JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Berlanjutnya proses penegakan hukum yang dilakukan terhadap seorang wartawan Metro Aceh, Bahrul Walidin, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik oleh Polda Aceh, dikecam oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Mereka menilai proses tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis menggunakan pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ketua AJI Indonesia, Sasmito, mengatakan, Bahrul dilaporkan atas pemberitaan yang dimuat Metro Aceh soal dugaan penipuan ke Polda Aceh pada 24 Agustus 2020. Ia dilaporkan menggunakan UU ITE, pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3
"Bahrul dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik," kata Sasmito saat dihubungi, Jumat (1/10/2021) malam, dilansir CNN.
Pihaknya melihat melihat pemberitaan itu sebenarnya bersumber pada sejumlah keterangan korban.
"Pemberitaan diterbitkan berdasarkan keterangan para korban dan sejumlah narasumber yang bertanggung jawab," ujar Sasmito.
Dalam kronologinya, kata dia, beberapa saat setelah berita tayang, sosok yang diberitakan sebagai terduga penipu menghubungi Bahrul mengaku keberatan.
Menurut Sasmito, media tersebut sudah memuat hak jawab yang diterimanya berdasarkan konfirmasi via seluler. Ia menerangkan bahwa Bahrul juga dilaporkan ke Dewan Pers terkait dengan pemberitaan yang dibuatnya itu. Meskipun demikian, kasus itu kemudian bergulir di kepolisian hingga kini naik ke tahap penyidikan.
Mengutip dari akun Twitter AJI Indonesia, Dewan Pers kemudian menangani sengketa pemberitaan kasus ini dengan menerbitkan pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) nomor 41/PPR-DP/X 2020. Bahrul dan medianya telah melaksanakan rekomendasi Dewan Pers.
"Namun, pada Selasa 28 September 2021, Bahrul justru menerima surat pemanggilan pemeriksaan melalui whatsapp dari penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh. Dari surat pemanggilan tersebut, diketahui, kasus Bahrul Walidin telah dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada 26 Agustus 2021," dikutip dari akun tersebut.
Atas hal itu, Koalisi Kebebasan Pers mengecam tindakan kepolisian dan menuliskan surat terbuka ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menghentikan upaya penegakan hukum yang dinilainya sebagai kriminalisasi.
"Naiknya kasus ke penyidikan tersebut menunjukkan bahwa Polda Aceh mengabaikan UU Nomor 40/1999 tentang Pers sebagai payung hukum perlindungan bagi jurnalis," tulis AJI dalam cuitannya itu.
Selain itu, AJI menilai Polda Aceh juga disebut mengabaikan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers. AJI menilai pasal pencemaran nama seharusnya tak dikenakan pada karya jurnalistik.
Terpisah, Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Winardy membenarkan bahwa proses hukum itu telah naik ke penyidikan. Artinya, polisi menduga ada terjadi pelanggaran pidana dalam peristiwa itu.
"Kasus dilaporkan tahun 2020, ada laporan polisi dari masyarakat sebagai pelapor," kata dia dalam keterangannya.
Namun demikian, ia membantah bahwa penegakan hukum dalam kasus itu sebagai bentuk kriminalisasi. Menurutnya, kepolisian telah melakukan konfirmasi dan proses penyidikan sesuai aturan.
"Polda Aceh melalui Ditreskrimsus telah mengirim surat ke Dewan Pers RI untuk keterangan terdaftar atau tidaknya status keberadaan terhadap media online yang bersangkutan," jelas Winardy.
Dalam hal ini, kata dia, polisi mendapat surat dari Dewan Pers pada 2 November 2020 yang menyatakan bahwa media online tersebut tak terdata di Dewan Pers hingga tanggal surat itu dikeluarkan.
"Oleh karena itu kami berharap kepada masyarakat khususnya awak media agar bersabar. Kita tunggu hasil penyidikan dari Ditreskrimsus," katanya mengakhiri.
Sumber: JPNN/News/CNN/Beragai Sumber
Editor: Hary B Koriun