BATAM (RIAUPOS.CO) -- Jajaran Direktorat Reserse Narkoba Polda Kepri juga mengamankan 3,1 kilogram sabu, 28 Oktober lalu di kantor salah satu tempat pengiriman barang atau jasa ekspedisi di wilayah Penuin, Lubukbaja. Sabu tersebut didapat dari dua orang tersangka, berinisial Mi dan Jm.
Keduanya, diketahui merupakan warga Makassar. Mereka khusus datang ke Batam untuk mengirim sabu tersebut. "Keduanya diupah Rp 50 juta. Mereka direkrut melalui media sosial. Mereka ke Batam ditugaskan untuk mengirimkan barang ini," kata Direktur Reserse Narkoba Polda Kepri, Kombes Mudji Supriadi, Rabu (11/11).
Pengungkapan ini juga bermula dari laporan masyarakat. Polisi lalu melakukan pengembangan atas informasi yang menyebutkan bahwa akan ada yang mengirim sabu melalui jasa pengiriman. Selanjutnya, kata Mudji, Tim Opsnal Subdit 2 melakukan pengecekan di salah satu kantor jasa pengiriman di kawasan Lubukbaja.
Di sana polisi menemukan satu kardus yang mencurigakan. Kecurigaan polisi karena kardus tersebut cukup berat, sedangkan dalam dokumen dicantumkan isinya baju. "Ini membuat kami curiga, tidak mungkin bungkusan sebesar ini yang isinya baju, tapi kok cukup berat. Saat paket itu dibuka ditemukan dua bungkus plastik yang di dalamnya sabu," sebutnya.
Kemudian, Tim Opsnal Subdit 2 melakukan pengembangan terhadap pengirim paket tersebut. Pada 28 Oktober lalu pukul 19.50 WIB, polisi mengamankan Mi di parkiran New Hotel, Lubukbaja. Dari Mi, polisi kembali menemukan satu bungkus lagi sabu. "Keesokan harinya (Kamis, 29/10, red) pukul 00.45 polisi menangkap Jm di depan Pos Siskamling di Kelurahan Lubukbaja. Jm dan Mi ini memiliki peran yang sama, sebagai kurir. Mereka terpedaya iming-iming bandar sabu, akhirnya nekat mengirimkan narkoba tersebut," tuturnya.
Selanjutnya Tim Subdit 2 mencoba melakukan control delivery ke Makassar. Namun, di Makassar polisi tidak menemukan alamat yang disebutkan dalam paket sabu itu. "Sudah 'masuk angin', kami tidak menemukan apa-apa di sana," terangnya. (*/jpg)
Laporan: JPG (Batam)
--------------
Biden Andalkan Tim Transisi Internal
Belum Dapat Akses Intelijen dan Jalur Resmi
WASHINGTON DC (RIAUPOS.CO) -- Proses transisi dari pemerintahan Donald Trump menuju Joe Biden masih macet. Loyalis Trump masih menutup akses resmi kepada presiden terpilih Amerika Serikat (AS) tersebut. Biden tidak berkeberatan. Namun, AS bisa celaka.
Hingga saat ini, General Services Administration (GSA), lembaga yang berwenang memulai proses transisi, belum menerbitkan mandat. Banyak hal yang tertunda untuk Biden. Salah satunya, ucapan selamat dari kepala negara asing.
Kabarnya, surat dan telegram untuk Biden sudah masuk via jalur diplomasi resmi. Namun, pesan itu menumpuk di meja kerja Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Pompeo, tampaknya, tidak mau meneruskan pesan tersebut kepada Biden. Loyalis Trump itu masih menyangkal kenyataan bahwa jagoannya kalah.
"Kami akan melalui transisi lancar menuju masa jabatan kedua Presiden Trump," klaimnya menurut CNN.
Sikap tersebut menyusahkan pemerintah negara sahabat. Mereka sampai harus melacak diplomat pada era Barack Obama demi menghubungi Biden. Beberapa yang berhasil adalah Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Mungkin Trump merasa tindakan itu adil. Saat menang, dia tidak memanfaatkan jalur diplomasi AS. Ketika itu dia malah menggunakan Trump Organization untuk menangani pembicaraannya dengan kepala negara lain.
"Memiliki bantuan kementerian luar negeri sebenarnya cukup bermanfaat. Kita bisa diberi akses menghubungi pemerintah asing dan mendapatkan jasa terjemahan," jelas Denis McDonough, anggota tim transisi Barack Obama.
Situasi tersebut diketahui Biden. Namun, suami Jill itu memilih tenang. Biden adalah politikus kawakan yang sudah bekerja delapan tahun di Gedung Putih. Tim transisi yang mendukungnya merupakan veteran di lembaga eksekutif AS.
Presiden terpilih itu juga tidak ngotot terkait dengan akses intelijen. Saat ini Biden juga belum mendapatkan brifing soal itu. Dia menilai bahwa saat ini bukan haknya untuk mengambil keputusan sensitif. "Memang akan berguna, tapi bukan hal yang wajib," paparnya kepada Associated Press.
Umumnya, president’s daily briefing (PDB) diberikan, bahkan sejak berstatus calon presiden. Pola itu dilakukan sejak 1952 sebagaimana yang diperintahkan Presiden Harry S Truman. Ketika itu Truman jengkel karena baru diberi tahu keberadaan proyek bom atom setelah 12 hari tinggal di Gedung Putih.
Sejak itu, presiden terpilih selalu mendapatkan laporan intelijen. Bahkan, saat Pemilu 2000 yang molor akibat masalah penghitungan, Bill Clinton yang meneruskan informasi rahasia tersebut kepada George W Bush. Pertimbangannya sederhana. Dia melihat kemungkinan Bush menjadi presiden. "Ini adalah tradisi yang penting. Saya khawatir jika ini tak dilakukan," kata McDonough.
Yang khawatir bukan hanya Demokrat. Senator Republik James Lankford juga kesal. Dia bahkan siap turun tangan jika Trump terus merahasiakan laporan intel kepada Biden. Menurut dia, capres dua kubu berhak mendapatkan pengarahan intel agar bisa mengambil sikap saat menjabat.
"Bila sampai Jumat (13/11) tidak ada perubahan, saya sendiri yang bakal turun tangan," tegas anggota Komisi Pengawasan Senat AS tersebut.
Lankford menuturkan, Trump seharusnya bisa belajar saat transisi 2000. Meski menerima laporan intel, akses Bush ke kementerian molor selama lima minggu. Situasi itu membuat Pemerintah AS lengah dan serangan 11/9 ke menara World Trade Center terjadi.
Beberapa isu internasional vital bisa membuat Biden kelabakan. Salah satunya, perjanjian nuklir dengan Rusia. Jika menunggu sampai inaugurasi, Biden hanya memiliki waktu 16 hari untuk membuat keputusan. Waktu itu terlalu cepat untuk mengambil keputusan yang krusial.(bil/c14/bay/jpg)
Laporan: JPG (Batam)