PERJUANGAN SASTRAWAN PUTU WIJAYA MELAWAN PENDARAHAN OTAK

Ingin Tetap Berkarya Meski lewat Lisan

Sosialita | Minggu, 07 Oktober 2012 - 07:18 WIB

Ingin Tetap Berkarya Meski lewat Lisan
Putu Wijaya dirawat di ruang kencana RSCM Jakarta. (Foto: istimewa)

Sudah sebulan ini sastrawan dan dramawan Putu Wijaya terbaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Meski begitu, dia tetap berkarya menghasilkan cerpen dan esai.

Laporan DHIMAS GINANJAR, Jakarta

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

WAJAH Putu Wijaya terlihat pucat. Selang nasogastric tube (NGT) yang berfungsi memenuhi nutrisi tubuhnya masih terhubung lewat lubang hidungnya. Begitu pula, jarum infus masih menancap di lengan kanannya. Dua alat itu dipasang setelah Putu didiagnosis mengalami pendarahan di batang otak.

Akibatnya, saraf-saraf sastrawan serbabisa itu pun kena imbasnya. Kini lengan dan kaki sebelah kirinya tak bisa digerakkan lagi. Syaraf untuk menelan juga terganggu, sehingga ia tak bisa menelan makanan. ‘’Slang di hidung itu membantu kami untuk memasukkan makanan,’’ ujar Rista Yanti, adik ipar Putu Wijaya.

Tanpa NGT, kata dia, Putu tak bisa makan dan minum. Semua akan tertahan di rongga mulut karena, untuk sementara, syarafnya tak memiliki kemampuan menelan. Beruntung, tindakan brain wash yang berbasis radiologi intervensi berhasil membuat beberapa syaraf sastrawan 68 tahun itu mulai membaik. Kini keluarga coba memberi rangsangan berupa madu yang dioleskan di bibir. Putu diminta menjilat dan menelannya.

Teknik digital subtraction angiography (DSA) yang masih menjadi standar baku untuk menunjukkan anatomi pembuluh darah otak (cerebrovascular) juga membawa berbagai harapan baru untuk keluarga. Mereka berharap Putu kembali bisa menelan makanan dengan normal.

‘’Terapinya memang cukup lama. Hasil DSA sudah cukup baik untuk mengurangi pendarahannya. Setelah ini, Mas Putu menjalani gamma knife,’’ terang Rista yang ditunjuk jadi juru bicara keluarga. Pengobatan laser itu jadi tumpuan harapan untuk tetap menjaga memori Putu. Apalagi, keluarga sangat menghindari operasi. Mengapa? Berdasar penjelasan para dokter, operasi bisa memicu Putu untuk pensiun dari dunia seni dan sastra. Sebab, sebagian memorinya bakal hilang. Itu berarti kemampuannya menghasilkan karya sastra dikhawatirkan juga ikut hilang. Atas pertimbangan itulah, dokter menyarankan cara lain, yakni melalui gamma knife. ‘’Sejauh ini kesadaran Mas Putu masih sangat bagus, tidak kehilangan memori sama sekali,’’ katanya.

Keluarga makin mantap melaksanakan tindakan medis gamma knife karena tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Informasi yang diperoleh keluarga, tindakan medis itu bisa menekan kambuhnya pendarahan hingga 8 persen dan meningkat jadi 1 persen di tahun kedua.

Rista lantas memberi bukti upaya penyelamatan memori Putu termasuk urutan atas selain nyawa. Dia menyebutkan, seniman kelahiran Puri Anom, Tabanan, Bali, itu sampai sekarang masih terus berkarya. Meski, Putu tak menulis sendiri karya sastra yang digagasnya. Ia mengungkapkannya secara lisan, sedang Rista yang mengetik. ‘’Saya sering ketinggalan dan salah ketik,’’ katanya, lantas terbahak.

Cara yang sama dilakukan sejarawan sekaligus budayawan Jogjakarta Kuntowijoyo dan penulis asal Malang Ratna Indraswari Ibrahim. Keduanya masih berkarya meski sedang sakit parah. Kini dua sastrawan hebat itu telah tiada.

Sampai sekarang Putu Wijaya masih semangat menelurkan ide-ide cerita. Otaknya masih bisa bekerja dengan baik menyusun sebuah cerita pendek. Justru Rista yang sering kelimpungan mencatat kalimat-kalimat yang meluncur dari otak Putu. Tak jarang Rista meminta kakak iparnya itu mengulang kalimat yang diucapkannya. Hebatnya, Putu masih bisa mengulangi perkataannya dengan baik.

Setelah selesai diketik, Rista membacakan naskah tersebut. Putu menyimak dan mengeditnya. Kalau ada kata-kata yang tak pas, ia minta diubah. Kalau dinilai sudah sesuai harapan, Putu lalu minta naskah itu dikirim ke media yang menyediakan ruang sastra-budaya. ‘’Ada dua atau tiga media yang masih menerbitkan,’’ tuturnya.

Ada alasan tersendiri kenapa alumnus UGM itu tetap ingin berkarya. Kalau orang sakit umumnya memilih beristirahat total, sastrawan kelahiran 11 April itu justru melawannya dengan berkarya. ‘’Kata Mas Putu, berkarya termasuk terapi penyembuhan dari diri sendiri. Kalau tidak berkarya, katanya malah bisa tambah sakit,’’ ujarnya.

Hingga kini keluarga belum tahu pemicu sakitnya penulis novel Tiba-tiba Malam itu. Pasalnya, selama ini penulis yang sudah menghasilkan lebih dari 30 novel, 40 naskah drama dan seribuan cerpen itu tak pernah sakit parah.(*/c5/c10/ari/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook