kerakyatan,’’ jelas Heri.

Dengan menciptakan kawasan ekosistem esensial seperti itu, Heri berharap, kawasan hutan di Rupat tidak sampai rusak sehingga menghilangkan kemungkinan keberlangsungan proses alami para raptor melintasi kawasan Pulau Rupat.

‘’Kita belajar dari tahun 1997, dimana Riau diselimuti asap tebal, elang-elang ini tak melintas melewati wilayah Sumatera. Akibatnya, di salah satu provinsi terjadi gagal panen total karena membludaknya populasi hama perusak tanaman. Hama-hama tersebut biasanya menjadi santapan bagi elang-elang migran saat melintas. Tapi karena tertutup asap tebal, proses migrasi tidak terjadi di kawasan itu. Kita juga mengkhawatirkan, kerusakan hutan di Rupat juga berdampak pada hilangnya potensi ekologis dan kekayaan alam di wilayah Indonesia. Harus diingat, Rupat bukan sekedar perlintasan, tapi pintu masuk menuju pulau-pulau lain di Indonesia bahkan hingga Bali dan Nusa Tenggara,’’ ucapnya.

Penjelasan Heri itu juga dikhawatirkan Hendry Pramono, pengamat elang yang saat ini melakukan pemantauan di Tanjung Jaya, Rupat yang melihat kecenderungan terjadinya pergeseran terhadap rute lintasan elang migran. ‘’Memang belum ada data lengkapnya. Tapi, saya sempat melihat di beberapa titik di Rupat, ada kawasan yang mengalami alih fungsi dan itu mengkhawatirkan. Ada kecenderungan elang migran ini bakal bergeser ke daerah lain bila mana kawasan yang selama ini mereka singgahi berubah fungsi. Di sana ada hutan yang sibuka, tapi sudah menjadi kebun sawit, walau tidak semuanya seperti itu,’’ ungkap Mono.

Dari penelusuran yang dia lakukan, Mono menyebutkan, kawasan seperti Titi Akar,Sungai Simpur, Pulau Babi, Pulau Burung, kawasan hutan gambut dan mangrove, termasuk pulau-pulau dengan tutupan yang masih cukup terjaga tutupannya masih banyak dikunjungi oleh elang-elang migran tersebut. Namun, beberapa titik lainnya, sudah berkurang. ‘’Tapi kita belum bisa pastikan apakah masih belum tingginya populasi elang yang masuk sebagai dampak perubahan fungsi kawasan itu,’’jelasnya.

Mono sendiri memesankan pentingnya upaya mempertahankan Rupat sebagai pintu masuk. Karena itulah, dia berharap, para pihak, seperti BBKSDA, Dinas Kehutanan, Raptor Indonesia, melakukan advokasi untuk mempertahankan Rupat supaya tak rusak. ‘’Pintu masuk yang kita ketahui dan sudah terawasi itu kan baru di Rupat ini. Di Puncak itu side lama. Artinya, dengan terawasi semenjak awal, itu akan lebih mudah mempertahankan potensi yang dihasilkan oleh elang migran ini,’’ imbuhnya.

Dia sendiri melihat, perilaku dan kearifan lokal masyarakat di Pulau Rupat sebenarnya positif untuk mencegah terjadinya pergeseran fungsi kawasan termasuk hilangnya potensi elang migran. Bagi, masyarakat setempat, ada karifan lokal bahwa, kehdiran elang migran itu sebagai pertanda bahwa di Rupat ini potensi ikannya melimpah. Karenanya, ketika elang berkurang, artinya, ikan juga berkurang.

Selain itu, juga ada kearifan lokal bahwa menangkap elang migran itu akan menimbulkan kutungan penyakit. Karena mereka beranggapan elang itu adalah pemelihara. ‘’Meski tak banyak, namun, ada laporan masyarakat bahwa di sana sekarang juga sudah ada perburuan elang dilakukan oleh pihak luar. Kita harapkan, masalah seperti ini bisa disikapi secara arif sehingga tidak menghilangkan potensi besar yang dimiliki Rupat sebagai salah satu jalur utama perlintasan satwa antar benua ini,’’ harapnya.

30 Persen Lindung

Mempertahankan ekosistem lingkungan di Pulau Rupat merupakan syarat mutlak untuk keberlangsungan kawasan itu. Karena itulah, pemerintah Kabupaten Bengkalis, sebagaimana diungkapkan Kadis Kehutanan, Ismail, membuat proteksi, salah satunya dengan mempertahankan 30 persen kawasan lindung di areal yang sudah diterbitkan izin pemanfaatannya kepada industri untuk dipertahankan.

‘’Kalau ketentuannya kan 10 persen harus dipertahankan, tapi khusus Rupat, kita sudah sosialisasikan 30 persen. Itu cara kita mempertahankan kawasan yang diperkirakan menjadi tempat persinggahan baik elang migran maupun habitat hidup lainnya. Di sana potensi satwanya juga besar, jadi tak boleh di rusak,’’ ungkap Ismail.

Khusus elang migran, Ismail juga menjelaskan, ada program kerja bersama di Pemkab Bengkalis yang salah satunya ditujukan untuk mengembangkan potensi wisata dengan membuat sarana pemantauan kawasan pemantauan yang nantinya, setiap tahun bisa digunakan oleh para peneliti maupun wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri untuk mengawasi elang migran. ‘’Disana juga ada pusat pengembangan hutan bakau, jadi kita padukan denan potensi lainnya. Kalau tempat menginap, di sana sudah ada,’’ jelasnya.

Potensi elang migran sendiri, diakui Ismail, baru diketahui beberapa tahun terakhir, setelah beberapa kelompok pecinta lingkungan melakukan pemantauan di Rupat.

‘’Sebelumnya saya pikir jauh-jauh hari sudah ada, tapi kita tak mengetahuinya. Karena itulah, dengan informasi, hasil pemelitian, ini bisa dijadikan kawasan ekosistenm hayati yang kita pertahankan. BBKSDA juga sudah mengarahkan beberapa titik di Rupat sebagai kawasan esensial, yakni, kondisi alam yang dipertahankan untuk mengakomodir banyak peranan lingkungan yang sifatnya tidak akan di rusak, bahkan dilindungi, termasuk dari kerusakan akibat industri,’’ungkapnya.

‘’Artinya, walaupun ada industri HTI, mereka harus tunduk pada ketentuan.Tetap tak kita izinkan menebang apalagi merusak kawasan yang notabenenya adalah ekosistem terpadu  di sana,’’ jelas Ismail.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook