JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kerasnya kompetisi antar operator selular (opsel) membuat tarif data terus menukik atau semakin murah. Hal ini diamini oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam Selular Congres 2022 menyebut tarif internet di Indonesia paling murah di Asia Tenggara.
Dari 12 negara di Asia Tenggara, tarif internet Indonesia menduduki posisi paling buncit. Nilai rata-rata tarif internet di Indonesia yakni Rp6.028 per 1 Gigabyte (GB) dan Vietnam yang menduduki posisi ke-11 nilainya Rp7.030 per 1 GB.
Setelah itu, tarif internet 10 negara lainnya di Asia Tenggara harganya sudah lebih dari Rp11.000 per 1 GB. Tarif internet paling mahal yakni Brunei Darussalam yakni Rp32.014 per 1 GB.
Murahnya tarif internet di Indonesia secara psikologis memang menguntungkan konsumen karena lebih terjangkau. Namun hal ini tanpa disadari juga membuat kecepatan jaringan internet menjadi lambat dan mengancam ekosistem bisnis lainnya.
Dijelaskan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif, dengan karakteristik pelanggan layanan fixed broadband atau internet rumah di Indonesia yang lebih mengutamakan harga ketimbang kualitas, kondisi ini kemudian memicu perang tarif, seperti yang sudah lama terjadi di layanan seluler.
“Konsumen di Indonesia itu harga nomor satu, kualitas nomor dua. Jadi kenapa ada perang harga dan lain-lain, karena ada yang lebih murah Rp 20.000 saja pelanggan sudah goyang. Jadi bisa dibilang harga nomor satu,” kata Muhammad Arif dalam acara ‘Perang Tarif Internet: Mungkinkan Menular ke Penyedia Fixed Broadband?’, di Jakarta.
Indonesia memang merupakan pangsa pasar yang besar. Dari 250 juta lebih penduduk di Indonesia, jumlah pengguna internet di negeri ini pada 2022 menurut data APJII mencapai 210 juta orang.
Dari total pengguna itu, APJII mengungkapkan hanya 14,5 persen yang memiliki fasilitas fixed broadband. Sehingga potensi pelanggan di bisnis ini masih terbuka lebar. Dengan peluang pasar yang besar, maka persaingan diantara para penyedia layanan internet fixed broadband juga semakin ketat.
Misal, saat ini terdapat sejumlah pemain utama. Seperti IndiHome, First Media, Biznet, MyRepublic, MNC Play, CBN, Link Net, dan Oxygen.
Operator selular juga punya layanan sejenis, seperti XL Home (XL Axiata) dan HiFi (Indosat Ooredoo Hutchison). PLN juga sudah menyatakan terjun ke bisnis ini dengan bendera Iconnet. Belakangan, demi memperkuat fondasi bisnis ini, XL Axiata mengakuisisi First Media dari Lippo Group.
Arif melanjutkan, kompetisi layanan fixed broadband saat ini juga sudah semakin ketat, bahkan telah meluas ke luar pulau Jawa dengan semakin banyaknya peralihan aktivitas masyarakat dari offline ke online, seiring penerapan pola kerja hybrid.
Dari sisi bisnis, agar sama-sama menguntungkan, pemerintah diminta terlibat misalnya terkait penerapan tarif. Meski harus affordable, tidak berarti harus murah, namun harus terjangkau oleh masyarakat.
Jika terlalu murah namun tidak wajar, maka selintas bagus untuk konsumen. Namun itu hanya bersifat jangka pendek, karena jangka panjangnya operator terancam bangkrut.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno dalam kesempatan yang sama menyebut untuk fixed broadband jaringannya terbuka dan saling terhubung yang membuat pelanggan cendrung bakal survei dahulu mulai ada tidaknya jaringannya hingga kualitasnya sebelum memutuskan berlangganan.
Jika sudah berlangganan maka akan sangat sulit untuk beralih ke produk lainnya. Untuk menjaga para pelanggannya, penyedia layanan internet fixed broadband dikatakan harus senantiasa kreatif.
“Misalnya menjaga kualitasnya serta menawarkan paket bundling dengan berbagai layanan streaming untuk menjaga pelanggan maupun menggaet pelanggan baru,” tandasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra