SUMBAR

70 KK di Padangpariaman Terancam Akibat Abrasi

Sumatera | Senin, 11 Mei 2020 - 18:00 WIB

70 KK di Padangpariaman Terancam Akibat Abrasi
Abrasi pantai di Nagari Malai V Suku tampak semakin merusak permukiman penduduk.

PADANG (RIAUPOS.CO) - Abrasi pantai terus mengancam permukiman penduduk di Nagari Malai V Suku, Kecamatan Batanggasan, Kabupaten Padangpariaman. Satu unit rumah dilaporkan telah mengalami kerusakan. Kini, terjangan ombak mengancam puluhan rumah penduduk hingga fasilitas pendidikan yang ada di sana.

“Kejadiannya (abrasi) sejak Jumat sampai saat ini. Kami sudah datangi lokasi,” ungkap Camat Batanggasan Irmansudin saat dihubungi, kemarin (10/5).


Katanya, sekitar 30 meter daratan habis digerus ombak. Sehingga, satu unit rumah warga dan lapangan sepakbola di sana rusak, serta puluhan pohon kepala tumbang. ”Abrasi ini terjadi di sisi kiri dan kanan muara Batang Sariak yang dipasangi batu krib,” kata Irmansudin.

Meski abrasi juga terjadi tahun lalu, tetapi kondisinya tidak separah sekarang. Jika dibiarkan, menurutnya dapat mengancam sebuah perkampungan dihuni oleh sekitar 70 kepala keluarga, serta satu sekolah yang jaraknya sekitar 100 meter dari pantai.

“Abrasi sebelumya sudah merusak satu rumah dan pemiliknya kembali membangun rumah sekitar 30 meter dari lokasi awal ke daratan. Namun rumahnya itu rusak lagi sekarang,” tuturnya.

Di lokasi rumah yang rusak akibat abrasi tersebut, terdapat dua rumah lainnya yang pemiliknya masih belum mau mengungsi karena permasalahan ekonomi. “Pemilik rumah yang dirusak abrasi itu, sudah mengungsi ke rumah keluarga pascakejadian Jumat (8/5),” ujarnya.

Menurut Irmansudin, abrasi bisa saja terus berlangsung karena cuaca ekstrem hingga saat ini. Untuk itu, pihaknya telah mengimbau warga di sana untuk mencari tempat evakuasi hingga kondisi membaik.

“Memang ada warga yang sudah evakuasi ke rumah sanak keluarganya. Ada juga yang masih bertahan karena alasan tertentu,” ungkapnya. “Mereka yang masih di rumah itu, sudah kami ingatkan untuk selalu waspada menyikapi kondisi tersebut,” lanjutnya.

Dari diskusinya dengan warga di sana yang dominan bekerja sebagai nelayan, abrasi tersebut diduga terjadi karena hempasan ombak dari arah batu krib. Jadi, warga menyarankan agar batu grip juga dibangun minimal enam baris, yang dipasang di sisi kiri dan kanan muara. “Jadi dibangun batu krib di sisi kiri tiga dan sisi kanan tiga. Insya Allah abrasi bisa teratasi,” hematnya.

Sebenarnya, kata Irmansudin, pihaknya memang telah mengajukan permohonan pembangunan batu krib itu sejak tahun lalu. Namun kondisi anggaran belum bisa mengakomodir permohonan tersebut. ”Sekarang apalagi (tidak mungkin usulan diakomodir, Red) sedang wabah Covid-19,” ujarnya.

Untuk itu, mewakili masyarakat di sana, ia hanya bisa berharap kepada pemerintah provinsi maupun pusat agar mengalokasikan anggaran untuk membangun batu krib di daerah itu.

Aktivitas Kembali Normal

Sementara itu, aktivitas masyarakat di dua dusun di Tuapejat yakni Dusun Kampung dan Dusun Camp desa Tuapejat, pascagelombang besar yang melanda Jumat, (8/5), dini hari, sudah kembali normal. Kini, warga yang rumahnya berada persis di bibir pantai dan hancur akibat gelombang tersebut menunggu relokasi dari pemerintah setempat.

Berdasar data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDD) Kepulauan Mentawai, ada 23 unit rumah warga yang terkena dampak gelombang tersebut. Di antaranya, 13 unit rusak ringan, 8 unit rusak berat dan 2 unit rusak sedang. Guna mengantisipasi gelombang besar susulan, sebagian warga memilih tinggal di rumah keluarga yang jauh dari pantai.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kepulauan Mentawai, Amir Ahmari menyebut, meski kejadian gelombang besar dan disusul angin kencang tersebut, terjadi dini hari, namun tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.

Dia mengatakan, kondisi gelombang besar dan angin kencang di sekitaran pantai Tuapejat bukan hal baru bagi warga sekitar.

“Hampir setiap tahun, selalu terjadi gelombang besar yang biasanya terjadi pada saat perkisaran bulan. Namun, kali ini, dampak gelombang lumayan dasyat. Tentunya, ini juga bagian dari konsekuensi bagi masyarakat tinggal di pesisir pantai,” ungkapnya.

Pihaknya sudah sejak lama mengimbau masyarakat untuk tidak tinggal di sekitaran bibir pantai. Namun, masih banyak warga memilih tetap bertahan di sekitaran pantai Tuapejat yang notabene berada dekat dengan akses pelabuhan atau dermaga kapal di Tuapejat.

Hendru Subrata, 39, salah seorang warga di Tuapejat, melalui akun media sosial menilai, bahwa, pemerintah belum serius memikirkan mitigasi bencana akibat abrasi pantai Tuapejat. Dia mengatakan, pantai memang sebaiknya dijadikan halaman rumah, bukan sebagai bagian belakang.

“Untuk itu tahap awal setelah sosialisasi dilakukan, harus ada Perda yang mengatur untuk penindakan mengenai bangunan yang berdiri di sepanjang bibir pantai. Ini harus jelas dibunyikan konsekuensinya. Misalnya, apabila ada pelanggaran akan didenda atau mendapat kurungan badan,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Luhut Saragi, warga Tuapejat lainnya, mengaku setuju dengan usulan tersebut. Dia mengatakan, demi keamanan warga dan pertimbangan sisi pariwisata, tentunya akan semakin baik jika bangunan yg berada di bagian pantai dikosongkan saja.

“Namun, tentu mesti ada kajiannya juga dan sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga, prosesnya nanti akan berjalan dengan baik pula. Masyarakat tidak dirugikan, pemerintah juga dengan leluasa membangun daerah,” ungkapnya. 

 

Sumber: Padek.co

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook