LIKA-LIKU KORUPSI DI SUMUT

Walah... Sumut sudah Lama Diplesetkan sebagai Semua Urusan Mesti Uang Tunai

Sumatera | Selasa, 17 November 2015 - 00:37 WIB

Walah... Sumut sudah Lama Diplesetkan sebagai Semua Urusan Mesti Uang Tunai
Ilustrasi.

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pengamat sosiologi politik, Sabar Sitanggang, mengaku tidak heran jika Sumut dalam empat tahun terakhir selalu berada di posisi teratas daftar provinsi terkorup. Dia menilai, banyak hal yang menjadi penyebab praktik korupsi di Sumut tidak kunjung berkurang.

Salah satunya, sindiran kepanjangan Sumut: Semua Urusan Mesti Uang Tunai. "Semua mesti uang tunai, itu sindiran yang sudah begitu lama, dan kini menjadi anggapan, tak mudah menghilangkan anggapan itu," ujar Sabar Sitanggang kepada Sumut Pos (Riau Pos Group) di Jakarta, Senin (16/11/2015).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, istilah Semua Urusan Mesti Uang Tunai (Sumut) itu telah berubah menjadi pola pikir sebagian besar orang Sumut. "Karena itu, praktik korupsi begitu permisif di Sumut," ujarnya. Hal lain yang mendorong para pejabat di Sumut menyelewengkan dana APBD, antara lain karena sistem kekerabatan yang masih kuat. Jika seseorang menjadi pejabat, maka saudara-saudara dekat ingin ingin menikmati, lantas terjadi penyelewengan pengelolaan uang APBD.

"Seperti saya, Sitanggang, itu ada sekitar 90-an marga kumpulan parna. Itu semua kerabat, orang-orang dekat. Susah bagi pejabat menolak ketika mereka datang. Ujung-ujungnya mengakali bansos," kata Sabar. Namun diakui, masalah mendasar adalah karena lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan keuangan. Pasalnya, lembaga pengawas dalam hal ini DPRD, merupakan bagian dari jaringan yang korup itu.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronal Rofiandi mengatakan, serangkaian kasus yang menjerat Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan melibatkan sejumlah anggota DPRD, merupakan bentuk korupsi politik. "Korupsi politik itu selalu terkait dengan modal menjadi calon kepala daerah dan modal menjadi calon legislatif. Bansos hanya salah satu yang dimainkan," ujar Ronal.

Anggota Koalisi Anti Mafia Anggaran itu mengatakan, selain bansos, biasanya mereka juga mencari modal politik dari proyek-proyek, gratifikasi, dan bahkan biaya perjalanan dinas. Jadi, menurut Ronal, selama pelaksanaan pilkada dan pileg masih menguras kantong para calon, maka selama itu pula korupsi politik akan terus terjadi. "Dan itu bukan hanya fenomena di Sumut. Di banyak daerah juga terjadi," kata Ronal.(sam/gir/deo)

Laporan: RPG

Editor: Fopin A Sinaga









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook