Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru
Bertani tanah, itu hal yang bisa dianalogikan untuk proses memproduktifkan kembali tanah hasil dari eksploitasi perminyakan dengan cara bioremediasi. Tanah yang terkontaminasi tumpahan minyak diolah hingga kembali ke kondisi mendekati semula.
Lahan milik PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Minas itu terlihat hijau. Selain semak belukar, pohon pisang, juga kacang-kacangan dan akasia, ada banyak jenis tanaman tumbuh di atas lahan yang diperkirakan seluas dua hektare itu.
Lahan tersebut adalah venue terakhir dari peninjauan sejumlah pakar bioremediasi dan kalangan wartawan di kawasan yang masih terpampang tulisan ‘’Berbahaya: Lokasi Tanah Hasil Bioremediasi. Dilarang Memanfaatkan/mengolah Tanah di Lokasi ini’’.
Bukan tanpa alasan menunjukkan posisi lahan tersebut. Karena itu adalah bagian dari proses pemurnian lahan dari proyek bioremediasi yang dilaksanakan perusahaan tersebut. ‘’Walaupun secara teknis, lahan itu telah lulus proses remediasi di Soil Bioremediation Facility (SBF), namun lahan itu belum tentu aman dan layak untuk dimanfaatkan untuk keperluan hidup manusia atau ternak. Perlu dua tahun setelah perusahaan memindahkan tanah hasil pengolahan bioremediasi ini dianggap layak untuk dikembalikan ke fungsi awalnya atau tidak. Jadi, walau sudah ada yang tumbuh, bukan berarti sudah aman. Masih ada kandungan minyak atau logam berat hasil penambangan minyak yang bisa jadi berbahaya bagi kelangsungan makhluk hidup,’’ sebut Prof M Udiharto, pakar Bioremediasi yang juga Peneliti Lembaga Migas.
Udi menjelaskan, ada banyak zat yang mengkontaminasi tanah di lahan penambangan minyak. Selain cairan minyak, juga ada logam berat dan senyawa lainnya. Udi juga menjelaskan bagaimana dia pernah melakukan uji coba menanam jagung di tanah eks bioremediasi, dimana di tanaman tersebut ternyata masih menyerap unsur minyak. ‘’Kita belum tahu apakah itu berbahaya atau tidak, karena belum ada penelitian khusus untuk itu. Tapi kecenderungan tanaman tetap menyerap minyak, pastinya memberikan implikasi terhadap kelangsungan hidup tanaman itu, termasuk pihak yang mengkonsumsinya.”
Bioremediasi, Bertani Tanah
Apa itu Bioremediasi? Sejauh ini, banyak di antara kita yang belum paham. Beberapa waktu belakangan, proyek yang salah satunya dilaksanakan oleh CPI ini sedang menjadi sorotan oleh pihak Kejaksaan Agung. Namun seperti apa kegiatan tersebut, dan apa implikasinya terhadap lahan dan makhluk hidup, coba ditelusuri oleh Riau Pos.
Masyarakat Riau mungkin termasuk yang paling beruntung, karena menjadi salah satu kawasan percontohan awal pelaksanaan proyek Bioremediasi yang diprakarsai oleh CPI.
Bioremediasi sendiri adalah sebuah proses menggunakan mikro organisme atau enzim-enzim untuk meremediasi limbah secara selamat. Salah satunya bisa dilakukan terhadap penguraian minyak mentah melalui proses bakterisasi sehingga bisa menyelamatkan kondisi tanah dan air. Bakteri-bakteri itu secara alamiah akan memakan bahan-bahan kimia termasuk kandungan minyak yang ada di dalam tanah dan mengubahnya menjadi air dan gas. Sehingga tidak lagi berbahaya bila dimanfaatkan kembali oleh makhluk hidup.
Selama ini, memang belum ada temuan bahwa tanah eks eksplorasi minyak berbahaya terhadap lingkungan. Namun ketentuan pemerintah yang mengharuskan melakukan pemurnian kembali lahan eks pertambangan mengharuskan seluruh dunia usaha untuk patuh.
‘’Dulu, mungkin, untuk membuat jalan pun bisa disiram minyak. Tapi, tidak semenjak tahun 1994 lalu. Karena itulah, beberapa pihak, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, IPB termasuk CPI berupaya mencari alternatif untuk mengelola lahan tercemar limbah minyak. Hingga kemudian untuk wilayah Riau, CPI menggunakan pola Ex Situ (proses bioremediasi dengan memindahkan tanah dari lokasi awalnya). Saat ini, kami punya enam lokasi untuk bioremediasi,’’ sebut Wahyu Budiarto, GM Sumatera Light North PT CPI.
Proses bioremediasi sendiri, dijelaskan dia, lebih mirip bertani lahan. Karena, selain diangkut dan dipindahkan, digemburkan, lahan tersebut juga dipupuk menggunakan fospor, karbon, total hidrolium pertrakarbon termasuk dolomit, untuk menetralisir PH tanah serta meningkatkan proses penguraian oleh bakteri. Namun proses tersebut tidak serta merta bisa mengembalikan kondisi tanah seperti semula.
Prof M Udiharto menyebutkan, sejauh ini, ada beberapa kesepakatan antara para pakar dan pengelola usaha perminyakan tentang batasan minimum dari proses bioremediasi. Batasannya ada antara 4-15 persen dari per kubik tanah. Hanya saja, Kalau bisa mencapai 1 persen, itu lebih bagus.
Ada beberapa alasan, pertama, untuk kembali menormalkan fungsi tanah, kedua, untuk memastikan bahwa setetes minyak yang mencemari tanah juga mempunyai nilai ekonomis. ‘’Apalagi dalam kondisi saat ini, dimana keperluan minyak begitu besar,’’ imbuh Udi. Memang, diakui dia, untuk proses tersebut perlu biaya tidak kecil. Namun proses bioremediasi ini juga diharapkan bisa memperkecil risiko dari proses eksplorasi minyak beberapa tahun ke depan.
Dia mencontohkan, beberapa tahun lalu pernah terjadi kebocoran minyak lepas pantai di Indonesia. Saat itu tidak ada efek namun beberapa tahun kemudian, ternyata minyak yang sudah bercampur beberapa senyawa di air menjadi penyebabkan kerusakan sejumlah gedung dan aset vital industri perminyakan lainnya. Setiap menyentuh lantai bangunan, menyebabkan bangunan keropos dan jeblos ke tanah.
‘’Kita tak bisa mengukurnya dengan uang, karena imbasnya mungkin baru akan dirasakan beberapa puluh tahun ke depan. Hanya saja, memang pertimbangan ekonomis tetap perlu,’’ jelasnya.
PT CPI sendiri, berdasarkan penjelasan Chief Legal and Consul Sumatera Indra menghitung tak kurang ada 300 lokasi tanah tercemar. Yang telah dibersihkan sebanyak 132 lokasi dan 116 diantaranya sudah mendapatkan SSPLP dengan jumlah sekitar 519.473 kubik. Namun, diakui dia, total tanah yang tercemar mencapai 900.000 meter kubik yang diharapkan tuntas proses bioremediasinya hingga 2019 yang akan datang.
Untuk mendukung proses ini, dijelaskan Indra, juga tidak begitu saja dilakukan oleh pihak perusahaan, melainkan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Beberapa ketentuan yang mengatur tentang itu di antaranya adalah: Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 128/2003 Pasal (2) Ayat 1 yang mewajibkan setiap usaha atau kegiatan Migas yang menghasilkan limbah minyak bumi untuk mengolah limbahnya.
Kepmen LH 128/2003 Pasal (3) mengatur bahwa pengolahan limbah minyak bumi mengacu pada PP Nomor 18 tahun 1999 Junto Nomor 85 tahun 1999.
PP Nomor 18 tahun 1999 Pasal 40 (1) mengatur bahwa badan usaha yang mengolah limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari KLH.
Sebagai aplikasi dari penerapan kebijakan pengolahan limbah B3 ini, Chevron membuat sedikitnya lima lokasi SBF di wilayah Light South, yakni SBF Mutiara, SBF Libo, SBF Kota Batak, SBF Pematang dan SBF Minas.(zed)